4shared

Powered By Blogger

Jumat, 11 Mei 2012

Tugas Mipang Food-borne Disease - Clostridium perfringens


MAKALAH MIKROBIOLOGI PANGAN
FOODBORNE DISEASE AGENT:
CLOSTRIDIUM PERFRINGENS

Disusun oleh
1.    Fidela Zahradika      22030110141015
2.    Lidiyawati                  22030110141016
3.    Lovindy Putri            22030110141018

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2010/2011


Bab 1
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Banyaknya kasus keracunan maupun infeksi karena makanan sekarang ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Akibat dari hal tersebut adalah terganggunya kesehatan yang sering ditandai dengan sakit kepala atau pusing, mual dan muntah serta diare yang dapat berlangsung selama beberapa hari. Keracunan makanan atau intoksikasi pangan itu sendiri terjadi apabila seseorang menkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi maupun secara alami mengandung racun atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Gejala-gejala yang ditimbulkan dapat terlihat 3-12 jam setelah mengkonsumsi bahan makanan tersebut. Sedangkan infeksi melalui makanan disebabkan oleh mikroorganisme yang bersifat patogen yang berada pada bahan makanan yang telah terkontaminansi. Mikroorganisme ini dapat berkembang biak di dalam usus dan menghasilkan racun yang dapat merusak sel-sel epitel (permukaan) usus. Akibat yang ditimbulkan berupa sakit perut dan diare dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah mengkonsumsi bahan makan tersebut. 
Hal demikian dapat terjadi karena bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat pertumbuhan mikroorganisme patogenik maupun organisme lain penyebab penyakit khususnya penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri maupun TBC yang sangat mudah tersebar melalui bahan makanan[1]. Secara umum, bahan makanan selain merupakan sumber zat gizi bagi manusia juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan dari segi nilai gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Akan tetapi mikroorganisme tersebut juga dapat  menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan pada bahan pangan baik secara fisik maupun kimia biasanya dalam bentuk kebusukan yang mengakibatkan bahan pangan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.
Suatu mikroorganisme yang membuat kerusakan atau kerugian terhadap tubuh inang, disebut sebagai patogen. Sedangkan kemampuan mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit disebut patogenisitas. Ketika suatu mikroorganisme memasuki inang yang memasuki jaringan tubuh dan memperbanyak diri, mikroorganisme dapat menimbulkan infeksi[2]. Faktor yang mempengaruhi kemampuan mikrooeganisme patogen untuk dapat menimbulkan adanya suatu penyakit tidak hanya berasal dari mikroorganisme itu sendiri, akan tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan inang untuk melawan infeksi. Jika keaadaan inang rentan terhadap infeksi dalam arti sistem pertahanan diri atau sistem imunitasnya rendah, maka hal ini dapat menimbulkan terjadinya suatu penyakit. Saat ini, peningkatan jumlah infeksi meningkat disebabkan oleh mikroorganisme yang sebelumnya dianggap tidak patogen; terutama anggota flora normal. Infeksi ini berkembang dalam tubuh manusia yang factor kekebalan tubuhnya dirusak oleh penyakit lain atau karena terapi antibiotik dan terapi immunosupresif yang berkepanjangan[2]. Contoh mikroorganisme atau bakteri pembusuk yang dapat menimbulkan terjadinya infeksi melalui makanan adalah Clostridium perfringens, Vibrio parahaemo lyticus, Salmonella. Sedangkan  contoh mikroorganisme yang dapat menimbulkan keracunan karena toksin atau racun yang disekresi dalam makanan seperti Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, Bacillus cereus.
Berdasarkan hal tersebut maka kelompok kami ingin meneliti lebih jauh mengenai Clostridium perfringens yang merupakan salah satu mikroorganisme patogen yang dapat menimbulkan terjadinya infeksi dan mengakibatkan kerusakan baik secara kimiawi maupun fisik pada bahan makanan serta gangguan kesehatan pada seseorang yang mengkonsumsinya.
B.   Rumusan masalah
1.    Termasuk dalam kelompok bakteri apakah Clostridium perfringens?
2.    Bagaimana karakteristik dari bakteri C. perfringens?
3.    Toksin apa sajakah yang dapat dihasilkan oleh Clostridium perfringens?
4.    Bagaimana mekanisme Clostridium perfringens bisa menimbulkan keracunan bagi manusia?
5.    Apa gejala-gejala orang yang mengalami keracunan toksin Clostridium perfringens dan bagaimana penanggulangannya?
6.    Bagaimana pengaruh Clostridium perfringens terhadap bahan makanan?
7.    Apakah penggunaan antimikroba itu efektif dalam meminimalisir efek kejadian Clostridium perfringens?

C.   Tujuan
1.    Mengetahui kelompok bakteri Clostridium perfringens.
2.    Mengetahui peranan dan pengaruh Clostridium perfringens terhadap bahan makanan.
3.    Mengetahui toksin-toksin yang dapat dihasilkan oleh Clostridium perfringens.
4.    Mengetahui pengaruh toksin tersebut terhadap kesehatan.













BAB II
ISI

A.   CLOSTRIDIUM PERFRINGENS
Clostridium perfringens adalah bakteri patogen invasif gram positif berbentuk batang, non motil,  termasuk kelompok pembentuk endospora yang menjadi penyebab terjadinya keracunan pangan (Todar, 2005). Penyakit terjadi seiring dengan termakannya sejumlah besar organisme (>106-107 sel) tumbuh di dalam usus halus, menghasilkan enterotoksin dan menyebabkan diare (Labbe, 1989; Brynestad dan Granum, 2002). C. perfringens adalah bakteri anaerob, dengan suhu untuk pertumbuhan sel vegetatif serta germinasi spora dan tumbuh kembali bervariasi antara 10-52o C, dengan suhu optimum sekitar 45o C. Pada kondisi optimum, multiplikasi sel dapat sangat cepat, kira-kira 9 menit (Ray, 2001).












Ada lima serotype Clostridium perfringens yaitu serotype A, B, C, D, E. Pada manusia, yang menimbulkan penyakit adalah serotype A dan C.
Jika didasarkan sifat pertumbuhannya pada makanan maka Clostridium perfringens  termasuk kedalam golongan bakteri proteolitik yakni bakteri yang memproduksi enzim proteinase ektraseluler, yaitu enzim pemecah protein yang diproduksi didalam sel kemudian dilepaskan keluar dari sel[4]. Semua bakteri mempunyai enzim proteinase didalam sel, tetapi tidak semua mempunyai enzim proteinase ekstra seluler. Clostridium perfringens termasuk kelompok bakteri anaerobik pembentuk spora yang bersifat puteraktif yaitu memecah protein secara anaerobic dan memproduksi komponen-komponen yang berbau busuk seperti hydrogen sulfide, sulfida, merkaptan, amin, indol, skatol dan asam-asam lemak[3].
Klasifisikasi dari bakteri Clostridium perfringens
·         Kingdom        : Bacteria
·         Division          : Firmicutes
·         Class              : Clostridia
·         Order              : Clostridiales
·         Family            : Clostridiaceae
·         Genus            : Clostridium
·         Species          : perfringens
·         Binomial        : Clostridium perfringens
Clostridium perfringens merupakan jenis mikroorganisme atau bakteri yang umumnya menyebabkan penyakit  karena bersifat patogen pada manusia dan hewan. Seperti clostridia lainnya mikroorganisme ini banyak menghasilkan eksotoksin. Bakteri ini dapat tumbuh cepat pada makanan yang telah dimasak dan menghasilkan enterotoksin yang dapat mengakibatkan penyakit diare. Selain itu bakteri ini juga menjadi salah satu penyebab utama infeksi luka yang menyebabkan adanya gangren gas.
Clostridium perfringens memiliki kemampuan untuk menghasilkan spora yang sangat tahan panas dan memungkinkan organisme untuk bertahan hidup pada suhu tinggi selama pemasakan awal, dan kemudian berkecambah selama pendinginan makanan[4]. Ketahanan spora bakteri ini terhadap panas bervariasi di antara strain. Spora yang tahan panas secara umum membutuhkan heat shock 75-100 derajat Celsius selama 5 sampai 20 menit untuk proses germinasi (perubahan spora menjadi bentuk sel vegetatif)[6]. Keracunan makanan oleh Clostridium perfringens hampir selalu melibatkan peningkatan temperatur dari makanan matang. Hal ini dapat dicegah dengan cara makanan matang segera dimakan setelah dimasak, atau segera disimpan dalam refrigerator bila tidak dimakan, dan dipanaskan kembali sebelum dikonsumsi untuk membunuh bakteri vegetative.
Secara alami Clostridium perfringens dapat ditemukan dalam tanah dan merupakan flora normal dari saluran usus manusia dan hewan-hewan tertentu yang dapat ditularkan kedalam bahan makanan terutama oleh air. Sumber utama mikroorganisme ini terdapat pada daging maupun hasil olahannya. Sayuran dan buah-buahan akan terkontaminasi sporanya melalui tanah. Makanan asal hewan (daging dan olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan dengan spora dari lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong. Makanan-makanan kering sering menjadi sumber bakteri ini dan pembentuk spora lainnya.
Beberapa strain spora dari Clostridium perfringens menyebabkan penyakit ringan sampai sedang yang membaik tanpa pengobatan. Strain yang lainnya menyebabkan gastroenteritis berat, yang sering berakibat fatal. Bentuk umum dari infeksi makanan oleh Clostridium perfringens ditandai dengan kram perut dan diare yang intens mulai 8 sampai 22 jam setelah konsumsi makanan yang mengandung banyak Clostridium perfringens yang mampu memproduksi toksin keracunan makanan. Penyakit ini biasanya berlangsung sekitar 24 jam, namun gejala yang kurang parah dapat bertahan pada beberapa individu selama 1 sampai 2 minggu.  
Proses patogenesisnya adalah mula-mula spora klostridia mencapai jaringan melalui kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka (tanah,feses) atau dari saluran usus. Spora berkembangbiak pada keadaan potensial reduksi-oksidasi rendah, sel-sel vegetative berkembangbiak, meragikan karbohidrat yang terdapat dalam jaringan dan membentuk gas. Peregangan jaringan dan gangguan aliran darah, bersama-sama dengan sekresi toksin yang menyebabkan nekrois dan enzim hialuronidase, mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis jaringan bertambah luas, memberi kesempaan untuk peningkatan pertumbuhan bakateri, anemia hemolitik, dan akhirnya toksemia berat dan kematian[5].
Semua hal tersebut dapat dihindari jika dalam proses pengolahan maupun penyimpanan bahan makanan dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari bakteri pembusuk yang bersifat patogen seperti Clostridium perfringens dan jenis bakteri pembusuk lainnya dapat dilakukan cara sebagai berikut :
-       Pemblansiran yakni perlakuan panas terhadap bahan makanan dengan cara mencelupkan kedalam  air panas atau memberikan uap panas suhu sekitar 82-93oC. waktu yanh dibutuhkan antara 1-11 menit tergantung pada bahan makanan yang akan dicelup.
-       Penyimpanan bahan makanan didalam lemari pendingin dengan tidak disarnkan untuk menyimpan bahan makanan tersebut dalam waktu yang lama. Sebaiknya bahan makanan secepatnya diolah.
-       Pematangan bahan makanan paada waktu memasaknya. Sebaiknya makanan yang baru dimasak segera dimakan jangan menyimpan makanan dalam waktu yang lama, atau memanaskannya sampai berulang. Misalnya, minimal suhu 71oC untuk mematangkan telur[3].

B. TOKSIN-TOKSIN YANG DIHASILKAN OLEH CLOSTRIDIUM PERFRINGENS
Clostridium perfringens merupakan bakteri gram positif yang berbentuk spora. Bakteri ini merupakan bakteri patogen bagi manusia dan hewan. Spora-spora Clostridium perfringens ini akan membentuk suatu strain atau barisan spora. Ada lima (5) strain Clostridium perfringens yang saat ini dikenal oleh dunia dan kelima strain ini sama-sama memberikan efek toksin yang mematikan. Sebenarnya, Clostridium perfringens dapat menghasilkan 15 macam toksin yang berbeda, namun ada toksin-toksin terkenal yang paling banyak ditemui, yaitu adalah toksin Alfa, Beta, Epsilon, dan Iota. Berikut ini adalah toksin-toksin yang dihasilkan oleh kelima strain Clostridium perfringens(6):
Strain Clostridium perfringens
Toksin yang dihasilkan
Tipe A
Alfa
Tipe B
Alfa, beta, epsilon
Tipe C
Alfa, beta
Tipe D
Alfa, epsilon
Tipe E
Alfa, iota

Toksin alfa yang diekspresikan dari gen cpa (alpha toxin) adalah fosfolipase C dan toksin ini dihasilkan oleh semua strain Clostridium perfringens, baik tipe A, B, C, D, maupun E. Toksin alfa memiliki sifat letal yang sebanding dengan laju pemecahan lesitin menjadi fosforilkolin dan digliserida(7).

Toksin beta, yang di ekspresikan oleh gen cpb (beta toxin) dihasilkan oleh Clostridium perfringens tipe B dan C. Toksin ini mempunya efek hemolitik dan nekrotik yang serupa, tetapi bukan suatu lesitinase. Selain itu, dihasilkan pula enzim DNAse dan hialuronidase, suatu kolagense yang mencerna kolagen jaringan subkutan dan otot.

Toksin epsilon yang diekspresikan oleh gen etx (epsilon toxin) hanya diproduksi oleh Clostridium perfringens tipe B, D, dan E. Toksin ini adalah protein prmbentuk pori-pori dan menyebabkan keluarnya kalium dan cairan dari sel.

Toksin iota, aktif secara biologis dan terdiri dari komponen kompleks dua (2) protein dan hanya diproduksi oleh Clostridium tipe E. Toksin iota juga menghasilkan aktivititas ADP-ribosyltransferase. Enterotoksin E yang diekspresikan oleh cpe (enterotoxin) adalah satu-satunya toksin yang tidak disekresikan dari sel vegetatif, tetapi dihasilkan selama sporulasi. Saat sporulasi telah selesai, sel akan pecah dan elepaskan enterotoksin. Gen cpe telah ditemukan di dalam kromosom dan plasmid Clostridium perfringens yang diisolasi dari manusia dan hewan ternak.






Toksin Alfa
Clostridium perfringens.




B.   PENGARUH TOKSIN CLOSTRIDIUM PERFRINGENS TERHADAP KESEHATAN
Clostridium perfringens tercatat menjadi penyebab penyakit enterositis yang paling sering ditemui. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Clostridium perfringens terdapat di pencernaan manusia maupun hewan, lebih tepatnya didaerah usus. Pada prosesnya menjadi bakteri patogen, Clostridium perfringens melalui beberapa tahap, yaitu: hipersekresi nyata dalam jejunum dan ileum, disertai dengan kehilangan cairan dan elektrolit dengan jalan diare. Bila ada lebih dai 108 sel vegetatif Clostridium perfringens termakan dan bersporulasi dalam usus, akan terbentuk enterotoksin. Enterotoksin yang bentuknya identik dengan protein pembungkus spora. Namun, berbeda dengan toksin  klostridia lainnya, enterotoksin menyebabkan diare parah dalam kurun waktu 6-18 jam. Keracunan makanan yang terjadi karena Clostridium perfringens biasanya terjadi setelah memakan sejumlah besar klostridia yang tumbuh pada daing yang dihangatkan.

Seperti dijelaskan sebelumnya, spora Clostridium perfringens tahan panas, sehingga keracunan akibat Clostridium biasanya sulit dihindari. Selain itu, tidak mudah juga untuk mengetahui seseorang telah terjangkiti Clostridium perfringens strain tertentu. Oleh karena itu, tidak ada vaksin yang dapat secara efektif mencegah pertumbuhan Clostridium perfringens. Berikut ini adalah gambar penyebaran keracunan makanan akibat Clostridium perfringens pada tahun 2005 yang terjadi menurut benua-benua:
Karena efeknya yang mematikan, bebebrapa toksin Clostridium perfringens digunakan sebagai senjata bilogis yang potensial.
Toksin alfa adalah toksin nekrotis yang diproduksi oleh semua strain dari A sampai E. Pada manusia, toksin yang telah dimurnikan dapat menyebabkan penyakit pulmoner akut, pelebaran vaskuler, hemolisis, thrombocyopeni, dan kerusakan hepar. Sedankan toksin beta adalah toksin yang lebih mematikan yang ditemukan pada strain B dan C.

Sedangkan toksin beta adalah toksin sitolisin yang labil terhadap oksigen. Toksin ini dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang mengakibatkan leukostasisi, thormbosis, penurunan perfusi dan hipoksi jaringan. Toksin beta juga menstimulasi pelepasan sitokin dan dapat menyebabkan syok.

Dua toksin Clostridium perfringens yaitu enterotoksin dan toksin beta, tidak tergantung pada strain tertentu. Enterotoksin adalah toksin utama yang bertanggung jawab atas terjadinya keracunan makanan. Toksin beta telah dikaitkan dnegan kasus entritis yang terjadi pada babi.

Clostridium perfringens strain B dan D, yang memproduksi toksin epsilon, jarang ditemukan pada manusia. Pada manusia, penyakit yang lebih sering ditimbulkan basanya berasal dari strain A, biasnaya dihubungkan dengan keracunan makanan. Sedangkan untuk strain C, biasanya dihubungkan dengan enteritis nekrotis/ pig-bel disease. Hal ini dapat dikenali dari adanya infeksi dan nekrosis di usus, dengan tambahanan septicemia. Pada kasus fatal, dapat terjadi pengeringan mukosa dan perforasi usus. Semua strain bisa diisolasi dari infeksi luka, Clostridium perfringens dapat menghasilkan sindrom berikut ini pada manusia:
·         Keracunan makanan dan enteritis nekrotis;
Gejala yang terjadi akibat keracunan makanan oleh Clostiridium perfringens biasanya tampak 8-22 jam setelah pencernaan makanan yang terkontaminasi. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa diare, mual, dan kram perut. Muntah dan demam tidak terlalu terlihat. Pasien biasanya pulih dalam satu atau dua hari, tapi pada lansia, geja-gejala tadi akan terjadi kembali dalam kurun waktu 1-2 minggu, demikian juga pada mereka yang memiliki penyakit lain. Jarang terjadi komplikasi dan kematian,namun tidak ada vaksin. yang bisa digunakan untuk mencegah.






·         Infeksi luka;
Kontaminasi terhadap luka dapat menyebabkan terjadinya gangrene gas, selulit clostridial atau kontaminasi superfisial. Gangrene gas/ myonecrosis dihasilkan dari pertumbuhan Clostridium perfringens dan toksin dihasilkan pada luka. Lebih jauh lagi, akan terjadi nekrosis pada jaringan lokal dengan penyebaran bakteri yang lebih luas. Gejala yang sering terjadi adalah demam dan rasa sakit pada daerah yang terinfeksi. Ketika nekrosis yang terjadi semakin parah, jaringan otot akan berbercak ungu dan menjadi edema dengan exudate yang bergelembung dan berbau busuk. Toxemia akan menghasilkan hemolisis dalam jumlah besar, syok, dan gagal ginjal. Gangrene gas dapat berakibat fatal dalam waktu singkat apabila tidak ada tindakan yang sesuai yang dapat dilakukan.

D.    CLOSTRIDIUM PERFRINGENS PADA MAKANAN DAN PANGAN
Indeks pangan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok:
(1)  infeksi dimana makanan tidak menunjang pertumbuhan patogen tersebut, misalnya, patogen penyebab tuberkolosis (Mycobacterium bovis dan M. tubercolosis), brucellosis (Brucela aortus, b. melitensis), diprteri (Corynebacterium diptheriae), disentri oleh Campylobacter, demam tifus,kolera , hepatitis, dan lain-lain.(1)
(2)  infeksi dimana makanan berfungsi sebagai medium kultur untuk pertumbuhan patogen hingga mencapai jumah yang memadai untuk menimbulkan infeksi bagi pengkomsumsi makanan tersebut, infeksi ini mencakup Salmonela spp, Listeria, vibrio parahaemolyticus, dan Escherichia coli enteropatogenik.
Clostridium perfringens termasuk dalam golongan nomor 2, di mana pangan yang di dalamnya terdapat spora Clostridium perfringens merupakan medium pertumbuhan yang baik dan spora tersebut akan bergerminasi jika keadaan lingkungannya memungkinkan untuk tumbuh dan bereproduksi.
Spora dapat masuk ke dalam air melalui debu/tanah, kotoran hewan, dan makanan-limbah. Jika makanan atau minuman dan air bersih tercemari air tersebut, maka dalam keadaan yang memungkinkan, bakteri tersebut akan mengeluarkan racun sehingga makanan atau minuman tersebut mengandung racun dan bila dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan makanan. Akan tetapi untuk menimbulkan efek keracunan, sejumlah besar sel hidup harus terkonsumsi.­
Pada banyak kasus, penyebab keracunan Clostridium perfringens adalah karena kesalahan ketika memasak pangan. Sejumlah kecil sel vegetative tetap ada setelah pemasakan dan memperbanyak diri selama pangan disimpan, akibatnya pangan terkontaminasi.
Daging, produk daging, kaldu daging, produk susu, pasta, tepung, unggas, dan sayuran yang sudah bersentuhan dengan tanah, debu, dan materi fekal adalah pangan yang paling sering terkontaminasi Clostridium perfringens. Pada daging mentah, sejumlah sel vegetative ditemukan di jaringan otot dan juga sel hati.
Keracunan C. perfringens sering terjadi di kantin sekolah, rumah sakit, penjara, pesta yang menggunakan jasa katering, dll. Katering biasanya menyiapkan makanan beberapa jam sebelum disajikan yang memungkinkan pangan terkontaminasi.
Jika akan memasak unggas dan daging (sup, rebusan, saus, kuah, casserols) suhu pangan yang dimasak harus dijaga pada atau di atas suhu 60o C, atau jika dingin di bawah 4o C. Porsi yang besar memerlukan waktu yang lebih lama untuk didinginkan hingga di bawah 4o C sehingga sebaiknya dibagi-bagi menjadi porsi yang lebih kecil. Selain itu, sebelum dihidangkan sebaiknya pangan dipanaskan kembali (70o C). Clostridium perfringens sering disebut food service germ karena sering menyebabkan penyakit pada pangan yang dihidangkan dalam jumlah besar dan waktu lama pada suhu kamar.(8)

Batasan maksimum cemaran Clostridium perfringens dalam pangan menurut standar SNI 7388:2009(8)

No.
Kategori Pangan
Batas Maksimum
1.
Sayuran kaleng
negatif/gram
2.
Buah kaleng
negatif/gram
3.
Daging olahan dan daging ayam olahan (bakso, sosis, nugget, burger)
1 x 102 koloni/gram
4.
Sosis masak (tidak dikalengkan, siap konsumsi)
10 koloni/gram
5.
Corned beef dalam kaleng, sosis dalam kaleng
negatif/gram
6.
Herba dan rempah-rempah
1 x 103 koloni/gram
7.
Kondimen dan bumbu lainnya
1 x 102 koloni/gram
8.
Sup instan bubuk (termasuk sup krim instan bubuk)
1 x 102 koloni/gram
9.
Minuman kopi dalam kemasan
negatif/100 ml

Berikut kami paparkan beberapa contoh kasus Clostridium perfringens dalam bahan makanan.

1.    Clostridium perfringens dalam daging sapi
C. perfringens tersebar luas di lingkungan dan merupakan bakteri  yang umum dijumpai pada isi gastrointestinal hewan maupun manusia, karena itu kontaminasi pada bahan pangan mentah asal hewan sangat sering. Dalam suatu penelitian, C. perfringens ditemukan 50% pada sampel daging sapi giling, 29% pada karkas sapi, 66% pada karkas babi dan 85% pada karkas domba (ZAIKA, 2003). Daging sapi dan ayam adalah pembawa penyakit asal pangan dari C. perfringens tipe A (TAORMINA et al., 2003).(9)
Banyak faktor berkontribusi terhadap kontaminasi C. perfringens pada daging, antara lain lewat kulit, rambut, tanah, isi traktus gastrointestinal, air, polusi udara, dan peralatan yang digunakan pada saat pemotongan hewan. Selanjutnya kontaminasi dapat disebarkan melalui pisau, sepatu, lap, tangan dan baju (GRACEY, 1986).(9) 
Ketersediaan alat pendingin di kios daging juga bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan C. perfringens, sebab bakteri tersebut merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh optimum pada suhu 43 – 47o C, dimana pada suhu 4o C sekitar 75% sel vegetatif mengalami kerusakan (CRAVEN, 2001).
Sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Hewan IPB meneliti tentang kandungan Clostridium perfringens dalam karkas daging sapi di beberapa kios di kota Bogor. Untuk pengujian C.perfringens, sebanyak 33 sampel daging karkas dan daging giling diambil dari dua kios penjualan daging di pasar tradisional dan tiga kios di pasar swalayan. Hasil pengujian menunjukkan semua sampel presumptif positif C. perfringens dan 84,4% diantaranya merupakan C. perfringens tipe A.
Bentuk C. perfringens yang mengkontaminasi sampel daging adalah sel vegetatif. Keadaan ini menunjukkan nutrisi pada sampel daging pada saat pengujian masih cukup untuk pertumbuhan C. perfringens, yang berarti fase stationer bakteri belum tercapai.Tidak ditemukan spora C. perfringens pada sampel.
Kejadian C. perfringens pada daging karkas dan daging giling di pasar tradisional lebih tinggi dibandingkan di pasar swalayan, sedangkan untuk daging giling tingkat kontaminasinya lebih tinggi. Hal ini disebabkan daging giling menyediakan lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri, permukaan yang luas dan selama proses penggilingan menyebabkan bakteri terdistribusi secara merata ke seluruh produk.
Maka hasil penelitian pada daging sapi yang dijual di beberapa kios daging di pasar tradisional dan pasar swalayan di kota Bogor, hanya satu sampel daging yang  memenuhi persyaratan SNI, yaitu sampel dari kios daging di pasar swalayan.

2.    Clostridium perfringens dalam ayam pedaging
Clostridium perfringens diyakini sebagai penyebab dari adanya kejadian enteritis nekrotika pada ayam pedaging.
Clostridium perfringens adalah mikroflora normal yang terdapat dalam saluran usus ayam. Pada keadaan sehat jumlah populasi C. perfringens dalam usus ayam adalah kurang dari 102 colony forming unit (CFU) per gram (SHANE et al., 1984; BABA et al., 1997). Karena adanya faktor-faktor predisposisi seperti bahan baku pakan, jenis litter dan infeksi koksidia yang dapat menyebabkan kerusakan usus (ELWINGER et al., 1992; SLUIS, 2000b; CRAVEN, 2000; ANNETT et al., 2002), jumlah C. perfringens terutama tipe A dan C dapat meningkat dari keadaan normal hingga mencapai 106 sampai 108 colony forming unit (CFU) per gram (HUTCHISON dan RIDDEL, 1990). C. perfringens A dan C ini dapat menghasilkan toksin α dan β yang menyebabkan kerusakan usus (enteritis nekrotika), kematian dan pengafkiran hati pada pemotongan (HUTCHISON dan RIDDEL, 1990). Kasus clostridial necrotic enteritis pada ayam pertama kali dilaporkan oleh PARISH (1961) yang ditandai dengan adanya nekrosis yang hemorragis pada mukosa usus ayam.(10)
Di Indonesia, kasus enteritis nekrotika yang disebabkan C. perfringens toksigenik telah sering ditemukan (SETYONO, 1992; NATALIA, 1999; HADI, 1999). Kejadian koksidiosis, diduga merupakan predisposisi bagi timbulnya penyakit ini (SETYONO, 1992; SLUIS, 2000b; BABA et al., 1997). Perlukaan mukosa usus akibat koksidiosis akan menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan C. perfringens sehingga populasi C. perfringens akan meningkat dengan jelas terutama pada usus bagian atas (jejunum dan ileum) dan kemudian terjadilah enteritis nekrotika (BABA et al., 1997).

3.    Clostridium perfringens dalam susu formula
Efuntoye dan Adetosoye (2004) melaporkan bahwa 3% kasus diare sporadik pada balita Nigeria disebabkan oleh Clostridium sp., dimana 72% diantaranya adalah Clostridium perfringens tipe A yang mengkontaminasi susu formula bayi.
Sebuah jurnal meneliti tentang pengaruh berbagai kondisi preparasi dan penyimpanan susu formula pada pertumbuhan spora Bacillus cereus dan  Clostridium perfringens. Hasil analisis menyebutkan bahwa pertumbuhan spora Clostridium perfringens yang berpengaruh nyata pada waktu penyimpanan di suhu ruang. Suhu awal preparasi berhubungan sangat lemah terhadap pertumbuhan spora Clostridium perfringens, sedangkan lama penyimpanan di suhu ruang berhubungan sangat kuat pada pertumbuhan spora Clostridium perfringens di dalam larutan susu formula. Penelitian Rowan et al., (1997) pada 100 merek susu bayi yang dipreparasi pada berbagai suhu juga menunjukkan hasil yang serupa.
Spora Clostridium perfringens nampak lebih cepat melakukan germinasi pada susu formula yang dipreparasi pada suhu 70o C. Suhu tersebut merupakan heat shock untuk spora Clostridium perfringens, sehingga spora terangsang untuk berubah menjadi sel vegetatif dan melakukan multiplikasi.
Dengan demikian preparasi susu dengan air matang yang didinginkan sampai suhu 25o C tetap aman dari segi risiko Clostridium perfringens, asal air yang digunakan dididihkan dengan benar yaitu selama minimal 2 menit, melakukan cuci tangan dengan sabun dan air bersih sebelum preparasi, dan mencuci tempat minum dengan sabun dan air bersih serta merebusnya dalam air sampai mendidih (FAO/WHO, 2006). Setelah dipreparasi, susu sebaiknya tidak disimpan terlalu lama pada suhu ruang karena akan menggandakan jumlah mikroba didalamnya. Untuk meminimalkan risiko, disarankan untuk sesegera mungkin mengkonsumsi susu formula yang telah dilarutkan dan memperpendek waktu konsumsi (feeding time) menjadi hanya dua jam, dan susu yang tidak habis diminum harus dibuang (Codex Alimentarius Commision, 2007).(11)
Kelembapan udara juga berpengaruh terhadap pertumbuhan spora Clostridium perfringens, dimana semakin terbuka bubuk susu formula disimpan semakin meningkat potensi spora untuk bertahan dan melakukan germinasi. Berdasaarkan hasil analisis di jurnal tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan spora Clostridium perfringens berbeda secara signifikan mulai dari hari pertama penyimpanan, yaitu tinggi pada hari pertama, menurun pada hari kedua, meningkat tajam pada hari ketiga, dan menurun lagi pada hari keempat. Penurunan tersebut kemungkinan karena Clostridium perfringens semakin kontak dengan oksigen yang ada di udara (sebab bakteri Clostridium perfringens adalah jenis bakteri aerotoleran yang bisa tumbuh dalam kondisi sedikit oksigen). Aktivitas air juga sangat mempengaruhi pertumbuhan spora Clostridium perfringens, nilai aw 0.65 atau lebih perlu diwaspadai. Decaudin dan Tholozan (1995) melihat bahwa kondisi dan strain yang berbeda sangat mempengaruhi pola pertumbuhan dan sporulasi Clostridium perfringens.(11)

E.   PENGGUNAAN ANTIMIKROBA
Antimikroba yang telah terbukti bermanfaat bagi penyembuhan infeksi sejak awal ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, sekarang mulai menimbulkan masalah. Hal tersebut terjadi karena penggunaannya yang terus menerus meningkat dan tidak terkendali dengan baik. Masalah yang perlu mendapat perhatian serius adalah timbulnya resistensi bakteri terhadap antimikroba. Perkembangan resistensi bakteri terhadap antimikroba sangat dipengaruhi oleh intensitas pemaparan. Tidak terkendalinya faktor-faktor dalam penggunaan antimikroba, cenderung akan meningkatkan resistensi bakteri yang semula sensitif (WIJAYA et al. 1987).(9)
Kepekaan C. perfringens terhadap antimikroba dari sampel feses babi yang diteliti TEUBER (1999) menunjukkan telah terjadi multiresisten terhadap antibiotika, yaitu tetrasiklin, eritromisin, linkomisin dan klindamisin. Sedangkan penelitian TRAUB et al. (1986) pada 23 jenis antimikroba, menunjukkan resistensi C. perfringens tipe A terhadap klindamisin, josamisin, tetrasiklin dan  kloramfenikol.
TEUBER dan PERRETEN (2000), mengemukakan bahwa resistensi antimikroba dari bakteri komensal dan patogen yang potensial merupakan ancaman, karena melalui pangan sifat resistensi dapat dipindahkan dari mikroflora hewan ke mikroflora manusia












BAB III
PENUTUP

Clostridium perfringens merupakan bakteri patogen yang dapat membentuk endospora yang menyebabkan terjadinya keracunan pangan. Keracunan ini disebabkan oleh adanya sejenis toksin yang dihasilkan ketika Clostridium perfringens itu bersporulasi. Ketika kemudian spora itu bergerminasi, toksin akan langsung menyebar. Gejala keracunan Clostridium perfringens antara lain diare, mual, dank kram perut, hingga yang terparah jika ada infeksi Clostridium perfringens pada luka yang dapat menyebabkan myonecrosis.
Ada lima serotype Clostridium perfringens, yaitu A, B, C, D, E, dan serotype A dan C adalah yang paling banyak menyebabkan penyakit di manusia.
            Kasus-kasus keracunan Clostridium perfringens telah banyak ditemukan di berbagai tempat, disebabkan Clostridium perfringens merupakan bakteri yang umum terdapat di mana-mana, sehingga terjadinya kontaminasi itu sangat mudah. Akan tetapi sebenarnya kasus keracunan karena Clostridium perfringens itu bisa dihindari asalkan penanganannya tepat dan kebersihan saat pengolahan dan penyimpanan bahan pangan itu terjaga.
            Penggunaan antimikroba yang dulu efektif digunakan untuk menanggulangi masalah karena Clostridium perfringens sekarang malah menimbulkan masalah baru, yaitu resistensi.









DAFTAR PUSTAKA

1.    Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya.  USU digital library
2.    Kusnadi, dkk. BAB XII Mikro Kesehatan. 2010. UPI
3.    Fardiaz, Srikandi.1992.Mikrobiologi pangan I.PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
4.    Wisconsin Department of Health Service. Clostridium perfringens. 2011. Local Public Helath Department.
5.    Media Informasi Obat-Penyakit. Detail Penyakit. 2008. Medicastore.
6.    Epsilon Toxin of Clostridium perfringens. 2004. The Center of Public Health, Iowa State University. Iowa
7.    Al-Khadi, S., et al. 2003. Identification and characterization of Clostridium perfringens using single target DNA microarray chip. Elsevier International Journal of Food Microbiology. Maryland, USA.
8.    SNI 7388:2009. Batas Cemaran Mikroba dalam Pangan. Badan Standardisasi Nasional
9.    Windiana, Dwi et al. Isolasi C. Perfringens Tipe A dari Daging Sapi yang Dijual di Beberapa Kios Daging di Kota Bogor dan Resistensinya Terhadap Antimikroba. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
10. Purwanti, Maya et al. Pengaruh Berbagai Kondisi Preparasi dan Penyimpanan  Susu Formula pada Pertumbuhan Spora Bacillus cereus DAN Clostridium perfringens. Hasil Penelitian Jurnal  Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XX No. 1 Th. 2009
11. Natalia, Lily dan A. Priadi. 2003. Clostridial Necrotic Enteritis: Peranan Vaksinasi Koksidiosis terhadap Kejadian Penyakit pada Ayam Pedaging. JITV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar