TUGAS MIKROBIOLOGI PANGAN
ASPERGILLUS
FLAVUS
Disusun Oleh:
Nirmaya Esthi W 22030110120056
Elka Aprilia 22030110120057
R. Farah Amalia 22030110120058
PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
TB,
asma, kanker paru-paru, dan pneumonia adalah kasus paru-paru yang umum ditemui
di rumah sakit di Indonesia.
Masyarakat awam pun relatif familiar dengan penyakit di atas. Namun sebenarnya
ada salah satu penyakit paru yang kejadiannya tidak terlalu sering,
tetapi kerap terjadi karena terdapat penyakit paru lain yang mendasarinya,
yaitu aspergilosis, penyakit infeksi paru akibat jamur.
Di
antara jutaan jamur di muka bumi ini, jenis Aspergillus
sp. paling sering menimbulkan infeksi paru. Jamur ini merupakan
jamur rumahan yang sporanya sangat banyak bertebaran di udara dan di dalam
rongga pernapasan manusia yang sehat. Pada saat kekebalan tubuh rendah,
pertumbuhan jamur akan merajalela dan Aspergillus
mampu menginvasi arteri dan vena, sehingga lokasinya bisa menyebar hingga ke
seluruh tubuh.
Spesies
Aspergillus
merupakan jamur yang umum ditemukan di materi organik. Meskipun terdapat lebih
dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia ialah Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus clavatus yang
semuanya menular dengan transmisi inhalasi. Umumnya Aspergillus akan
menginfeksi paru-paru. Aspergillus
dapat menyebabkan banyak penyakit pada manusia, yaitu akibat reaksi
hipersensitivitas atau invasi
langsung.1 Dalam makalah ini jenis spesies Aspergillus yang akan dibahas adalah Aspergillus flavus beserta aflatoksin
yang dihasilkan.
PEMBAHASAN
I.
Aspergillus flavus
I.1. Klasifikasi dan Sifat Morfologi
Klasifikasi:
Super
kingdom : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Sub kingdom : Dikarya
Filum : Ascomycota
Subfilum : Pezizomycotina
Kelas : Eurotiomycetes
Sub kelas : Eurotiomycetidae
Ordo :
Eurotiales
Famili : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus
flavus
Gambar
1. Aspergillus flavus (skala
pembesaran 100x dan 1000x)
Aspergillus flavus pada
sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam
divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti,
ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus.
Sistem klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes
berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup
analisis sekuen DNA.2
Sifat morfologis Aspergillus
flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna,
konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan
berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat
atau hitam. Tampilan mikroskopis Aspergillus
flavus memiliki konidiofor yang panjang (400-800 µm) dan relatif kasar,
bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan bentuk bola,
hifa berseptum, dan koloni kompak. Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter
6-7 cm dalam 10-14 hari. Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan
berubah menjadi kuning kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat
keemasan atau tidak berwarna, sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna
hijau tua.3
I.2
Sebaran
Aspergillus
flavus merupakan kapang yang tersebar luas di alam. Kapang ini
bisa muncul di tanah, tumbuhan yang membusuk, biji-bijian yang mengalami
kerusakan mikrobiologis, dan dapat menyerang berbagai jenis substrat organik di
mana pun dan kapan pun asalkan kondisinya mendukung pertumbuhannya. Namun,
kapang A. Flavus yang mencemari suatu
komoditi tidak selalu membuat racun sehingga adanya kapang ini belum tentu
memberikan pencemaran racun aflatoksin.
Aspergillus
flavus memiliki tingkat sebaran yang tinggi. Hal ini disebabkan
karena produksi konidia yang dapat tersebar dengan mudah melalui udara (airborne) maupun melalui serangga.
Selain itu juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang
keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain
dalam mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman.1
I.3 Sifat Fisiologi
I.3.1 Suhu Pertumbuhan
Aspergillus sp.
umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh
minimum 80% (aw minimum=0.80) dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin
sebesar 83% (aw minimum pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi
spora adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%.3
I.3.2 Kadar Air
Kenaikan
suhu, pH, dan persyaratan lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum
bertambah tinggi. Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal pada aw 0.86 dan 0.96.3
I.3.3 Kebutuhan oksigen
Secara
umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan N2 akan
menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan oleh
CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan
kadar O2 minimum 1% untuk pertumbuhan.3
I.3.4 Makanan
Pertumbuhan Aspergillus
flavus ditentukan oleh jenis dan kadar karbohidrat. Jenis
karbohidrat yang paling baik untuk media fungi antara lain: glukosa, galaktosa
dan sukrosa. Kemampuan tumbuh fungi pada media maltosa dan laktosa akan lebih
rendah daripada glukosa, galaktosa dan sukrosa.3
I.3.5 Kebutuhan garam
Keberadaan garam NaCl antara 1 – 3% sangat mendukung
pembentukan aflatoksin. Pada NaCl 8% dengan suhu 24°C
pembentukan aflatoksin akan dihambat, sedangkan pada suhu 28oC
dan 35oC tetap terjadi pembentukan aflatoksin. Pada NaCl berkadar 14% tidak
terjadi pembentukan aflatoksin.3
Selain itu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
Aspergillus flavus adalah unsur makro
(karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan magnesium) dan unsur mikro (besi, seng,
tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain cahaya,
kelembaban dan keberadaan kapang lain.3
I.4 Siklus Hidup
Gambar
2. Siklus hidup A. Flavus
1.
Mycelium dan Sclerotia
Mycelium
jamur merupakan struktur yang cukup dominan ditemukan dalam tanah. Sclerotia
juga bisa terbentuk yang membuatnya bisa bertahan hidup cukup lama dalam tanah.1
Gambar 3. Hifa dari A.
flavus
2.
Konidiofor
Sementara
A. flavus masih muda dan bertumbuh, mycelium membentuk banyak konidofor.
Konidiofor tumbuh secara tunggal dari badan hifa.1
Gambar 4. Konidiofor dari A. Flavus
3.
Konidia
Konidiofor
yang matang akan membentuk konidia pada ujungnya. Konidia berbentuk bulat dan
unisel dengan dinding yang kasar. Konidia bisa tumbuh, menyebar di udara,
menempel pada tubuh serangga, pada tanaman, pada hasil panen.1
Gambar 5. Konidia
4.
Mycelia saprofit
A.
flavus biasanya
tumbuh dan hidup sebagai saprofit di dalam tanah. Pertumbuhannya sangat
didukung dengan adanya sisa – sisa tanaman dan hewan dalam jumlah besar.1
II.1. Sejarah
Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden
kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun
1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum
diketahui penyebabnya pada waktu itu. Penyebab penyakit tersebut ditemukan
berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum
ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan
sejenis kapang. Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut.
Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat
menjadi aflatoksin karena Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas
kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan.4
II.2. Sifat dan Karakteristik
Jenis aflatoksin dan spesies penghasilnya dijelaskan pada
Tabel 1. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yang paling kuat daya
racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Tahun 1988, International Agency
for Research on Cancer menyatakan bahwa aflatoksin B1 bersifat karsinogen
(menyebabkan kanker) pada manusia. Batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan
aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah
masing-masing 20 dan 35 ppb (Keputusan Kepala Badan POM RI No.
HK.00.05.1.1405, tahun 2004).6
Spesies
|
Jenis aflatoksin
|
Ditemukan pada
|
Aspergillus flavus
Aspergillus nomius
|
B1, B2.
|
Kacang tanah, jagung, dan
olahannya serta pakan
|
Aspergillus
parasiticus
|
B1, B2, G1, G2
M1, M2 (metabolit aflatoksin)
|
Susu
|
Tabel
1. Jenis kapang dan jenis aflatoksin yang dihasilkan
Aflatoksin B1
dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus.
Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya
dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus.
Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan
ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh
hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan M2, yang dapat
diekskresikan dalam susu dan urin.6
Aflatoksin
|
Rumus
molekul
|
Berat
Molekul
|
Titik
leleh (0C)
|
B1
|
C17H12O6
|
312
|
268-269
|
B2
|
C17H14O6
|
314
|
286-289
|
G1
|
C17H12O7
|
328
|
244-246
|
G2
|
C17H14O7
|
330
|
237-240
|
M1
|
C17H12O7
|
328
|
299
|
M2
|
C17H14O7
|
330
|
293
|
B2A
|
C17H14O7
|
330
|
240
|
G2A
|
C17H14O8
|
346
|
190
|
Tabel 2. Karakteristik Aflatoksin
Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan
fluorosensinya dibawah sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan
silika gel yang disinari ultraviolet.
Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan
fluorosensi hijau diberi akhiran G (green).
Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan
aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2,
masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip.3
Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak
larut dalam air, tidak rusak pada suhu panas. Kondisi optimum untuk pertumbuhan
kapang dan memproduksi aflatoksin yaitu: nilai water activity (Aw) > 0,7 ;
kelembaban (RH) > 70% dan kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan
aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya
yaitu 24-30°C. Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh
faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain.3
Selain itu kapang akan berkembang biak pada kondisi
lingkungan yang tidak higienis, misalnya
banyak tikus, serangga gudang,
burung dan lain-lain, dapat pula
terserang komoditas lain yang sudah terserang penyakit tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang terserang
penyakit biasanya juga mengandung aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus sudah terjadi saat
pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang.4
Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari
kombinasi berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi
spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber
karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace
metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi
dari nutrien yang diberikan.3
Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi
ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin (aflR) maupun gen
struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi
global yang merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi.3
Aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap.
Tahap pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa
pembentukan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi yang
sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin
yang umum diterima saat ini ialah sebagai berikut.2
Hexanoyl
CoA precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN —>
hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —> hydroxyversicolorone, HVN—>
versiconal hemiacetal acetate, VHA —> versi-conal, VAL —> versicolorin B,
VERB —> versicolorin A, VERA —> demethyl-sterigmatocystin, DMST —>
sterigmatocystin, ST —> Omethylsterigmatocystin,
OMST—> aflatoxin B1, AFB1 and aflatoxin G1, AFG1.2
II.3 Keberadaan aflatoksin pada pangan
dan ternak
Aflatoksin dapat dijumpai pada berbagai bahan pangan,
misalnya jenis serealia (jagung, sorgum, beras, gandum), rempah-rempah (lada,
jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond, kacang tanah), susu (jika ternak
mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin), termasuk produk pangan yang
terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai kacang. Salah satu
komoditi yang sangat rentan adalah kacang tanah dan produk olahannya, seperti
kacang goreng, sambal pecel, minyak goreng, oncom, bungkil kacang tanah, dan
selai kacang tanah.
Namun, komoditi yang mempunyai tingkat risiko
tertinggi terkontaminasi aflatoksin adalah kacang tanah beserta produk
olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak goreng, oncom, bungkil
kacang tanah, dan selai kacang tanah, selain itu jagung, dan biji kapas (cotton seed).
Gambar
7. Jagung dan kacang tanah yang ditumbuhi kapang Aspergillus
Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman
sebelum dipanen. Setelah pemanenan, kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen
terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembab. Serangga dan tikus
juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada komoditi yang disimpan.
Aflatoksin sering kali terdifusi masuk ke dalam tenunan
bagian-bagian dalam komoditi pertanian melalui rambut-rambut kapangnya. Dengan
demikian, biji, umbi, bungkil, dan bagian lain komoditi yang tercemari tidak
serta merta tampak oleh mata. Keberadaan aflatoksin dipengaruhi cuaca seperti
suhu dan kelembapan, sehingga tingkat kontaminasinya bervariasi tergantung
lokasi geografis, cara bertani, budi daya, dan kerentanan komoditi.7
Racun aflatoksin seperti ochratoksin,
Sterigmatosistis, dan asam panisilat diproduksi lebih aktif pada bahan yang
mengandung karbohidrat tinggi (jagung, gandum, dan beras), kemudian diikuti
oleh bahan yang kaya lipid dan peptide (protein).8
II.4. Efek Aflatoksin Terhadap Kesehatan
Manusia
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik,
mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan.
Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena
memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas
akut terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat
menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut
aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika diasumsikan bahwa manusia juga
mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada kebanyakan spesies hewan, LD50
aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga 10 mg/kg berat badan.
Pada tahun 1988, IARC menggolongkan
aflatoksin B1 pada daftar karsinogen terhadap manusia. Hal ini
didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan Afrika yang
menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel hati (Liver Cell Cancer = LCC). Sebagai
tambahan, timbulnya penyakit yang berhubungan dengan aflatoksin pada manusia
kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status nutrisi,
dan/atau paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi
parasit.
Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam jangka
panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada dosis dan
frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah
kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis
paparan.9
Toksisitas akut terjadi tak lama setelah mengonsumsi
bahan makanan yang terkontaminasi racun dengan dosis relatif besar dan yang
terserang adalah hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin
menyebabkan timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma). Secara umum konsentrasi
aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 3.7
Konsentrasi Aflatoksin Efek yang
Ditimbulkan
(ppb)b
20 level
maksimal yang diijinkan untuk manusia
50 level
maksimal yang diijinkan untuk hewan
100 pertumbuhan lambat
pada usia muda
200-400 pertumbuhan
lambat pada usia tua
>400 kerusakan hati dan kanker
Tabel
3. Konsentrasi Aflatoksin dan Akibat
yang Ditimbulkan
Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun
dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati, organ tubuh yang sangat
penting dan juga berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Data dari
berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan ada 20% kasus kanker hati tidak
menunjukkan kaitan dengan infeksi hepatitis B maupun hepatitis C. Diduga
Aflatoksin B1 memegang peran sebagai faktor pemicu mutasi P53 gen sel hati yang
seterusnya menimbulkan kanker sel hati, timbul dugaan bahwa kasus kanker hati
itu berhubungan dengan senyawa karsinogen termasuk Aflatoksin B1 (RASYID,
2006).5 Sampai saat ini obat
yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B
(AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan
caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus.9
Aflatoksikosis
Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau
pakan yang tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis. Beberapa negara,
terutama negara dunia ketiga, seperti Taiwan, Uganda, dan India telah
melaporkan adanya bukti terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia. Di negara-negara maju, kontaminasi aflatoksin pada pangan
jarang terjadi pada tingkat yang dapat menimbulkan aflatoksikosis akut terhadap
manusia.
Penelitian toksisitas paparan
oral aflatoksin terhadap manusia difokuskan pada potensi karsinogeniknya.
Kerentanan relatif manusia terhadap aflatoksin masih belum diketahui, meskipun
pada studi epidemiologi di Afrika dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak
terjadi insiden hepatoma, telah ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan
kandungan aflatoksin dalam diet. Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan
adanya hubungan sebab akibat, tetapi dapat menjadi bukti adanya kaitan.
Masalah yang timbul jika mengonsumsi makanan yang
mengandung aflatoksin:
·
Keracunan akut (aflatoksikosis), dengan gejala mual, muntah, kerusakan hati hingga kematian pada kasus serius
·
Perkembangan anak dan pertumbuhan janin terganggu
·
Metabolisme protein terganggu
·
Kekebalan tubuh menurun
·
Kanker hati
Pada manusia, kasus aflatoksikosis
sesungguhnya jarang dilaporkan, tetapi kebanyakan kasus tidak selalu dikenali
sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi aflatoksikosis
jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
- Penyebab
penyakit tidak dapat segera teridentifikasi.
- Penyakitnya
tidak menular.
- Penyebab
penyakit diduga diakibatkan oleh jenis pangan tertentu.
- Pemberian
antibiotik atau obat lainnya hanya memberikan sedikit pengaruh.
- Kejadiannya
bersifat musiman (kondisi cuaca dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang).
Efek berat aflatoksikosis pada
hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia) dikategorikan ke dalam
dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis akut (jangka pendek) dan aflatoksikosis
kronik (jangka panjang).
1. Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin
dalam tingkat sedang hingga tinggi. Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah
edema anggota tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara spesifik,
paparan akut aflatoksin dapat menyebabkan perdarahan, kerusakan hati secara
akut, edema, perubahan pada pencernaan, dan kemungkinan kematian.
Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar umumnya terjadi di
peternakan. Organ target aflatoksin adalah hati. Setelah aflatoksin masuk ke
hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit dan menyebabkan nekrosis atau kematian
sel hati. Hal ini terutama disebabkan oleh metabolit aflatoksin yang bereaksi
secara negatif dengan protein sel lain, yang menyebabkan penghambatan
metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan
fungsi hati, terjadi gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus (jaundice), dan penurunan protein serum
esensial yang disintesis oleh hati.
2.
Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh
konsumsi aflatoksin dalam tingkat rendah hingga sedang. Efek yang ditimbulkan
biasanya bersifat subklinis dan sulit dikenali. Gejala aflatoksikosis kronik
dapat berupa penurunan laju pertumbuhan, penurunan produksi susu atau telur,
dan imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas,
terutama terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya
kerusakan hati karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik jaundice, serta timbul pembengkakan
kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas aflatoksin dengan sel
T, penurunan aktivitas vitamin K, dan penurunan aktivitas fagositosis makrofag.
Pada hewan, efek imunosupresi akibat aflatoksin ini memberi kecenderungan
terkena infeksi sekunder dari jamur lain, bakteri, maupun virus.8
II.5. Aflatoksin dan kerugiannya bagi
ternak
Hasil-hasil penelitian (MANI et al., 2001;
MUTHIAH et al., 1998) melaporkan bahaya aflatoksin dan dampaknya terhadap hewan
yaitu dapat menghambat peningkatan bobot badan ternak unggas dan ruminansia,
mengurangi produksi telur, menurunkan respon imun (daya kekebalan tubuh
ternak), jumlah kematian ternak tinggi,
mempengaruhi absorpsi unsur mineral Ca, Cu, Fe dan P, kerusakan organ hati
serta menyebabkan residu pada produk ternak, yang akan berbahaya bagi manusia.5
II.6
Upaya Pencegahan Aflatoksin
Produksi pangan yang benar-benar bebas
mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Namun, metode penyimpanan
dan penanganan komoditi yang baik dapat meminimalkan pertumbuhan kapang
sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada produk pangan.
Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya di tempat yang kering
(kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan di freezer).
Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam
tubuh melalui pangan, sangat bijaksana jika konsumen bersikap selektif terhadap
pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan menghindari mengkonsumsi
pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah rasa atau
tengik.
Upaya menghindari
pertumbuhan mikrobia pada bahan pakan bisa dilakukan dengan jalan menjaga
kelembaban yang rendah, kurang dari 80% sehingga pertumbuhan fungi akan
terhambat. Hindari suhu optimum untuk pertumbuhan fungi A. Flavus maupun A. parasiticus, yaitu 25 –
40 oC. Penyimpanan dalam keadaan kering, kira-kira kadar air
10-12% terhadap bahan pakan sangat dianjurkan.
Pemilihan bahan pakan yang
baik dan utuh, terhindar dari kelukaan atau kerusakan oleh serangan hama harus
ditegakkan, karena serangan serangga merupakan predisposisi bagi pertumbuhan
fungi pada bahan pakan tersebut. Pada jagung yang terserang serangga
menunjukkan kandungan
aflatoksin hampir 90%. Hindari pH 5,5 – 7,0 yang optimum untuk pertumbuhan A. Flavus.5
Seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin melalui
pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi
komoditas perdagangan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah
kontaminasi aflatoksin, tetapi hal ini masih tetap menjadi masalah. Berbagai
negara telah mencoba membatasi paparan aflatoksin dengan mengeluarkan peraturan
batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan digunakan sebagai makanan dan
pakan. Food and Drug Administration di Amerika Serikat, misalnya, memberi
batasan kadar aflatoksin maksimum 20 ppm pada makanan dan pakan, termasuk
produk-produk kacang tanah.8
II.7 Teknologi deteksi aflatoksin
Teknologi
deteksi aflatoksin secara kuantitatif, teknik kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT) merupakan cara pendeteksian yang umum digunakan dan merupakan metode
konfirmasi. Sedangkan metode semi kuantitaf aflatoksin adalah kromatografi
lapis tipis (KLT) dan Enzyme Linked
Immunoassay (ELISA), telah pula dikembangkan di laboratorium Bbalitvet.
Saat ini laboratorium Toksikologi Bbalitvet telah dapat menentukan cemaran
aflatoksin untuk kepentingan penelitian maupun pengujian diagnostik dengan KCKT
(Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) atau HPLC (High Pressure Liquid Chromatography) dengan detektor fluoresen,
dimana metoda deteksi ini memerlukan tahapan derivatisasi untuk mengubah
aflatoksin menjadi senyawa berfluoresensi kuat, serta teknik ELISA (RACHMAWATI,
2005). Analisis aflatoksin pada pakan dan bahan pakan dengan kedua metoda
tersebut (HPLC dan ELISA) telah masuk ruang lingkup terakreditasi berdasar ISO
guide 17025. Telah pula dikembangkan teknik deteksi menggunakan LCMS dapat
memotong tahapan derivatisasi dan memberikan hasil konfirmasi yang lebih akurat
dan diharapkan lebih sensitif. Untuk teknologi deteksi secara ELISA telah dapat
dirakit berupa kit yang dapat di suplai ke para pengguna, sehingga laboratorium
lain dalam ruang lingkup kegiatan yang hampir sama dapat melakukan analisis
aflatoksin pada laboratoriumnya.
Analisis menggunakan kit ELISA lebih disukai, karena
dapat menganalisis sampel dalam jumlah banyak dalam satu waktu analisis dan
ekstraksi sampel lebih sederhana, sehingga waktu analisis lebih cepat. Meskipun
kit serupa produksi luar negeri tersedia di Indonesia (kit impor), namun kit
hasil pengembangan Bbalitvet dapat diperoleh di dalam negeri dengan harga
relatif murah (3 kali lebih murah) (RACHMAWATI, 2005). Metode analisis
aflatoksin secara ELISA dapat dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan lapang,
seperti ELISA dipstick atau ELISA test strip. Namun demikian baik metode ELISA
maupun kromatografi untuk analisis aflatoksin, dapat lebih luas dikembangkan
untuk aplikasi dalam matrik bahan pertanian lain ataupun makanan (RACHMAWATI,
2006).5
II.8
Teknik Dekontaminasi
Upaya menekan kandungan
aflatoksin dapat dilakukan dengan menggunakan cendawan Neurospoa sp. dan Rhizopus
sp. Selanjutnya untuk menghindari serangan cendawan A. Flavus pada jagung dapat dilakukan dengan sesegera mungkin
menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen sampai kadar air 17%, lalu dipipil
dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11% kemudian disimpan. Pada kondisi kadar
air rendah pada biji jagung, maka tidak terserang cendawan A. Flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan kimia yaitu ammonia
dan asam propionate dapat negurangi jumlah spora yang menempel pada jambul
jagung, sehingga mengurangi sumber inokolum untuk infeksi di penyimpanan.
Upaya
untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi menggunakan pelarut organik,
antara lain dengan kalsium klorida atau sodium bikarbonat atau dengan pemanasan
dalam air garam. Penggunaan amonia atau monometylamine dan kalsium hidroksida
juga efektif dalam mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa digunakan untuk
dekontaminasi pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada tepung kacang.
Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam p-amino benzoat, kalium sulfit,
kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat, dan H2O2.
Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat praktis dan
mudah, sehingga banyak dipraktekkan.
Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal penggarangan kacang
tanah pada suhu 150oC selama 30 menit akan mengurangi aflatoksin B1
sebanyak 80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%. Penggorengan dengan
minyak pada kacang tanah pada suhu 204oC akan mengurangi kadar
aflatoksin B1 dan G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan
aflatoksin B2 dan G2 akan menurun sebanyak 20 – 40%.
Aflatoksin dianggap stabil terhadap pemanasan, karena pada pemanasan normal
(100oC) tidak menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen,
zeralenon, khloratoksin dan patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak oleh
pemanasan. Pemanasan bertekanan (autoklaf) dapat juga mengurangi kadar
aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC bertekanan 15 lbs selama 4 hari
pada tepung kacang dengan kelembaban 60% akan menurunkan kadar aflatoksin dari
7.000 mg/kg menjadi 340 mg/kg.
Penyinaran dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa menghancurkan
spora A. Flavus.
Akan tetapi penyinaran ini juga menyebabkan berkurangnya zat-zat gizi dalam
bahan pakan.
Bahan-bahan kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat pembentukan
aflatoksin pada gandum, jagung, beras dan kacang tanah. Pencegahan aflatoksin dapat dilakukan dengan penggunaan feed aditiv yang
dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in vivo feed aditiv ini akan
aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat memiliki kemampuan
mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga tidak berbahaya bagi
ternak. Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai feed aditiv antara lain
activated charcoal,
yeast produk dinding sel. Beberapa produk sintetik dapat digunakan, antara
lain zeolit, aluminosilikat dan Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Zeolit
aktif melawan aflatoksin T2.. Penambahan zeolit 2%
sebanyak 1mg/kg bahan pakan terkontaminasi aflatoksin B1 akan menurunkan kadar
aflatoksin dalam hati sampai 30-40%.5
II.9 Langkah Penanganan
1.
Melakukan peningkatan manajemen bercocok tanam, penggunaan varietas tanaman
tahan serangan kapang toksigenik pada proses pra panen, serta pemilihan
terhadap bahan pangan yang berkualitas baik dan tidak berkapang.
2.
Mendidik petani, pedagang pengumpul, grosir, pengecer, industri pangan dan
pakan mengenai cara penanganan pasca panen kacang tanah dan jagung yang baik,
melalui media berupa brosur, artikel pada majalah ilmiah populer, dan
lain-lain.
3.
Melakukan monitoring terhadap kadar aflatoksin pada pangan dan pakan secara
kuantitatif dan semi kualitatif pada berbagai tahapan.
4.
Melakukan survei yang lebih luas dan terpadu terhadap kontaminasi aflatoksin
pada berbagai bahan pangan dan pakan di berbagai daerah (kabupaten, provinsi)
di Indonesia.
5.
Menangani masalah aflatoksin dengan koordinasi berbagai pihak meliputi
pemerintah, produsen, konsumen, praktisi, akademisi dan peneliti.
6.
Mendistribusikan informasi yang diperoleh dari laporan ini kepada penyuluh
pertanian, importir, grosir, dan pengecer kacang tanah, serta industri pangan
dan pakan yang berbahan baku kacang tanah dan jagung.
7. Mendidik konsumen untuk dapat mengenali dan
tidak mengonsumsi kacang tanah yang tercemar aflatoksin dengan ciri biji
berwarna coklat kehijauan hingga kehitaman, dan berasa pahit.6
II.10 Teknologi Pasca Panen Untuk Pengendalian
Kontaminasi Aflatoksin Pada Kacang Tanah
1. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada saat
masak optimum (umur antara 90-100 hari, tergantung varietasnya) atau dengan
kriteria minimal 75% polong telah terbentuk per tanaman, dan bagian kulit dalam
telah berwarna gelap.
2. Segera lakukan perontokan. Cara manual
(dipetik) memberi risiko kecil untuk polong rusak/luka meski kapasitasnya
rendah (8-10 kg/jam/orang).
3. Polong kacang tanah harus segera
dikeringkan (< 48 jam) sampai kadar air <10 % ditandai dengan ringannya
polong dan nyaringnya bunyi biji bila polong dikocok, agar aman dari risiko
kontaminasi aflatoksin. Pada musim kemarau, kadar air tersebut dapat dicapai
dengan pengeringan 3 hari di atas lantai jemur, namun menjadi lebih lama bila
pemanenan jatuh pada musim hujan. Untuk mengatasinya, dapat digunakan alat
pengering tipe bak yang kapasitasnya 500 kg polong basah, dengan suhu
pengeringan 50°C selama 12 jam. Agar proses pengeringan berjalan dengan baik,
polong kacang tanah tersebut harus diaduk/dibalik setiap 2 jam untuk meratakan
suhunya. Namun, alat ini kurang ekonomis untuk petani perorangan karena
biayanya relatif mahal, sehingga lebih sesuai untuk pedagang pengumpul/besar.
4. Pengupasan polong harus semaksimal
mungkin menghindari rusaknya polong. Pisahkan polong yang muda, keriput, busuk,
dan luka atau rusak dari polong yang baik untuk mencegah kontaminasi aflatoksin
pada kacang tanah lainnya.
5. Agar aman disimpan, kadar air kacang
tanah harus < 9% untuk polong dan < 7% untuk biji. Oleh karena itu,
penyimpanan sebaiknya dilakukan pada kondisi ruang penyimpan yang sejuk (suhu
27°C) dan kering (kelembaban nisbi 56-70%) dengan menggunakan bahan pengemas
kedap udara dan diletakkan secara bertumpuk di atas rak-rak kayu serta diberi
jarak dengan dinding. Untuk skala besar, penyimpanan biji kacang tanah (kadar
air 8%) dalam karung goni yang dirangkap dengan kantong plastik polietilen
tipis dilaporkan efektif sampai 6 bulan dengan kadar aflatoksin 16,8 ppb.6
BAB
III
KESIMPULAN
Aspergillus
flavus merupakan kapang yang tersebar luas di alam. Kapang ini
menghasilkan racun aflatoksin yang dapat mencemari bahan pangan maupun pakan
ternak. Bahan pangan terutama kacang tanah, jagung, dan biji kapas. Terdapat 18
jenis racun aflatoksin, empat yang paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin
B1, G1, B2, dan G2. Aflatoksin B1 bersifat karsinogen pada manusia. Namun, kapang
A. flavus tidak selalu menghasilkan
racun sehingga adanya kapang ini belum tentu memberikan pencemaran racun
aflatoksin. Aflatoksin yang mencemari pakan ternak dapat membahayakan kesehatan
dan produktivitas ternak. Sementara residunya pada hasil ternak dapat
menyebabkan keracunan (aflatoksikosis) baik akut maupun kronis pada manusia
bila hasil ternak tersebut dikonsumsi.
Berbagai negara telah mencoba membatasi
paparan aflatoksin dengan mengeluarkan peraturan batasan kadar aflatoksin pada
komoditi yang akan digunakan sebagai makanan dan pakan. Upaya pencegahan
aflatoksin harus dilakukan seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) baik pemerintah, petani,
produsen dan konsumen pada komoditi bahan pangan dan pakan yang berpeluang
terkena cemaran aflatoksin.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Sulfiah.
2012. Aspergillus flavus. http://www.scribd.com/doc/88386415/Aspergillus-Flavus,diakses pada tanggal 10 Mei 2012
2.
Nathalie,
lisa. 2011. A study on Aspergillus Flavus.
http://books.google.co.id/books?id=c2SkVA2cBrwC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false, diakses pada tanggal 5 Mei 2012
3.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/48282/F11naf_BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=6, diakses pada tanggal 5 Mei 2012
4.
Dwi Rahayu,
Imbang. Teknik Dekontaminasi Mikotoksin.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CEsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fimbang.staff.umm.ac.id%2Ffiles%2F2010%2F02%2FTEKNIK-DEKONTAMINASI-MIKOTOKSIN2, diakses tanggal 3 Mei 2012.
5. Anonim. Cemaran
Aflatoksin pada Bahan Pakan Serta Teknologi Deteksinya. http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/component/content/article/37-berita-utama/285-cemaran-aflatoksin-pada-bahan-pakan-serta-teknologi-deteksinya, diakses tanggal 3 Mei 2012.
6.
Anonim.
2007. Aflatoksin. http://www.pom.go.id/surv/events/afla2007Vol2.pdf, diakses pada tanggal 3 Mei 2012.
7.
Dwooqkii.
2012.Info tentang racun aflatoksin yang
terdapat pada kacang tanah. http://www.forumkami.net/cafe/207917-info-tentang-racun-aflatoksin-terdapat-kacang-tanah.html,
diakses pada tanggal 3 Mei 2012.
8.
Anonim. Mewaspadai Cemaran Aflatoksin pada Pangan. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CE0QFjAB&url=http%3A%2F%2Fbalitnak.litbang.deptan.go.id, diakses tanggal 3 Mei 2012.
9.
Yenny. 2006.
Aflatoksin dan Aflatoksikosis pada
Manusia. http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/yenni1.pdf, diakses pada tanggal 3 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar