4shared

Powered By Blogger

Kamis, 10 Mei 2012

Foodborne : Bakteri Coxiella Burnetii


TUGAS MIKROBIOLOGI PANGAN
Foodborne : Bakteri Coxiella Burnetii








Disusun oleh  :

Kelompok

1.        Zeza Aziza                                           22030110130095
2.        Tiara Puspa                                         22030110141001
3.        Muhammad Nino Nurhakim             22030110141002


PROGRAM STUDI ILMU GIZI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Adanya mikroba tertentu pada bahan pangan dapat digunakan sebagai indikator kualitas pangan yang terkait dengan umur simpan dan indikator keamanan pangan. Namun demikian, pada prakteknya lebih banyak digunakan untuk menilai kondisi sanitasi atau keamanan pangan. Dimana bakteri tersebut dapat bersifat patogen dan non patogen.
 Coxiella burnetii (C. burnetii) merupakan salah satu spesies dari genus Coxiella. C. Burnetii merupakan bakteri yang bersifat patogen yang berarti dapat menyebabkan suatu penyakit pada hewan maupun pada manusia. Penyakit yang paling terkenal dari bakteri ini adalah demam Q atau Query fever. Disebut demam Q karena penyakit ini pertama kali ditemukan di daerah Queensland. Sebelumnya penyakit itu sering disebut demam X karena gejalanya yang sulit utuk diidentifikasi. (1) C. Burnetii dapat mengakibatkan Foodborne disease.
Foodborne disease adalah suatu penyakit yang timbul akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Foodborne disease dapat disebabkan dari berbagai macam mikroorganisme patogen atau zat kimia beracun dan berbahaya bagi kesehatan. Mikroorganisme patogen tersebut dapat mengontaminasi makanan melalui hewan maupun tumbuhan yang berperan sebagai media pembawanya ataupun karena penanganan makanan tersebut yang kurang dalam kebersihannya. (2)
C. Burnetii dapat mengakibatkan deman Q, dimana demam Q ini merupakan salah satu dari berbagai macam Foodborne disease. Demam Q adalah penyakit zoonosa yang dapat ditularkan melalui pangan. Pada manusia demam Q menyebakan gangguan pada tubuh seperti malaise, myalgia, sakit kepala, kedinginan, kelelahan, demam tinggi yang sering dihubungkan dengan penyakit pernafasan (Acha dan Szyfres 2003). Demam Q dapat bersifat akut, sering muncul seperti pneumonia dan hepatitis (Fournier dan Raoult 2003) dan infeksi kronis seperti endokarditis dan osteomielitis (Raoult 2002). Dan penelitian terbaru menunjukkan gangguan pada aorta didiagnosa akibat agen C. Burnetii (Panau et al 2007). Pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran. Kelahiran premature, kelahiran dengan berat kurang, radang plasenta, dan infeksi uterus kronis (Marrie 2003). (3)
1.2  Rumusan Masalah
Keberadaan C. Burnetii pada makanan dapat menyebabkan demam Q pada hewan maupun manusia. Hal tersebut menjadi alasan pentingnya untuk mengetahui bagaimana karakteristik bakteri C. Burnetii, bagaimana sejarah dan penamaan dari C. Burnetii, bagaimana epidemiologi dari C. Burnetii, apa saja hasil dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan pada C. burnetii, apa saja gejala dari penyakit yang disebabkan oleh C. Burnetii, bagaimana cara penularan C. Burnetii, bagaimana diagnosis penyakit yang diakibatkan oleh C. Burnetii, dan obat apa saja yang dapat membantu dalam penyembuhan penyakit yang diakibatkan oleh C. Burnetii.
1.3  Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Mengetahui bagaimana karakteristik bakteri C. Burnetii.
2.    Mengetahui bagaimana sejarah dan penamaan dari C. Burnetii.
3.    Mengetahui bagaimana epidemiologi dari C. Burnetii.  
4.    Mengetahui apa saja hasil dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan pada C. burnetii.
5.    Mengetahui apa saja gejala dari penyakit yang disebabkan oleh C. Burnetii.
6.    Mengetahui bagaimana cara penularan C. Burnetii.
7.    Mengetahui bagaimana diagnosis penyakit yang diakibatkan oleh C. Burnetii.
8.    Mengetahui obat apa saja yang dapat membantu dalam penyembuhan penyakit yang diakibatkan oleh C. Burnetii.
1.4  Manfaat
Diharapkan dari pembuatan makalah ini dapat memberikan informasi tentang bakteri Coxiella Burnetii, dampak dari bakteri tersebut dan mengetahui bagaimana cara mencegah untuk terjadinya kontaminasi makanan oleh Coxiella Burnetii. 


BAB II
ISI
Klasifikasi ilmiah (4)
Kingdom
Phylum
Class
Order
Family
Genus
Species
Coxiella burnetii





            Gambar Coxiella Burnetii (5)

Coxiella burnetii adalah bakteri patogen obligat intraselular yang berarti mereka bergantung pada host untuk dukungan gizi dan lingkungannya, mereproduksi dengan pembelahan biner, dan merupakan agen penyebab terjadinya Query fever atau biasa disebut demam Q pada hewan maupun pada manusia. (6) Nama “Q” digunakan karena diduga bakteri ini pertama kali ditemukan di daerah Queensland, pernah juga disebut “X fever” karena dulu sulit untuk diidentifikasikan. (1) Pada manusia, demam Q ini memiliki berbagai macam keparahan, tergantung pada kesehatan awal host, serta faktor-faktor lain.
Manusia biasanya  mengalami Q fever karena menghirup aerosols yang terkontaminasi dengan C. Burnetii. Sumber lain dari infeksi pada manusia yang diakibatkan oleh bakteri C. Burnetii adalah berasal dari mengonsumsi makanan yang bahan makanannya sudah terkontaminasi oleh C.Burnetii maupun dari minum susu murni sapi perah yang terinfeksi oleh C. Burnetii, tetapi hal ini tidak terlalu besar berisiko jika susu dipasteurisasi. Dan dilaporkan dapat bertahan hidup untuk 7-10 bulan pada wol di 15- 20oC , selama lebih dari 1 bulan pada daging segar dalam penyimpanan dingin, dan selama 40 bulan di susu skim pada suhu kamar. (14)
C. Burnetii mempunyai daya tahan yang tinggi di alam, tahan pada pH rendah, serta tahan terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri, seperti lisol, 0,5% sodium hipoklorit dan radiasi sinar UV (MAURIN dan RAOULT, 1999). Oleh karena itu beberapa Negara mengkatagorikan Coxiella burnetii kedalam kelompok bakteri yang berpotensi sebagai senjata biologis seperti halnya bakteri Bacillus anthracis. Pemerintah Amerika menempatkan demam Q sebagai bahan sarana bioterorisme katagori B (CDC 2003; SESHASDRI et al., 2003). (7)
Beberapa hal terkait mengenai bakteri Coxiella burnetii, antara lain :
Karakteristik







                                                Gambar Coxiella Burnetii (5)
Genus Coxiella memiliki morfologi yang serupa dengan rickettsia namun memiliki variasi genetik dan perbedaan fisiologis. Ada variasi bentuk yang mirip dengan Salmonella, dimana bentuk lipoposakaridanya memungkinkan untuk menginfeksi dengan cara yang serupa. (1) C. Burnetii mempunyai ukuran panjang 0.3 µm sampai 0.7 µm, memiliki banyak variasi bentuk dan dapat stabil dalam lingkungan ekstrasellular. (8) Bakteri ini berbentuk coccobacillus dan bersifat non motile (tidak bergerak). (1)
Coxiella burnetii adalah bakteri gram-negatif kecil dimana bakteri ini sifatnya sangat tahan terhadap perubahan-perubahan lingkungan, seperti suhu tinggi,  kekeringan, tekanan osmotik dan sinar ultraviolet. Coxiella burnetii memiliki bentuk spora yang tahan terhadap disinfektan (sodium hipoklorit, formalin, variasi fenol, glutaraldehida dan gas formaldehida) dan perubahan lingkungan. (1) Karakteristik ini dikaitkan dengan bentuk small cell variant (SCV) organisme yang merupakan bagian dari sebuah biphasic siklus perkembangan. Termasuk lebih banyak secara metabolic dan replicatif aktif bentuk large cell variant (LCV). Sehingga dapat tahan terhadap disinfektan dan perubahan lingkungan seperti yang ditunjukan phagolysosome. (4)
Dibandingkan dengan bakteri yang hidup bebas, Coxiella burnetti tidak memiliki kapasitas transportasi yang luas. Terlepas dari pembatasan tersebut, bakteri coxiella burnetti memiliki kapasitas transportasi lebih daripada parasit obligat lain seperti organisme Rickettsia. Untuk mekanisme transport aktif akan melalui ion transportasi, Na+/H+ exchanger dianggap penting untuk mempertahankan pH dalam lingkungan asam untuk berkembangnya Coxiella burnetti. Meskipun grup mekanisme transfer melalui sistem phosphotransferase tidak jelas dalam Coxiella, enzim yang terlibat dalam sistem, seperti HPr dan enzim 1 dihadirkan dan memainkan peran regulasi. (6)
Tidak seperti parasit obligat lainnya, metabolisme kapasitas besar coxiella burnetti memungkinkan bakteri untuk menjalani glikolisis , gluconeogenesis , fosfat pentose, dan siklus TCA. Mereka kekurangan ATP/ADP exchanger dalam sistem transportasi. Bakteri coxiella burnetti menggunakan beberapa gula (termasuk Xilosa dan glukosa) dan penyerapan mereka dibantu oleh gradien membran. Asam amino dan peptida menjadi sumber utama karbon untuk bakteri ini. (6)
Karakteristik unik dari kuman C. burnetii adalah memiliki variasi fase antigen. Ada dua fase antigen, fase I bersifat virulen (patogenik) yang dapat diisolasi dari hewan maupun manusia yang terinfeksi di alam maupun di laboratorium. Sedangkan fase II bersifat kurang virulen diperoleh selama dikembangbiakan secara berseri di biakan sel atau telur tertunas (STOCKER dan FISET, 1956). (9)

Siklus infeksi dari Coxiella
Sejarah dan Penamaan
Penelitian di tahun 1920-an dan 1930-an Coxiella burnetii ditemukan seperti jenis baru dari Rickettsia, terisolasi dari kutu, yang mampu melewati filter. Gambaran pertama dari Coxiella burnetii itu diterbitkan pada tahun 1925 oleh Hideyo Noguchi, tapi karena sampel itu tidak bertahan hidup di lingkungan ekstraseluler sehingga membuat Coxiella burnetii masih belum jelas apakah itu organisme yang sama atau bukan. Deskripsi yang definitif telah dipublikasikan di akhir 1930-an sebagai bagian dari penelitian penyebab Q fever, oleh Edward Holbrook Derrick dan Macfarlane Burnet di Australia, dan Herald Rea Cox dan Gordon Davis di Rocky Mountain Laboratory (RML) di Amerika Serikat. Hal ini dilakukan oleh arthropoda (terutama kutu), ikan, burung dan mamalia. (4)
Tim RML mengusulkan nama Rickettsia diaporica, yang berasal dari kata Yunani karena memiliki kemampuan untuk melewati pori-pori filter, penamaan itu dihindarkan setelah Cox atau Davis menggunakan deskripsi Noguchi yang telah prioritas. Pada waktu yang sama, Derrick mengusulkan nama Rickettsia burnetii, sebagai pengakuan atas  kontribusi Burnet's dalam mengidentifikasi organisme sebagai Rickettsia. Ketika ini menjadi jelas bahwa spesies itu berbeda secara signifikan dari Rickettsia, akhirnya pertama kali bakteri itu dinaikkan ke sebuah subgenus bernama setelah Cox, Coxiella, dan kemudian pada tahun 1948 diusulkan untuk pemberian nama sendiri dalam genusnya yang diusulkan oleh Cornelius B. Philip, peneliti RML lain. (4)
Coxiella tersebut sangat sulit untuk dipelajari karena tidak bisa melakukan reproduksi di luar host. Namun, pada tahun 2009 para ilmuwan melaporkan sebuah teknik yang memungkinkan untuk bakteri tumbuh dalam suatu axenic budaya dan menyarankan teknik itu dapat digunakan untuk mempelajari patogen yang lain. (4)
Epidemiologi Q Fever
Q fever telah menjadi problem kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Taiwan, Malaysia dan beberapa negara lain, di Asia Tenggara. Penelitian tentang Q fever sudah demikian maju, bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan (SESHADRI et al., 2003). Hal ini mengingat C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis (RAOULt et al., 2002). (7)
Mengingat Coxiella burnetti mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis. Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak, seperti peternak, pekerja rumah potong, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang besar terserang Q fever. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani yang tidak terlepas dari hewan ternak serta banyaknya lokasi kumuh di perkotaan sangat rentan terhadap infeksi Q fever. (1)
Penelitian terhadap penyebab Q fever di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Hal ini bukanlah karena tidak ada kasus Q fever, tetapi lebih disebabkan oleh gejala klinis bentuk akut infeksi Q fever yang tidak begitu menciri, seperti terjadinya pneumonia, keguguran ataupun tingginya kasus hepatitis dan endokarditis. Temuan kasus klinik belum pernah didiagnosa kearah adanya Q fever, sehingga kurang menjadi perhatian oleh pemerintah dan masyarakat seperti halnya infeksi akut avian influenza (AI) ataupun Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Padahal dampak jangka panjangnya sangat membahayakan dan fatal bagi manusia. (7) Di sisi lain Indonesia merupakan pengimpor ternak terutama baik sapi maupun daging beku dari Amerika, Australia, New Zealand dan beberapa negara lain. Pada tahun 2005 Indonesia telah mengimpor sapi sebanyak 700.000 ekor dari Amerika dan Australia (Raswa 2005). Selain itu era globalisasi akan meningkatkan arus lalu lintas perdagangan ternak dan juga mobilitas manusia, yang juga berdampak terhadap cepatnya penyebaran penyakit khususnya zoonosa seperti Q fever ataupun yang lainnya. Penentuan diagnosis yang cepat dan akurat terhadap Q fever merupakan satu keniscayaan yang sampai saat ini terus dikembangkan di negara-negara maju sebagai upaya pencegahan dan terapi yang tepat dan cepat. (7)
Coxiella burnetii hanya menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan laboratorium seperti tikus dan dapat menginduksi aborsi di domba dan kambing, jang menjadi penyebab masalah reproduksi pada hewan ternak. Manusia biasanya  mengalami Q fever karena menghirup aerosols yang terkontaminasi dengan coxiella burnetii. Sumber lain dari infeksi pada manusia yang diakibatkan oleh bakteri coxiella burnetti adalah berasal dari minum susu sapi perah yang terinfeksi oleh dan hal ini tidak terlalu besar berisiko jika susu dipasteurisasi. (6)
Pada Ruminansia
Hasil kajian diperoleh bahwa dari 410 total sampel ruminansia, 12 ekor sapi Brahman cross dan 6 ekor domba yang berasal dari Bogor, serta 3 ekor sapi Bali yang berada di Bali menunjukkan hasil positif. Sampel dari Kambing semuanya menunjukkan hasil negatif dengan nested-PCR. Sapi Brahman cross adalah jenis sapi impor yang berasal dari Amerika dan Australia. Negara-negara tersebut sampai saat ini masih belum terlepas dari masalah kasus Q fever (CDC 2003). (7)
Riset Terkini
Pada april 2007 , penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Jensen T.K. dan rekannya mengenai adanya coxiella burnetti dalam 90 placentas mamalia selama dua tahun. Uji Fluorescent In Situ Hybridization (FISH) bisa dilakukan sebagai alat diagnostik untuk belajar dan membedakan berbagai mikroba. Mereka menggunakan metode ini untuk menargetkan 16 ribosomal RNA untuk mengidentifikasi Coxiella burnetti dalam formalin-fixed, paraffin-embedded jaringan sampel. Kontrol positif diambil dari serum manusia untuk 12 kasus placentitis dan 7 sampel untuk kontrol negatif dan dibandingkan dengan sampel jaringan. Setiap sampel dihibridisasi dengan pengujian oligonucleotide untuk bakteri tertentu. Semua kasus menghasilkan hasil positif untuk bakteri, di mana trophoblast sitoplasma diperbesar akan dapat dilihat bakterinya karena adanya noda cokelat kemerahan. Hal tersebut menyimpulkan bahwa FISH adalah alat yang efektif dalam mendeteksi adanya coxiella burnetti. (6)
Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Kelly Cairns et al. pada November 2006 diselidiki prevalensi DNA Coxiella burnetti dalam sampel rahim dan vagina dari 50 tempat tinggal dan 47 klien-dimiliki kucing wanita sehat di Colorado Utara dengan uji Polymerase Chain Reaction (PCR). Rentang kehidupan kucing tidak mencapai lebih dari tiga tahun. Transmisi Q fever dari hewan domestik ke manusia telah dilaporkan dalam kasus terakhir sampel rahim yang diujikan mempunyai hasil yang positif bahwa DNA Coxiella burnetti berasal dari kucing rumah dan pemilik yang merawat kucingnya. Mendukung persepsi bahwa kucing merupakan sumber tempat yang baik untuk bakteri Coxiella burnetti. Antibodi terhadap bakteri ini telah ditemukan dalam kucing dari berbagai negara, termasuk Amerika Utara, Jepang dan Korea. Kelimpahan antibodi di seluruh dunia menunjukkan ancaman global untuk manusia yang berkontak dengan kucing. (6)
Tidak hanya metode isolasi dan deteksi bakteri yang populer di penelitian mikrobiologi saat ini, pentingnya peraturan keselamatan makanan yang dikonsumsi tidak luput dari pembelajaran. Karena Coxiella burnetti telah ditemukan dalam susu. Pasteurisasi susu bertujuan untuk membunuh semua bakteri patogen melalui perlakuan panas. Tetapi karena adanya fakta bahwa bakteri Coxiella burnetti merupakan salah satu organisme yang sangat tahan terhadap panas, pertanyaan yang diajukan dari O. Cerf and R. Condron melibatkan efektivitas yang menjunjung tinggi persyaratan untuk susu pasteurisasi di bawah suhu ketat dan kondisi sensitif terhadap waktu. Sehingga infeksi yang timbul dari konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi akan mengarah ke penyakit klinis yaitu Q fever, yang dibawa oleh inhalasi atau arthropod. (6)
Infeksi Coxiella burnetti pada peternakan ayam umumnya dikaitkan dengan umur ayam, dimana makin tua umur ayam peluang ditemukannya Coxiella burnetti makin besar. Hal ini sejalan dengan laporan (Muramatsu et al. 2006) yang menyatakan bahwa ayam petelur yang berumur 545-766 hari (77.9-109.4 minggu) mempunyai resiko terinfeksi Coxiella burnetti lebih besar, yaitu ditemukan 7% positif dari 100 sampel darah dengan titer antibodi (IgG) berkisar 16-64 dengan metode IFA. Hal ini disebabkan karena ayam petelur yang dipelihara di peternakan dalam periode waktu yang lama (layer) akan beresiko terpapar Coxiella burnetti lebih tinggi dibandingkan dengan ayam periode starter-grower akibat kontak langsung dari ternak lain yang terinfeksi atau melalui vektor caplak. (10)
Dari 70 ekor sapi Bali yang diperiksa ternyata 3 ekor positif terhadap adanya Coxiella burnetti. Sapi Bali yang diperiksa berasal dari kabupaten Karangasem yang merupakan daerah dengan populasi Sapi Bali terbesar di provinsi Bali yaitu 129.688 ekor. Sapi-sapi tersebut umumnya sebagian besar dikirim keluar daerah bahkan diantar pulaukan, hanya sebagian kecil yang dikonsumsi mengingat sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu tidak mengkonsumsi daging sapi.
Sapi Bali merupakan plasma nutfah yang dijaga kemurnian genetiknya dengan tidak memasukkan jenis atau strain sapi dari luar Bali. Oleh karena itu, dengan ditemukannya Coxiella burnetti pada sapi Bali tersebut, merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut, mengingat penellitian tentang Q fever pada sapi Bali yang ada di Bali baru pertama kali dilakukan maka hampir tidak ada data penunjang untuk dapat mengetahui bagaimana Coxiella burnetti dapat menginfeksi sapi Bali. (7)
Hal tersebut seperti yang diteliti Ejercito et al. (1993) tentang prevalensi Coxiella burnetti pada ruminansia liar yaitu sebesar 69 % pada rusa liar di habitat aslinya yang terisolasi. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi juga belum dapat dijelaskan, mengingat data penunjang yang sangat minim. Kemungkinan adalah melalui caplak dan kutu yang berpindah, hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Adanya hasil uji PCR positif terhadap Coxiella burnetti sebagai penyebab Q fever pada ruminansia di wilayah Indonesia merupakan suatu peringatan untuk mulai mempertimbangkan kembali tentang kebijakan impor sapi maupun daging sapi dari luar negeri secara khusus. Tindakan uji penapisan terhadap Q fever pada ternak ruminansia yang diimpor dari luar negeri untuk menghindari dan mencegah penyebaran Q fever sudah sepatutnya mulai ditegakkan. Hal ini mengingat banyaknya vektor yang bisa menyebarkan Q fever dan daya tahan bakteri Coxiella burnetti yang sangat tinggi di alam sehingga upaya pemberantasan menjadi sangat sulit dilakukan. (7)
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode nested-PCR maka telah dapat ditemukan adanya infeksi Coxiella burnetti di Indonesia, khususnya pada sapi Brahman cross 6.86 %, sapi Bali 4.29 %, dan domba 5.71 %, sedangkan pada kambing dari Bali tidak ditemukan adanya infeksi Coxiella burnetti. (7)
Gejala Q Fever
Biasanya, tidak ada gejala yang jelas setelah infeks. Hanya sekitar 50 persen dari orang yang terinfeksi menunjukkan gejala-gejala yang diantaranya flu, demam yang hebat (104OF - 105OF), sakit kepala yang hebat, rasa nyeri di otot, kehilangan nafsu makan, batuk kering, nyeri di pleuritic, nyeri di bagian dada, tenggorokan dan menggigil. Pada pencernaan dapat menyebabkan diare, dan muntah-muntah. Demamnya berlangsung selama 7 - 14hari. Dalam perkembangannya, Q fever dapat berlanjut menyebabkan sebuah penyakit pneumonia (47 - 63%), yang dapat berakibat pada sindrom distress respirasi akut yang memerlukan pengobatan seumur hidup. Sindrom hasil kelanjutan penyakit ini menyerang setelah 4 - 5 hari terinfeksi penyakit ini. Secara khusus penyakit ini mirip dengan hepatitis (60%) dimana mengalami gejala yang mirip yaitu demam, badan tidak enak dan pembesaran pada hati (hepatomegaly), rasa nyeri pada bagian atas perut dan icterus. Selain itu juga dapat menyebabkan meningoencephalitis. (11)
Presentase kematian dari Q fever ini hanya sekitar 1 - 2%. Bentuk kronis dari Q fever ini adalah inflamasi pada jantung (endocarditis), dimana dapat terjadi dalam jangka waktu setelah sebulan dari infeksi berkelanjutan tadi. Kebanyakan pasien yang terserang Q fever ini sebelumnya pernah memiliki penyakit yang menyerang jantung. Contoh orang-orang yang berisiko tinggi terkena Q fever adalah orang pernah mengalami transplantasi organ, dengan pengalaman kanker dan mereka yang memiliki penyakit ginjal. Orang yang terkena penyakit Q fever kronis, 65% diantaranya dapat mengalami kematian. Masa inkubasi Q fever ini tergantung dari jumlah mikroorganisme yang menginfeksi pasien tersebut dan dapat bertahan selama 20 tahun dalam tubuh manusia. (8)
Karena penyakit ini memilki gejala yang kurang spesifik dan sulit dideteksi karena masa replikasinya cukup lama, maka proses diagnosis sulit untuk dilakukan. Biasanya dengan test serologi (yaitu dengan melihat respon dari antibody). Serology memungkinkan untuk mendeteksi penyakit kronis sejak dini untuk melihat kenaikan tingkat dari antibody melawan virulensi dari bakteri tersebut. Demam Q ini dapat menyebabkan endocarditis, maka jika sudah sampai tahap ini, memerlukan diagnosa echocardiogrhapy . Ada juga diagnosa lain yaitu IFA (Imunnofluoresence assay), immunohistochemical dan metode deteksi DNA. Pertumbuhan  Coxiella burnetii terdiri atas 2 fase antigenic. Perbedaan fase antigenic ini penting dalam proses diagnosis. Pada kasus penyakit demam Q yang akut ini biasanya tingkat antibody dari fase 2 biasanya lebih tinggi daripada fase 1. Pada kondisi kronis, menunjukkan perbedaan. Antibodi pada fase pertama antigen Coxiella burnetii  biasanya lebih lama ditunjukkan. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa diagnosis dari demam Q ini, dapat dilihat pada spesifikasi level dari antibody. (1)
Cara penularan
Manusia yang terkena atau menangani hewan yang terinfeksi , seperti petani atau dokter hewan, memiliki risiko terinfeksi yang lebih tinggi dan cepatnya penyakit itu berkembang. Bakteri Coxiella burnetti sangat mudah menginfeksi walaupun hanya dalam jumlah tunggal, yaitu dengan cara penghirupan dari udara, susu, daging, wol dan beberapa binatang ternak khusus yang telah terkontaminasi. Biasa ditemukan di hewan ternak seperti kambing dan domba serta mamalia lain termasuk kucing dan anjing. Bakteri ini dapat bertahan selama berbulan-bulan bahkan tahunan, pada debu dapat bertahan hingga 120 hari, pada urine babi hingga 49 hari, pada feses 586 hari, pada susu 42 bulan pada suhu 4 – 60C, pada wol 12 - 16 bulan pada suhu 4 - 60C. Yang perlu diperhatikan adalah selama proses kelahiran organisme tersebut banyak ditemukan di cairan amniotic (cairan ketuban) dan plasenta dari tubuh inang. Infeksi dihasilkan dari inhalasi terhadap partikel yang terkontaminasi di udara dan juga didapat
dari kontak dengan mukosa, vagina, susu, feses, urin atau air mani dari hewan yang terinfeksi. Masa inkubasinya 9 - 40 hari. (11)
                                               
Siklus hidup C. Burnetii (1)

Caplak bertindak sebagai vektor utama C. burnetii yang dapat menularkan agen penyakit Q fever dari hewan liar ke hewan domestik maupun dari hewan domestik ke hewan domestik lainnya. Penularan dari hewan ke manusia melalui vektor caplak secara langsung sangat jarang terjadi. Tetapi penularan melalui material atau makanan yang terkontaminasi feses caplak yang terinfeksi C. burnetii dapat terjadi karena konsentrasi C. burnetii sangat tinggi pada feses caplak yang terinfeksi. C. burnetii mengalami multiplikasi di dalam lisosom sel epitel usus caplak (Sonenshine et al. 2002). Caplak Ixodidae spp. dan Argasidae spp. berperan penting sebagai vektor C. burnetii pada sapi dan unggas, karena hewan-hewan tersebut merupakan induk semang dari stadium dewasa caplak. Induk semang dari larva dan nimfa caplak-caplak tersebut adalah hewan liar seperti rodensia, logomorphs dan marsupials (Acha dan Szyfres 2003; Angelakis dan Raoult 2010). (7)
Diagnosis
Karena penyakit ini memilki gejala yang kurang spesifik dan sulit dideteksi karena masa replikasinya cukup lama, maka proses diagnosis sulit untuk dilakukan. Biasanya dengan test serologi (yaitu dengan melihat respon dari antibody). Serology memungkinkan untuk mendeteksi penyakit kronis sejak dini untuk melihat kenaikan tingkat dari antibody melawan virulensi dari bakteri tersebut. Demam Q ini dapat menyebabkan endocarditis, maka jika sudah sampai tahap ini, memerlukan diagnosa echocardiogrhapy . Ada juga diagnosa lain yaitu IFA (Imunnofluoresence assay), immunohistochemical dan metode deteksi DNA. Pertumbuhan  Coxiella burnetii terdiri atas 2 fase antigenic. Perbedaan fase antigenic ini penting dalam proses diagnosis. Pada kasus penyakit demam Q yang akut ini biasanya tingkat antibody dari fase 2 biasanya lebih tinggi daripada fase 1. Pada kondisi kronis, menunjukkan perbedaan. Antibodi pada fase pertama antigen Coxiella burnetii  biasanya lebih lama ditunjukkan. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa diagnosis dari demam Q ini, dapat dilihat pada spesifikasi level dari antibody. (12)
Obat
Pengobatan dengan antibiotik dapat memperpendek panjang penyakit Q fever. Antibiotik yang umum digunakan termasuk tetrasiklin dan doksisiklin. Berikut ini adalah struktur dari tetrasiklin. Tetrasiklin memilki spektrum antibiotik penghambat yang dihasilkan oleh bakteri Streptomyces. (12)
Tetracycline
Tetrasiklin diberikan melalui mulut tidak boleh digunakan oleh anak-anak yang giginya masih membentuk, karena bisa menghitamkan gigi permanen tumbuh. Selain tetrasiklin dan doksisiklin terdapat obat-obat lain yang biasa digunkan untuk mengobati Q fever ini seperti chloramphenicol, ciprofloxacin, ofloxacin, hydroxychloroquine, dan Minocycline yang telah ditemukan yang berguna dalam mengobati kelelahan pasca-Q fever. Dosis 100 mg per hari selama tiga bulan. (12) Akan tetapi dapat dinonaktifkan pula oleh kloroform, eter, dan radiasi gamma pada suhu 1300C selama 1 jam. (1)
Pencegahan (13)
a.    Pemberian vaksin intradermal dengan menggunakan vaksin yang mengandung anti bakteri Coxiella burnetii.
b.    Hindari mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi dan keju kambing.
c.    Ambil tindakan pencegahan yang tepat saat bekerja di peternakan, dan menghindari paparan mamalia yg melahirkan.
d.    Gunakan pakaian pelindung, sarung tangan dan masker saat bekerja dengan hewan-hewan (terutama yang hamil).
e.    Benar dekontaminasi permukaan dengan solusi formalin atau pemutih.
f.     Benar membuang limbah terkontaminasi.
g.    Wanita hamil tidak harus membantu dengan kelahiran ternak.
h.    Ketika mengunjungi peternakan, lelang ternak atau menunjukkan, hati-hati mengenai sanitasi tangan, alas kaki, truk dan trailer transportasi dll dianjurkan.



Bab III
Kesimpulan

1.    Coxiella burnetii (C. burnetii) merupakan salah satu spesies dari genus Coxiella
2.    Penyakit yang paling sering disebabkan oleh Coxiella burnetii adalah Demam Q atau Query fever
3.    Coxiella burnetii adalah bakteri patogen obligat intraselular yang berarti mereka bergantung pada host untuk dukungan gizi dan lingkungannya
4.    C. Burnetii mempunyai daya tahan yang tinggi di alam, tahan pada pH rendah, serta tahan terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri, seperti lisol, 0,5% sodium hipoklorit dan radiasi sinar UV (MAURIN dan RAOULT, 1999)
5.    Pengobatan dengan antibiotik dapat memperpendek panjang penyakit Q fever, Antibiotik yang umum digunakan termasuk tetrasiklin dan doksisiklin





Daftar Pustaka

x
1.
[Online].; 2008 [cited 2012 april 29. Available from: ttp://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/yunita-dwi-wulansari-078114113.pdf.
2.
foodborne disease. tinjauan pustaka. bogor: bogor agricultural university.
3.
latar belakang. bogor: bogor agricultural university.
4.
wikipedia. [Online].; 2012 [cited 2012 april 29. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Coxiella_burnetii.
5.
6.
Microbe Wiki. [Online].; 2011 [cited 2012 april 29. Available from: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Coxiella_burnetti.
7.
Detection of Coxiella burnetii in Ruminants. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 2006.
8.
SENTINEL LABORATORY GUIDELINES FOR SUSPECTED AGENTS OF BIOTERRORISM. , American Society for Microbiology.
9.
PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSTIK Q FEVER. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. bogor: institut pertanian bogor.
10.
pembahasan umum. bogor: institut pertanian bogor.
11.
wikipedia. [Online].; 2012 [cited 2012 mei 1. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Q_fever.
12.
wordpress. [Online].; 2008 [cited 2012 april 29. Available from: wordpress.com.
13.
HiCow beta. [Online]. [cited 2012 mei 1. Available from: http://id.hicow.com/penyakit-menular/q-demam/demam-515633.html.
14.
coxiella burnetii. TRANSFUSION 2009;49(Suppl):172-174S. 2010 desember: p. 1.
x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar