TUGAS MIKROBIOLOGI PANGAN
Foodborne : Bakteri Coxiella Burnetii
Disusun
oleh :
Kelompok
1.
Zeza Aziza 22030110130095
2.
Tiara Puspa 22030110141001
3.
Muhammad Nino Nurhakim 22030110141002
PROGRAM
STUDI ILMU GIZI
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adanya mikroba tertentu
pada bahan pangan dapat digunakan sebagai indikator kualitas pangan yang
terkait dengan umur simpan dan indikator keamanan pangan. Namun demikian, pada
prakteknya lebih banyak digunakan untuk menilai kondisi sanitasi atau keamanan
pangan. Dimana bakteri tersebut dapat bersifat patogen dan non patogen.
Coxiella burnetii
(C. burnetii) merupakan salah satu spesies dari genus Coxiella. C. Burnetii
merupakan bakteri yang bersifat patogen yang berarti dapat menyebabkan suatu
penyakit pada hewan maupun pada manusia. Penyakit yang paling terkenal dari bakteri
ini adalah demam Q atau Query fever.
Disebut demam Q karena penyakit ini pertama kali ditemukan di daerah
Queensland. Sebelumnya penyakit itu sering disebut demam X karena gejalanya yang
sulit utuk diidentifikasi. (1) C. Burnetii dapat mengakibatkan Foodborne disease.
Foodborne disease adalah
suatu penyakit yang timbul akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang
tercemar. Foodborne disease dapat
disebabkan dari berbagai macam mikroorganisme patogen atau zat kimia beracun
dan berbahaya bagi kesehatan. Mikroorganisme patogen tersebut dapat
mengontaminasi makanan melalui hewan maupun tumbuhan yang berperan sebagai
media pembawanya ataupun karena penanganan makanan tersebut yang kurang dalam
kebersihannya. (2)
C. Burnetii dapat mengakibatkan deman Q, dimana demam Q ini merupakan salah satu
dari berbagai macam Foodborne disease. Demam Q adalah penyakit zoonosa
yang dapat ditularkan melalui pangan. Pada manusia demam Q menyebakan gangguan
pada tubuh seperti malaise, myalgia, sakit kepala, kedinginan, kelelahan, demam
tinggi yang sering dihubungkan dengan penyakit pernafasan (Acha dan Szyfres
2003). Demam Q dapat bersifat akut, sering muncul seperti pneumonia dan
hepatitis (Fournier dan Raoult 2003) dan infeksi kronis seperti endokarditis
dan osteomielitis (Raoult 2002). Dan penelitian terbaru menunjukkan gangguan
pada aorta didiagnosa akibat agen C. Burnetii (Panau et al 2007). Pada
wanita hamil dapat menyebabkan keguguran. Kelahiran premature, kelahiran dengan
berat kurang, radang plasenta, dan infeksi uterus kronis (Marrie 2003). (3)
1.2 Rumusan Masalah
Keberadaan C. Burnetii pada makanan dapat
menyebabkan demam Q pada hewan maupun manusia. Hal tersebut menjadi alasan
pentingnya untuk mengetahui bagaimana karakteristik bakteri C. Burnetii, bagaimana sejarah dan
penamaan dari C. Burnetii, bagaimana
epidemiologi dari C. Burnetii, apa
saja hasil dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan pada C. burnetii, apa saja gejala dari
penyakit yang disebabkan oleh C. Burnetii,
bagaimana cara penularan C. Burnetii,
bagaimana diagnosis penyakit yang diakibatkan oleh C. Burnetii, dan obat apa saja yang dapat membantu dalam
penyembuhan penyakit yang diakibatkan oleh C.
Burnetii.
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat diketahui
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui
bagaimana karakteristik bakteri C. Burnetii.
2.
Mengetahui
bagaimana sejarah dan penamaan dari C. Burnetii.
3.
Mengetahui
bagaimana epidemiologi dari C. Burnetii.
4.
Mengetahui
apa saja hasil dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan pada C.
burnetii.
5.
Mengetahui
apa saja gejala dari penyakit yang disebabkan oleh C. Burnetii.
6.
Mengetahui
bagaimana cara penularan C. Burnetii.
7.
Mengetahui
bagaimana diagnosis penyakit yang diakibatkan oleh C. Burnetii.
8.
Mengetahui
obat apa saja yang dapat membantu dalam penyembuhan penyakit yang diakibatkan
oleh C. Burnetii.
1.4 Manfaat
Diharapkan dari pembuatan makalah ini dapat memberikan
informasi tentang bakteri Coxiella
Burnetii, dampak dari bakteri tersebut dan mengetahui bagaimana cara
mencegah untuk terjadinya kontaminasi makanan oleh Coxiella Burnetii.
BAB II
ISI
Klasifikasi ilmiah
|
|
Kingdom
|
|
Phylum
|
|
Class
|
|
Order
|
|
Family
|
|
Genus
|
|
Species
|
Gambar Coxiella Burnetii (5)
Coxiella burnetii
adalah bakteri patogen obligat intraselular yang berarti mereka bergantung pada
host untuk dukungan gizi dan lingkungannya, mereproduksi dengan pembelahan
biner, dan merupakan agen penyebab terjadinya Query fever atau biasa disebut
demam Q pada hewan maupun pada
manusia. (6) Nama “Q”
digunakan karena diduga bakteri ini pertama kali ditemukan di daerah Queensland,
pernah juga disebut “X fever” karena
dulu sulit untuk diidentifikasikan. (1) Pada manusia, demam Q ini memiliki
berbagai macam keparahan, tergantung pada kesehatan awal host, serta
faktor-faktor lain.
Manusia biasanya
mengalami Q fever karena menghirup aerosols yang terkontaminasi dengan C. Burnetii. Sumber lain dari infeksi
pada manusia yang diakibatkan oleh bakteri C.
Burnetii adalah berasal dari mengonsumsi makanan yang bahan makanannya
sudah terkontaminasi oleh C.Burnetii
maupun dari minum susu murni sapi perah yang terinfeksi oleh C. Burnetii, tetapi
hal ini tidak terlalu besar berisiko jika susu dipasteurisasi. Dan dilaporkan
dapat bertahan hidup untuk 7-10 bulan pada wol di 15- 20oC , selama
lebih dari 1 bulan pada daging segar dalam penyimpanan dingin, dan selama 40
bulan di susu skim pada suhu kamar. (14)
C.
Burnetii mempunyai daya tahan yang tinggi di alam, tahan
pada pH rendah, serta tahan terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri, seperti
lisol, 0,5% sodium hipoklorit dan radiasi sinar UV (MAURIN dan RAOULT, 1999). Oleh
karena itu beberapa Negara mengkatagorikan Coxiella burnetii kedalam kelompok
bakteri yang berpotensi sebagai senjata biologis seperti halnya bakteri Bacillus
anthracis. Pemerintah Amerika menempatkan demam Q sebagai bahan sarana bioterorisme katagori B (CDC 2003;
SESHASDRI et al., 2003). (7)
Beberapa hal terkait mengenai bakteri Coxiella burnetii, antara lain :
Karakteristik
Gambar Coxiella Burnetii (5)
Genus Coxiella memiliki morfologi yang serupa dengan rickettsia namun memiliki variasi
genetik dan perbedaan fisiologis. Ada variasi bentuk yang mirip dengan
Salmonella, dimana bentuk lipoposakaridanya memungkinkan untuk menginfeksi
dengan cara yang serupa. (1) C. Burnetii mempunyai ukuran panjang 0.3 µm sampai 0.7 µm, memiliki
banyak variasi bentuk dan dapat stabil dalam lingkungan ekstrasellular. (8)
Bakteri ini berbentuk coccobacillus dan bersifat non motile (tidak bergerak). (1)
Coxiella burnetii
adalah bakteri gram-negatif kecil dimana bakteri ini sifatnya sangat tahan
terhadap perubahan-perubahan lingkungan, seperti suhu
tinggi, kekeringan, tekanan
osmotik dan sinar ultraviolet. Coxiella burnetii
memiliki bentuk spora yang tahan terhadap disinfektan (sodium hipoklorit,
formalin, variasi fenol, glutaraldehida dan gas formaldehida) dan perubahan
lingkungan. (1) Karakteristik
ini dikaitkan dengan bentuk small cell
variant (SCV) organisme yang merupakan bagian dari sebuah biphasic siklus
perkembangan. Termasuk lebih banyak secara metabolic dan replicatif aktif
bentuk large cell variant (LCV).
Sehingga dapat tahan terhadap disinfektan dan perubahan lingkungan seperti yang
ditunjukan phagolysosome. (4)
Dibandingkan
dengan bakteri yang hidup bebas, Coxiella
burnetti tidak memiliki kapasitas transportasi yang luas. Terlepas dari
pembatasan tersebut, bakteri coxiella burnetti memiliki kapasitas transportasi
lebih daripada parasit obligat lain seperti organisme Rickettsia. Untuk mekanisme transport aktif akan melalui ion
transportasi, Na+/H+ exchanger dianggap penting untuk mempertahankan pH dalam
lingkungan asam untuk berkembangnya Coxiella
burnetti. Meskipun grup mekanisme transfer melalui sistem
phosphotransferase tidak jelas dalam Coxiella,
enzim yang terlibat dalam sistem, seperti HPr dan enzim 1 dihadirkan dan memainkan
peran regulasi. (6)
Tidak
seperti parasit obligat lainnya, metabolisme kapasitas besar coxiella burnetti
memungkinkan bakteri untuk menjalani glikolisis , gluconeogenesis , fosfat
pentose, dan siklus TCA. Mereka kekurangan ATP/ADP exchanger dalam sistem
transportasi. Bakteri coxiella burnetti menggunakan beberapa gula (termasuk
Xilosa dan glukosa) dan penyerapan mereka dibantu oleh gradien membran. Asam
amino dan peptida menjadi sumber utama karbon untuk bakteri ini. (6)
Karakteristik unik dari kuman C. burnetii adalah
memiliki variasi fase antigen. Ada dua fase antigen, fase I bersifat virulen
(patogenik) yang dapat diisolasi dari hewan maupun manusia yang terinfeksi di
alam maupun di laboratorium. Sedangkan fase II bersifat kurang virulen
diperoleh selama dikembangbiakan secara berseri di biakan sel atau telur tertunas
(STOCKER dan FISET, 1956). (9)
Siklus
infeksi dari Coxiella
Sejarah dan Penamaan
Penelitian
di tahun 1920-an dan 1930-an Coxiella
burnetii ditemukan seperti jenis baru dari Rickettsia, terisolasi dari
kutu, yang mampu melewati filter. Gambaran pertama dari Coxiella burnetii itu diterbitkan pada tahun 1925 oleh Hideyo
Noguchi, tapi karena sampel itu tidak bertahan hidup di lingkungan
ekstraseluler sehingga membuat Coxiella
burnetii masih belum jelas apakah itu organisme yang sama atau bukan.
Deskripsi yang definitif telah dipublikasikan di akhir 1930-an sebagai bagian
dari penelitian penyebab Q fever, oleh Edward Holbrook Derrick dan Macfarlane
Burnet di Australia, dan Herald Rea Cox dan Gordon Davis di Rocky Mountain
Laboratory (RML) di Amerika Serikat. Hal ini dilakukan oleh arthropoda
(terutama kutu), ikan, burung dan mamalia. (4)
Tim
RML mengusulkan nama Rickettsia
diaporica, yang berasal dari kata Yunani karena memiliki kemampuan untuk
melewati pori-pori filter, penamaan itu dihindarkan setelah Cox atau Davis
menggunakan deskripsi Noguchi yang telah prioritas. Pada waktu yang sama,
Derrick mengusulkan nama Rickettsia burnetii, sebagai pengakuan atas kontribusi Burnet's dalam mengidentifikasi
organisme sebagai Rickettsia. Ketika
ini menjadi jelas bahwa spesies itu berbeda secara signifikan dari Rickettsia, akhirnya pertama kali bakteri
itu dinaikkan ke sebuah subgenus bernama setelah Cox, Coxiella, dan kemudian pada tahun 1948 diusulkan untuk
pemberian nama sendiri dalam genusnya yang diusulkan oleh Cornelius B. Philip,
peneliti RML lain. (4)
Coxiella
tersebut sangat sulit untuk dipelajari karena tidak bisa melakukan reproduksi
di luar host. Namun, pada tahun 2009 para ilmuwan melaporkan sebuah teknik yang
memungkinkan untuk bakteri tumbuh dalam suatu axenic budaya dan menyarankan
teknik itu dapat digunakan untuk mempelajari patogen yang lain. (4)
Epidemiologi
Q Fever
Q fever telah
menjadi problem kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Perancis,
Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Taiwan, Malaysia
dan beberapa negara lain, di Asia Tenggara. Penelitian tentang Q fever sudah
demikian maju, bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap
sudah dilakukan (SESHADRI et al., 2003). Hal ini mengingat C.
burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis (RAOULt et
al., 2002). (7)
Mengingat
Coxiella burnetti mempunyai potensi
untuk dipakai sebagai senjata biologis. Laporan epidemiologi dari banyak negara
menyebutkan bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak, seperti
peternak, pekerja rumah potong, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban
area) berpeluang besar terserang Q fever. Indonesia dengan jumlah penduduk yang
sebagian besar adalah petani yang tidak terlepas dari hewan ternak serta
banyaknya lokasi kumuh di perkotaan sangat rentan terhadap infeksi Q fever. (1)
Penelitian
terhadap penyebab Q fever di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan.
Hal ini bukanlah karena tidak ada kasus Q fever, tetapi lebih disebabkan oleh
gejala klinis bentuk akut infeksi Q fever yang tidak begitu menciri, seperti
terjadinya pneumonia, keguguran ataupun tingginya kasus hepatitis dan
endokarditis. Temuan kasus klinik belum pernah didiagnosa kearah adanya Q
fever, sehingga kurang menjadi perhatian oleh pemerintah dan masyarakat seperti
halnya infeksi akut avian influenza (AI) ataupun Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Padahal dampak jangka panjangnya sangat membahayakan dan fatal
bagi manusia. (7) Di sisi lain
Indonesia merupakan pengimpor ternak terutama baik sapi maupun daging beku dari
Amerika, Australia, New Zealand dan beberapa negara lain. Pada tahun 2005
Indonesia telah mengimpor sapi sebanyak 700.000 ekor dari Amerika dan Australia
(Raswa 2005). Selain itu era globalisasi akan meningkatkan arus lalu lintas perdagangan
ternak dan juga mobilitas manusia, yang juga berdampak terhadap cepatnya
penyebaran penyakit khususnya zoonosa seperti Q fever ataupun yang lainnya. Penentuan
diagnosis yang cepat dan akurat terhadap Q fever merupakan satu keniscayaan
yang sampai saat ini terus dikembangkan di negara-negara maju sebagai upaya
pencegahan dan terapi yang tepat dan cepat. (7)
Coxiella burnetii
hanya menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan laboratorium seperti tikus
dan dapat menginduksi aborsi di domba dan kambing, jang menjadi penyebab
masalah reproduksi pada hewan ternak. Manusia biasanya mengalami Q fever karena menghirup aerosols
yang terkontaminasi dengan coxiella burnetii. Sumber lain dari infeksi pada
manusia yang diakibatkan oleh bakteri coxiella burnetti adalah berasal dari
minum susu sapi perah yang terinfeksi oleh dan hal ini tidak terlalu besar berisiko
jika susu dipasteurisasi. (6)
Pada
Ruminansia
Hasil
kajian diperoleh bahwa dari 410 total sampel ruminansia, 12 ekor sapi Brahman
cross dan 6 ekor domba yang berasal dari Bogor, serta 3 ekor sapi Bali yang
berada di Bali menunjukkan hasil positif. Sampel dari Kambing semuanya
menunjukkan hasil negatif dengan nested-PCR. Sapi Brahman cross adalah jenis
sapi impor yang berasal dari Amerika dan Australia. Negara-negara tersebut
sampai saat ini masih belum terlepas dari masalah kasus Q fever (CDC 2003). (7)
Riset Terkini
Pada april 2007 , penelitian ilmiah yang dilakukan oleh
Jensen T.K. dan rekannya mengenai adanya coxiella burnetti dalam 90 placentas
mamalia selama dua tahun. Uji Fluorescent In Situ Hybridization (FISH) bisa
dilakukan sebagai alat diagnostik untuk belajar dan membedakan berbagai
mikroba. Mereka menggunakan metode ini untuk menargetkan 16 ribosomal RNA untuk
mengidentifikasi Coxiella burnetti
dalam formalin-fixed, paraffin-embedded jaringan sampel. Kontrol
positif diambil dari serum manusia untuk 12 kasus placentitis dan 7 sampel
untuk kontrol negatif dan dibandingkan dengan sampel jaringan. Setiap sampel
dihibridisasi dengan pengujian oligonucleotide untuk bakteri tertentu. Semua
kasus menghasilkan hasil positif untuk bakteri, di mana trophoblast sitoplasma
diperbesar akan dapat dilihat bakterinya karena adanya noda cokelat kemerahan.
Hal tersebut menyimpulkan bahwa FISH adalah alat yang efektif dalam mendeteksi
adanya coxiella burnetti. (6)
Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Kelly Cairns et al.
pada November 2006 diselidiki prevalensi DNA Coxiella burnetti dalam sampel
rahim dan vagina dari 50 tempat tinggal dan 47 klien-dimiliki kucing wanita
sehat di Colorado Utara dengan uji Polymerase
Chain Reaction (PCR). Rentang kehidupan kucing tidak mencapai lebih dari
tiga tahun. Transmisi Q fever dari
hewan domestik ke manusia telah dilaporkan dalam kasus terakhir sampel rahim
yang diujikan mempunyai hasil yang positif bahwa DNA Coxiella burnetti berasal dari kucing rumah dan pemilik yang
merawat kucingnya. Mendukung persepsi bahwa kucing merupakan sumber tempat yang
baik untuk bakteri Coxiella burnetti.
Antibodi terhadap bakteri ini telah ditemukan dalam kucing dari berbagai
negara, termasuk Amerika Utara, Jepang dan Korea. Kelimpahan antibodi di
seluruh dunia menunjukkan ancaman global untuk manusia yang berkontak dengan
kucing. (6)
Tidak hanya metode isolasi dan deteksi bakteri yang
populer di penelitian mikrobiologi saat ini, pentingnya peraturan keselamatan
makanan yang dikonsumsi tidak luput dari pembelajaran. Karena Coxiella burnetti telah ditemukan dalam
susu. Pasteurisasi susu bertujuan untuk membunuh semua bakteri patogen melalui
perlakuan panas. Tetapi karena adanya fakta bahwa bakteri Coxiella burnetti merupakan salah satu organisme yang sangat tahan
terhadap panas, pertanyaan yang diajukan dari O. Cerf and R. Condron melibatkan
efektivitas yang menjunjung tinggi persyaratan untuk susu pasteurisasi di bawah
suhu ketat dan kondisi sensitif terhadap waktu. Sehingga infeksi yang timbul
dari konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi akan mengarah ke penyakit klinis
yaitu Q fever, yang dibawa oleh
inhalasi atau arthropod. (6)
Infeksi Coxiella
burnetti pada peternakan ayam umumnya dikaitkan dengan umur ayam, dimana
makin tua umur ayam peluang ditemukannya Coxiella
burnetti makin besar. Hal ini sejalan dengan laporan (Muramatsu et al. 2006)
yang menyatakan bahwa ayam petelur yang berumur 545-766 hari (77.9-109.4
minggu) mempunyai resiko terinfeksi Coxiella
burnetti lebih besar, yaitu ditemukan 7% positif dari 100 sampel darah
dengan titer antibodi (IgG) berkisar 16-64 dengan metode IFA. Hal ini
disebabkan karena ayam petelur yang dipelihara di peternakan dalam periode
waktu yang lama (layer) akan beresiko terpapar Coxiella burnetti lebih tinggi dibandingkan dengan ayam periode starter-grower
akibat kontak langsung dari ternak lain yang terinfeksi atau melalui vektor
caplak. (10)
Dari 70 ekor sapi Bali yang diperiksa ternyata 3 ekor
positif terhadap adanya Coxiella burnetti.
Sapi Bali yang diperiksa berasal dari kabupaten Karangasem yang merupakan
daerah dengan populasi Sapi Bali terbesar di provinsi Bali yaitu 129.688 ekor.
Sapi-sapi tersebut umumnya sebagian besar dikirim keluar daerah bahkan diantar
pulaukan, hanya sebagian kecil yang dikonsumsi mengingat sebagian besar
masyarakat Bali beragama Hindu tidak mengkonsumsi daging sapi.
Sapi Bali merupakan plasma nutfah yang dijaga kemurnian genetiknya dengan tidak memasukkan jenis atau strain sapi dari luar Bali. Oleh karena itu, dengan ditemukannya Coxiella burnetti pada sapi Bali tersebut, merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut, mengingat penellitian tentang Q fever pada sapi Bali yang ada di Bali baru pertama kali dilakukan maka hampir tidak ada data penunjang untuk dapat mengetahui bagaimana Coxiella burnetti dapat menginfeksi sapi Bali. (7)
Sapi Bali merupakan plasma nutfah yang dijaga kemurnian genetiknya dengan tidak memasukkan jenis atau strain sapi dari luar Bali. Oleh karena itu, dengan ditemukannya Coxiella burnetti pada sapi Bali tersebut, merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut, mengingat penellitian tentang Q fever pada sapi Bali yang ada di Bali baru pertama kali dilakukan maka hampir tidak ada data penunjang untuk dapat mengetahui bagaimana Coxiella burnetti dapat menginfeksi sapi Bali.
Hal tersebut seperti yang diteliti Ejercito et al. (1993)
tentang prevalensi Coxiella burnetti
pada ruminansia liar yaitu sebesar 69 % pada rusa liar di habitat aslinya yang
terisolasi. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi juga belum dapat dijelaskan,
mengingat data penunjang yang sangat minim. Kemungkinan adalah melalui caplak
dan kutu yang berpindah, hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Adanya
hasil uji PCR positif terhadap Coxiella
burnetti sebagai penyebab Q fever pada ruminansia di wilayah Indonesia
merupakan suatu peringatan untuk mulai mempertimbangkan kembali tentang
kebijakan impor sapi maupun daging sapi dari luar negeri secara khusus.
Tindakan uji penapisan terhadap Q fever pada ternak ruminansia yang diimpor
dari luar negeri untuk menghindari dan mencegah penyebaran Q fever sudah
sepatutnya mulai ditegakkan. Hal ini mengingat banyaknya vektor yang bisa
menyebarkan Q fever dan daya tahan bakteri Coxiella
burnetti yang sangat tinggi di alam sehingga upaya pemberantasan menjadi
sangat sulit dilakukan. (7)
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode
nested-PCR maka telah dapat ditemukan adanya infeksi Coxiella burnetti di Indonesia, khususnya pada sapi Brahman cross
6.86 %, sapi Bali 4.29 %, dan domba 5.71 %, sedangkan pada kambing dari Bali
tidak ditemukan adanya infeksi Coxiella
burnetti. (7)
Gejala Q Fever
Biasanya, tidak ada gejala yang jelas setelah infeks. Hanya
sekitar 50 persen dari orang yang terinfeksi menunjukkan gejala-gejala yang diantaranya
flu, demam yang hebat (104OF - 105OF), sakit kepala yang
hebat, rasa nyeri di otot, kehilangan nafsu makan, batuk kering, nyeri di
pleuritic, nyeri di bagian dada, tenggorokan dan menggigil. Pada pencernaan
dapat menyebabkan diare, dan muntah-muntah. Demamnya berlangsung selama 7 - 14hari.
Dalam perkembangannya, Q fever dapat berlanjut menyebabkan sebuah penyakit
pneumonia (47 - 63%), yang dapat berakibat pada sindrom distress respirasi akut
yang memerlukan pengobatan seumur hidup. Sindrom hasil kelanjutan penyakit ini
menyerang setelah 4 - 5 hari terinfeksi penyakit ini. Secara khusus penyakit
ini mirip dengan hepatitis (60%) dimana mengalami gejala yang mirip yaitu
demam, badan tidak enak dan pembesaran pada hati (hepatomegaly), rasa nyeri
pada bagian atas perut dan icterus. Selain itu juga dapat menyebabkan
meningoencephalitis. (11)
Presentase kematian dari Q fever ini hanya sekitar 1 - 2%.
Bentuk kronis dari Q fever ini adalah inflamasi pada jantung (endocarditis),
dimana dapat terjadi dalam jangka waktu setelah sebulan dari infeksi
berkelanjutan tadi. Kebanyakan pasien yang terserang Q fever ini sebelumnya pernah
memiliki penyakit yang menyerang jantung. Contoh orang-orang yang berisiko
tinggi terkena Q fever adalah orang pernah mengalami transplantasi organ,
dengan pengalaman kanker dan mereka yang memiliki penyakit ginjal. Orang yang
terkena penyakit Q fever kronis, 65% diantaranya dapat mengalami kematian. Masa
inkubasi Q fever ini tergantung dari jumlah mikroorganisme yang menginfeksi
pasien tersebut dan dapat bertahan selama 20 tahun dalam tubuh manusia. (8)
Karena penyakit ini memilki gejala yang kurang spesifik
dan sulit dideteksi karena masa replikasinya cukup lama, maka proses diagnosis
sulit untuk dilakukan. Biasanya dengan test serologi (yaitu dengan melihat
respon dari antibody). Serology memungkinkan untuk mendeteksi penyakit kronis
sejak dini untuk melihat kenaikan tingkat dari antibody melawan virulensi dari
bakteri tersebut. Demam Q ini dapat menyebabkan endocarditis, maka jika sudah
sampai tahap ini, memerlukan diagnosa echocardiogrhapy . Ada juga diagnosa lain
yaitu IFA (Imunnofluoresence assay), immunohistochemical dan metode deteksi
DNA. Pertumbuhan Coxiella burnetii terdiri atas 2 fase antigenic. Perbedaan fase
antigenic ini penting dalam proses diagnosis. Pada kasus penyakit demam Q yang
akut ini biasanya tingkat antibody dari fase 2 biasanya lebih tinggi daripada
fase 1. Pada kondisi kronis, menunjukkan perbedaan. Antibodi pada fase pertama
antigen Coxiella burnetii biasanya lebih lama ditunjukkan. Penelitian
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa diagnosis dari demam Q ini, dapat dilihat
pada spesifikasi level dari antibody. (1)
Cara penularan
Manusia yang terkena atau menangani hewan yang terinfeksi
, seperti petani atau dokter hewan, memiliki risiko terinfeksi yang lebih
tinggi dan cepatnya penyakit itu berkembang. Bakteri Coxiella burnetti sangat mudah menginfeksi walaupun hanya dalam
jumlah tunggal, yaitu dengan cara penghirupan dari udara, susu, daging, wol dan
beberapa binatang ternak khusus yang telah terkontaminasi. Biasa ditemukan di
hewan ternak seperti kambing dan domba serta mamalia lain termasuk kucing dan
anjing. Bakteri ini dapat bertahan selama berbulan-bulan bahkan tahunan, pada
debu dapat bertahan hingga 120 hari, pada urine babi hingga 49 hari, pada feses
586 hari, pada susu 42 bulan pada suhu 4 – 60C, pada wol 12 - 16
bulan pada suhu 4 - 60C. Yang perlu diperhatikan adalah selama
proses kelahiran organisme tersebut banyak ditemukan di cairan amniotic (cairan
ketuban) dan plasenta dari tubuh inang. Infeksi dihasilkan dari inhalasi
terhadap partikel yang terkontaminasi di udara dan juga didapat
dari kontak dengan mukosa, vagina, susu, feses, urin atau air mani dari hewan yang terinfeksi. Masa inkubasinya 9 - 40 hari. (11)
dari kontak dengan mukosa, vagina, susu, feses, urin atau air mani dari hewan yang terinfeksi. Masa inkubasinya 9 - 40 hari.
Siklus hidup C. Burnetii (1)
Caplak bertindak sebagai vektor utama C. burnetii yang
dapat menularkan agen penyakit Q fever dari hewan liar ke hewan domestik
maupun dari hewan domestik ke hewan domestik lainnya. Penularan dari hewan ke
manusia melalui vektor caplak secara langsung sangat jarang terjadi. Tetapi
penularan melalui material atau makanan yang terkontaminasi feses caplak yang
terinfeksi C. burnetii dapat terjadi karena konsentrasi C. burnetii sangat
tinggi pada feses caplak yang terinfeksi. C. burnetii mengalami
multiplikasi di dalam lisosom sel epitel usus caplak (Sonenshine et al. 2002).
Caplak Ixodidae spp. dan Argasidae spp. berperan penting sebagai
vektor C. burnetii pada sapi dan unggas, karena hewan-hewan tersebut
merupakan induk semang dari stadium dewasa caplak. Induk semang dari larva dan
nimfa caplak-caplak tersebut adalah hewan liar seperti rodensia, logomorphs dan
marsupials (Acha dan Szyfres 2003; Angelakis dan Raoult 2010). (7)
Diagnosis
Karena penyakit ini memilki gejala yang kurang spesifik
dan sulit dideteksi karena masa replikasinya cukup lama, maka proses diagnosis
sulit untuk dilakukan. Biasanya dengan test serologi (yaitu dengan melihat
respon dari antibody). Serology memungkinkan untuk mendeteksi penyakit kronis
sejak dini untuk melihat kenaikan tingkat dari antibody melawan virulensi dari
bakteri tersebut. Demam Q ini dapat menyebabkan endocarditis, maka jika sudah
sampai tahap ini, memerlukan diagnosa echocardiogrhapy . Ada juga diagnosa lain
yaitu IFA (Imunnofluoresence assay), immunohistochemical dan metode deteksi
DNA. Pertumbuhan Coxiella burnetii terdiri atas 2 fase antigenic. Perbedaan fase
antigenic ini penting dalam proses diagnosis. Pada kasus penyakit demam Q yang
akut ini biasanya tingkat antibody dari fase 2 biasanya lebih tinggi daripada
fase 1. Pada kondisi kronis, menunjukkan perbedaan. Antibodi pada fase pertama
antigen Coxiella burnetii biasanya lebih lama ditunjukkan. Penelitian
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa diagnosis dari demam Q ini, dapat dilihat
pada spesifikasi level dari antibody. (12)
Obat
Pengobatan dengan antibiotik
dapat memperpendek panjang penyakit Q fever. Antibiotik yang umum digunakan
termasuk tetrasiklin dan doksisiklin. Berikut ini adalah struktur dari
tetrasiklin. Tetrasiklin memilki spektrum antibiotik penghambat yang dihasilkan
oleh bakteri Streptomyces. (12)
Tetracycline
Tetrasiklin diberikan
melalui mulut tidak boleh digunakan oleh anak-anak yang giginya masih
membentuk, karena bisa menghitamkan gigi permanen tumbuh. Selain tetrasiklin
dan doksisiklin terdapat obat-obat lain yang biasa digunkan untuk mengobati Q
fever ini seperti chloramphenicol, ciprofloxacin, ofloxacin, hydroxychloroquine,
dan Minocycline
yang telah ditemukan yang berguna dalam mengobati kelelahan pasca-Q fever.
Dosis 100 mg per hari selama tiga bulan. (12) Akan tetapi
dapat dinonaktifkan pula oleh kloroform, eter, dan radiasi gamma pada suhu 1300C
selama 1 jam. (1)
Pencegahan (13)
a. Pemberian
vaksin intradermal dengan menggunakan vaksin yang mengandung anti bakteri Coxiella burnetii.
b. Hindari
mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi dan keju kambing.
c. Ambil
tindakan pencegahan yang tepat saat bekerja di peternakan, dan menghindari
paparan mamalia yg melahirkan.
d. Gunakan
pakaian pelindung, sarung tangan dan masker saat bekerja dengan hewan-hewan
(terutama yang hamil).
e. Benar
dekontaminasi permukaan dengan solusi formalin atau pemutih.
f. Benar
membuang limbah terkontaminasi.
g.
Wanita
hamil tidak harus membantu dengan kelahiran ternak.
h.
Ketika
mengunjungi peternakan, lelang ternak atau menunjukkan, hati-hati mengenai
sanitasi tangan, alas kaki, truk dan trailer transportasi dll dianjurkan.
Bab III
Kesimpulan
1. Coxiella
burnetii (C. burnetii) merupakan salah
satu spesies dari genus Coxiella
2. Penyakit
yang paling sering disebabkan oleh Coxiella
burnetii adalah Demam Q atau Query fever
3. Coxiella burnetii
adalah bakteri patogen obligat intraselular yang berarti mereka bergantung pada
host untuk dukungan gizi dan lingkungannya
4. C. Burnetii
mempunyai daya tahan yang tinggi di alam, tahan pada pH rendah, serta tahan
terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri, seperti lisol, 0,5% sodium
hipoklorit dan radiasi sinar UV (MAURIN dan RAOULT, 1999)
5. Pengobatan
dengan antibiotik dapat memperpendek panjang penyakit Q fever, Antibiotik yang umum
digunakan termasuk tetrasiklin dan doksisiklin
Daftar Pustaka
1.
|
[Online].;
2008 [cited 2012 april 29. Available from: ttp://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/yunita-dwi-wulansari-078114113.pdf.
|
2.
|
foodborne
disease. tinjauan pustaka. bogor: bogor agricultural university.
|
3.
|
latar
belakang. bogor: bogor agricultural university.
|
4.
|
wikipedia.
[Online].; 2012 [cited 2012 april 29. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Coxiella_burnetii.
|
5.
|
4share.
[Online]. [cited 2012 april 29. Available from: http://images.search.conduit.com/ImagePreview/?q=coxiella%20burnetii&ctid=CT2233703&searchsource=3&start=0&pos=6.
|
6.
|
Microbe
Wiki. [Online].; 2011 [cited 2012 april 29. Available from: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Coxiella_burnetti.
|
7.
|
Detection
of Coxiella burnetii in Ruminants. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. 2006.
|
8.
|
SENTINEL
LABORATORY GUIDELINES FOR SUSPECTED AGENTS OF BIOTERRORISM. , American
Society for Microbiology.
|
9.
|
PENGEMBANGAN
TEKNIK DIAGNOSTIK Q FEVER. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. bogor:
institut pertanian bogor.
|
10.
|
pembahasan
umum. bogor: institut pertanian bogor.
|
11.
|
|
12.
|
|
13.
|
HiCow
beta. [Online]. [cited 2012 mei 1. Available from: http://id.hicow.com/penyakit-menular/q-demam/demam-515633.html.
|
14.
|
coxiella
burnetii. TRANSFUSION 2009;49(Suppl):172-174S. 2010 desember: p. 1.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar