TUGAS
MIKROBIOLOGI PANGAN
FOODBORNE
DISEASE
Enterobacter
sakazakii
Disusun
oleh :
Hanum Putri
Hapsari 22030110120029
Rintis
Widya Utami 22030110120030
Pristina Adi Rachmawati 22030110110031
PROGRAM
STUDI ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Penyakit bawaan makanan atau keracunan
makanan terjangkit kalau makan atau minum bahan tercemar. Hal ini sering dan
ada sekitar 5,4 juta kejadian tiap tahun di Australia. Ada 3 tertuduh utama
yang bisa menyebabkan sakit dari makanan: kuman, virus dan racun dalam makanan
baik yang alamiah maupun dicampurkan. Makanan apa pun dapat meracuni, apakah
ini diolah atau disiapkan di rumah, sekolah, supermarket setempat, toko makanan
bungkus atau rumah makan. Bahaya keracunan berkurang bila makanan disimpan dan
disiapkan semestinya.
Enterobacter sakazakii merupakan emerging pathogen termasuk sebagai foodborne
disease yang lebih dari dua puluh tahun terakhir ini dilaporkan
menyebabkan beberapa kasus kematian serta penyakit pada bayi. Pada umumnya,
laporan mengenai infeksi E. sakazakii menunjukkan
bahwa E. sakazakii menyebabkan
meningitis, enterokolitis nekrotikan dan sepsis pada neonatus. Kelompok bayi
yang memiliki resiko tertinggi terinfeksi E. sakazakii yaitu neonatus (still birth hingga umur 28 hari), bayi immunocompromised, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR),
bayi prematur dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Sampai saat ini kasus E.
sakazakii yang tercatat dan dilaporkan relatif sedikit. Walaupun
demikian, E. sakazakii harus
mendapatkan perhatian yang serius karena dapat menyebabkan gangguan fungsi
sistem saraf, fisik dan mental pada bayi yang terinfeksi dan angka
mortalitasnya tinggi yaitu 40-80%.
Habitat alami E.
sakazakii sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Enterobacter sakazakii sering
ditemukan sebagi salah satu kontaminan dalam 9-35% susu bubuk formula , 44%
sereal, 27% tepung kentang, 23% produk pasta, 31 % peralatan dapur dan tidak
ditemukan dalam bubuk rempah-rempah (Kandhai 2004).
Selama ini, penelitian mengenai E. sakazakii lebih banyak dilakukan di negara maju dibandingkan
di negara berkembang. Data penelitian mengenai E. sakazakii di Indonesia masih terbatas. Hasil penelitian E. sakazakii di Indonesia menunjukkan
bahwa tingkat pencemaran E. sakazakii dalam
makanan bayi di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 13.5% (Estuningsih et al. 2006) dan pada susu formula
sebesar 6.52% (Estuningsih 2004). Pada tahun 2006, sebanyak 5 dari 22 atau
22.73% susu formula dan 6 dari 15 atau 40% produk makanan bayi di Indonesia
positif terkontaminasi E. sakazakii (Estuningsih
et al. 2007). Akibat minimnya
pengetahuan mengenai bahaya E. sakazakii,
maka kepedulian terhadap emerging
pathogen ini di Indonesia belum tinggi.
Penelitian mengenai E.
sakazakii yang telah dilakukan umumnya menyangkut aspek mikrobiologi
sedangkan patogenitas dan kerusakan jaringan yang terjadi belum dipelajari.
Hasil penelitian Pagotto et al.
(2003), menunjukkan bahwa faktor virulensi E. sakazakii adalah enterotoksinnya. Namun, studi mengenai
perubahan histopatologis jaringan atau organ belum diketahui dengan terperinci.1
1.2.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan foodborne disease?
2. Apa
yang dimaksud dengan bakteri Enterobacter sakazakii? Taksonomi, morfologi,
ekologi dan fisiologi?
3. Apa
saja sifat khas Enterobacter sakazakii?
4. Apa
pengaruh enterobacter sakazakii terhadap makanan dan penyakit?
5. Pangan
apa saja yang dapat terkontaminasi enterobacter sakazakii?
6. Penyakit
apa yang diakibatkan oleh enterobacter sakazakii?
7. Apa
peranan Enterobacter sakazakii dalam lingkungan?
8. Apakah
Enterobacter sakazakii dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan?
9. Bagaimana
cara pencegahan dari kontaminasi Enterobacter sakazakii?
1.3.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan foodborne disease.
2. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan bakteri Enterobakter sakazakii, taksonomi,
morfologi, ekologi, fisiologi.
3. Untuk
mengetahui sifat khas Enterobacter sakazakii.
4. Untuk
mengetahui pengaruh enterobacter sakazakii terhadap makanan dan penyakit.
5. Untuk
mengetahui jenis pangan yang dapat terkontaminasi enterobacter sakazakii.
6. Untuk
mengetahui penyakit yang dapat diakibatkan enterobacter sakazakii
7. Untuk
mengetahui peranan Enterobacter sakazakii tehadap lingkungan.
8. Untuk
mengetahui apakah Enterobacter sakazakii dapat menimbulkan bahaya bagi
kesehatan.
9. Untuk
mengetahui cara pencegahan dari kontaminasi Enterobacter sakazakii.
1.4.
Manfaat
Memberi pengetahuan terhadap masyarakat mengenai bakteri
enterobacter sakazakii dan pengaruhnya terhadap makanan dan penyakit.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Foodborne
Disease
Foodborne
disease adalah penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi
makanan atau minuman yang tercemar. Foodborne disease disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme atau mikroba patogen yang mengkontaminasi
makanan. Selain itu, zat kimia beracun, atau zat berbahaya lain dapat
menyebabkan foodborne disease jika zat-zat tersebut terdapat dalam makanan.
Makanan yang berasal baik dari hewan maupun tumbuhan dapat berperan
sebagai media pembawa mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia.17
Penyakit
ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Dalam kehidupannya manusia
membutuhkan makanan untuk hidup. Jika tidak memperhatikan kebersihan makanan
dan lingkungan, makanan dapat merugikan bagi manusia.
Makanan
yang berasal baik dari hewan atau tumbuhan dapat berperan sebagai media pembawa
mikroorganisma penyebab penyakit pada manusia. Mikroorganisma yang
menimbulkan penyakit ini dapat berasal dari makanan asal hewan yang
terinfeksi penyakit tersebut atau tanaman yang terkontaminasi. Makanan yang
terkontaminasi selama prosesing atau pengolahan dapat berperan sebagai media
penularan juga. Penularan foodborne disease oleh makanan dapat bersifat
infeksi. Artinya suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya mikroorganisma yang
hidup, biasanya berkembangbiak pada tempat terjadinya peradangan. Pada kasus
foodborne disease mikro organisma masuk bersama makanan yang kemudian dicerna
dan diserap oleh tubuh manusia. Kasus foodborne desease dapat terjadi dari
tingkat yang tidak parah sampai tingkat kematian. Gejala foodborne disease yang
umumnya terlihat adalah perut mual diikuti muntah - muntah, diare, demam,
kejang - kejang dan lain - lain.17
2.2. Taksonomi
Bakteri E. Sakazakii
diperkenalkan sebagai jenis bakteri pada tahun 1980 yang baru berdasarkan pada
perbedaan analisa hibridasi DNA, reaksi biokimia dan uji kepekaan terhadap
antibiotika. Bakteri ini berhubungan dengan infeksi neonatal biasanya terjadi
pada level yang sangat rendah (<1CFU/g) dalam susu bubuk bayi.3
Tahun 2008 Enterobacter sakazakii sudah di klasifikasi ulang sebagai anggota
dari genus Cronobacter yang terdiri dari lima spesies dan tiga sub spesies
(gambar 1).2 Selanjutnya
diklasifikasikan kembali menjadi Enam
spesies yang dimaksud adalah Cronobacter
sakazakii; C. turicensis; C. malonaticus; C. muytjensii; and C. dublinensis; C. genomospecies 1.4,5 Sebagai genus, Cronobacter
bersinonim dengan Enterobacter sakazakii. Selanjutnya klasifikasi ulang tidak
memerlukan banyak perubahan kepada kerangka regulasi yang sekarang ini. Untuk
menghindari kebingungan yang timbul dari perubahan taksonomi, penunjukkan E. sakazakii (Cronobacter spp.) digunakan
seluruhnya dalam laporan ini.
Gambar 1. Distribusi dari biogrup dan
kelompok dalam taksonomi dari Cronobacter.2
2.3.
Morfologi
Sifat
morfologi E. sakazakii sangat penting hubungannya yang berkaitan dengan penyakit
yang dapat disebabkan oleh bakteri ini. Spesies dari genus Cronobacter ini
merupakan bakteri gram negatif jenis
batang
yang mempunyai ukuran 1 pM x 3 m.
Termasuk dalam bakteri fakultatif anaerobik.
Bersifat motil karena mempunyai flagela peritrikat
yang artinya mempunyai banyak flagella yang menyebar pada permukaan sel.6
Sebagai
bakteri gram negatif, E. sakazakii lebih resisten terhadap antibiotik terutama
penisilin, ampicillin, novobiocin, dan vancomycin.6,7 Penggunaan
antibiotika yang berbeda untuk menghambat dan menahan pertumbuhan secara in vitro memberikan perbedaan diameter daerah hambat pertumbuhan bakteri yang sangat nyata
(P<0,01) (gambar 2).7 Sensitif
terhadap antibiotika chlorampenicol, oxytetracyclin, amoxycilin dan
gentamycin serta bersifat intermediet terhadap antibiotika neomycin.7
Gambar
2. Diameter daerah hambat pertumbuhan bakteri E. Sakazakii terhadap 9 macam antibiotika.7
Strain E. sakazakii memproduksi enterotoxin.1 Spesies ini dapat
tumbuh pada suhu antara 6° - 47 °C dengan suhu pertumbuhan optimum 39 °C.2 Resistensi
suhu dari bakteri ini lebih tinggi dari kebanyakan bakteri gram negatif
lainnya. Fase stasioner sel lebih resisten untuk osmotik dan tekanan kering daripada
E.coli, hal ini meningkatkan resistensi yang berhubungan dengan akumulasi
trehalosa saat fase ini.1
Strain
Cronobacter dapat bertahan pada
bahan substansi dengan aktivitas air yang rendah seperti pada sereal bayi (0.3
- 0.69 aw).2 Kelangsungan hidup dari Cronobacter spp. pada temperature rendah lebih baik dari pada
jumlah bakteri yang ada di sereal (0.63 - 0.83 aw) pada 4 °C berbanding dengan
21° or 31 °C.8
Indeks
Komparatif Genomik berdasar Microarray (CGI) telah digunakana untuk menganalisa
78 strain Cronobacter yang didapatkan
dari makanan, lingkungan dan sampel klinik. Susunannya menunjukkan target
tersering untuk kategori gen fungsional pada genom Cr. sakazakii strain
BAA-894. Spesifikasi gen spesies ada
pada semua strain Cr. sakazakii,
genom strain Cr. sakazakii
BAA-894 yang terangkai dan dideskripsikan sebagai 4.4 Mb kromosom dengan dua
plasmid yaitu 31 kb dan 131 kb.2
2.4.
Fisiologi
Faktor yang mendukung pertumbuhan
E.sakazakii yaitu : nutrisi (ceceran powder, karbon, nitrogen, sulfur, fosfor,
vitamin dan trace element), air (udara lembab), oksigen (udara), waktu untuk
berkembang biak, dan suhu yang sesuai.
Enterobacter sakazakii berkembang
secara optimal pada kisaran suhu 30-40oC. waktu regenerasi bakteri
ini terjadi setiap 40 menit jika diinkubasi pada suhu 23oC, yang
tentunya akan sedikit lebih cepat pada suhu optimum pertumbuhannya. Kontaminasi
satu koloni E.sakazakii memiliki memiliki peluang hidup maksimum sebesar 6.5 %
untuk dapat berkembang hingga mencapai jumlah yang signifikan. (1
juta sel/g produk) dalam waktu maksimal 100 jam pada suhu 18-37oC.
artinya, apabila 1 sel hidup E.sakazakii mengkontaminasi produk susu formula
pada proses produksi. Hanya dalam waktu lima hari, produk tersebut telah
menjadi sangat berbahaya bagi bayi. Angka probabilitas ini agaknya ditunjang dengan fakta hasil riset di seluruh dunia,
tidak hanya yang dipublikasikan tim riset IPB,
yaitu pada kisaran 20%.
2.5.
Sifat
Khas E. sakazakii
2.5.1. Sifat
resistensi terhadap Antibiotik
Farmer
et al. (1980) menemukan bahwa seluruh galur E. sakazakii rentanterhadap
Gentamycin, Kanamycin, Chloramphenicol
dan Amphicilin, lebih dari 87% bersifat rentan terhadap nalidixic acid,
streptomycin, tetracycline, dan carbenicilin; 67% rentan terhadap sulfadiazine
dan colistin; dan 13% rentan terhadap antibiotik ganda. Hal ini didukung oleh
Weir (2002) yang menyebutkan bahwa E. sakazakii bersifat resisten terhadap
Ampisilin dan Gentamisin atau Ampisilin dan Chloramphenicol. Menurut Lai
(2001), Carbapenems atau Cephalosporin terbaru yang dikombinasikan dengan agen
kedua seperti Aminoglycosida, Trymetrophine, Sulfametoxazole dapat digunakan
untuk pengobatan infeksi akibat bakteri ini. [2]
2.5.2.
Sifat resistensi terhadap perlakuan
Enterobacter
sakazakii bersifat lebih resisten terhadap pengeringan dan stres osmotik
dibandingkan spesies lain dari Enterobacteriaceae karena suatu kapsul
polisakarida dengan aktivitas antifagositik yang dapat mengurangi kemampuan
tubuh untuk mengeliminasinya (Iversen et al. 2004a). Keberadaan kapsul ini juga
memungkinkan E. sakazakii untuk melakukan perlekatan dan membentuk biofilm
(perlekatan yang erat pada permukaan) yang menyebabkan resisten terhadap bahan
pembersih dan desinfektan (Hassel 2004; Lehner et al. 2005). Meutia (2008)
menambahkan bahwa beberapa isolat E. sakazakii asal susu dan makanan bayi juga
memiliki sifat tahan terhadap pemanasan, namun beberapa penelitian menyatakan
bahwa bakteri ini tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan L. Monocytogenes
(Iversen & Forsythe 2003).[2]
2.5.3.
Patogenitas E. sakazakii
Faktor
patogenitas suatu bakteri batang bergram negatif diketahui berasal dari
beberapa faktor yaitu endotoksin, enterotoksin, daya invasi, perlekatan ke
permukaan sel, hemolisin, dan enzim–enzim yang diproduksi. Kemampuan perlekatan
bakteri gram negatif digunakan untuk membentuk koloni pada bagian mukosa dengan
menggunakan pili (fimbriae), sedangkan daya invasi yaitu kemampuan bakteri
untuk menyerang sel inang dengan menggunakan komponen permukaan berupa kode
pada plasmid ataupun kromosom. Struktur dinding sel umumnya terdiri dari 20%
total dinding sel dibentuk oleh lapisan murelinlipoprotein dan sisanya 80%
dibentuk oleh lapisan fosfolipid, protein dan lipopolisakarida. Komponen utama
dari dinding sel adalah lapisan lipopolisakarida yang terdiri dari rantai
polisakarida yang spesifik sebagai penentu sifat antigenik dan aktivitas
endotoksin (Karsinah 1994). Endotoksin adalah bagian dari dinding sel luar
bakteria yang jauh kurang toksik dan kurang spesifik dibandingkan dengan
eksotoksin karena tidak bertindak sebagai enzim. Informasi yang menjelaskan
tentang sifat virulen dari E. sakazakii masih sangat minim, namun diketahui
memiliki kesamaan respon imunologi dengan
Eschericia
coli dan coliform lain. Pagotto et al. (2003) melaporkan bahwa E. sakazakii
mampu menghasilkan suatu senyawa toksin menyerupai enterotoksin dengan efek
sitotoksik (melisiskan sel) pada uji in vitro terhadap sel lestari CHO, Vero,
dan Y-1 dan menyebabkan kematian pada bayi mencit lewat pemberian peroral serta
memiliki efek lethal saat di injeksi dengan konsentrasi 108 cfu pada anak
mencit yang berumur 3-4 hari. Miyoshi dan Takai (2005) menyatakan bahwa sifat
penyerangan bakteri E. sakazakii secara in vitro memiliki kesamaan dengan L. Monocytogenes,
yaitu dengan melepaskan Ethylene Glycol Tetraacetic Acid (EGTA) yang merupakan
agen selektif untuk ion Ca2+. Habisnya Ca2+ pada kultur sel dapat menyebabkan
terbukanya tight junctions yang berperan dalam ikatan antar sel dan barrier
molekul antar sel epitel antara lapisan konfluen sel eukariotik. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Mange et al. (2006) dengan 50 stain E. sakazakii
yang diujikan pada sel lestari HEp-2 dan Caco-2 (epitel manusia), serta sel
lestari HBMEC (mikrovaskuler otak) menyimpulkan bahwa kemampuan adhesi dari E.
sakazaki tidak dipengaruhi oleh adanya enzim tripsin, hemaglutinin,dan manosa
yang diperantarai oleh suatu struktur fimbrie seperti yang ditemukan pada
sebagian besar strain enterobacteriaceae. Kemampuan bakteri ini berasosiasi
kuat dengan sel HEp-2 tanpa keterlibatan struktur fimbrial memiliki kesamaan
dengan sifat enterotoksigenik E. coli (ETEC) yang diujikan pada sel lestari
Caco- 2 oleh Darfeuille et al. (1990). Untuk melepaskan toksinnya, bakteri ini
berikatan sangat dekat dengan mikrovili tanpa menyebabkan lesio pada mikrovili
tersebut. [2]
2.6.
Ekologi
Sebagaimana
genus enterobacter lainnya, E. sakazakii merupakan bakteri yang berkoloni di
dalam saluran pencernaan manusia dewasa. Spesies enterobacter ini dapat ditemukan
diproduk pangan lain selain susu formula: keju, daging, sayuran, biji-bijian,
kodimen dan bumbu-bumbuan. Selain bersifat invasive, E. sakazakiijuga
memproduksi toksin (endotoxin) yang juga berbahaya bagi mamalia yang baru lahir
dan belum memiliki system kekebalan tubuh yang baik.
2.7.
Pengaruh
terhadap makanan dan penyakit
Banyak spesies bakteri gram-negatif yang bersifat
patogen, yang berarti mereka berbahaya bagi organisme inang. E. sakazakii tergolong sebagai
patogen pangan emerging yang
perlu diwaspadai karena dalam 20 tahun terakhir ditengarai dapat mengakibatkan
penyakit melalui makanan. Bakteri ini juga dikategorikan sebagai patogen
oportunistik, yakni patogen yang menyebabkan penyakit pada kelompok rentan yang
memiliki kekebalan tubuh rendah.[3]
Habitat alami Sakazakii
tidak diketahui secara pasti, namun didekteksi berada di pencernaan
orang yang sehat. Ia juga dapat ditemukan di pencernaan binatang dan di alam. Enterobacter sakazakii dapat
ditemukan di beberapa lingkungan industri makanan, seperti pabrik susu, coklat,
kentang, sereal, roti, tahu, the asam, dan pasta juga pada lingkungan berair,
dan sedimen tanah yang lembab. Dalam beberapa bahan makanan yang memiliki
potensi terkontaminasi E. sakazakii antara
lain keju, sosis, daging cincang awetan, sayuran, dan susu bubuk. Meskipun
demikian, selain susu formula, pangan di atas tidak pernah dilaporkan
menyebabkan infeksi E. sakazakii.
Hal ini mungkin disebabkan karena makanan tersebut tidak dikonsumsi oleh
kelompok rentan tertentu.[3]
Dalam dua puluh tahun terakhir terkumpul sejumlah data
tentang infeksi pada kelompok bayi rentan karena E. sakazakii yang mencemari susu formula. Laporan mengenai
infeksi E. sakazakii menunjukkan
bahwa bakteri ini dapat menyebabkan radang selaput otak/ meningitis, diare/
anteritis dan radang usus pada bayi. Infeksi tersebut dilaporkan dapat
menyebabkan gejala penyakit neonatal meningitis
bacteremia, necrotizing enterocolitis (NEC), dan necrotizing meningoencephalitis (Muytjens & Kollee, 1990).
Pada beberapa kejadian wabah, dilaporkan, sebanyak 20 – 50% bayi yang
terinfeksi sakazakii meninggal
dunia sedangkan sisanya mengalami gangguan saraf menetap. Pada orang dewasa,
infeksi sakazakii hanya
menimbulkan gejala yang sifatnya ringan dan mudah disembuhkan.
Kelompok yang rentan terhadap E. sakazakii adalah bayi berusia kurang dari 1 bulan atau bayi
lahir prematur atau bayi dengan berat badan lahir rendah atau bayi dari ibu
yang menderita Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan atau AIDS (Acquired
Immuno Deficiency Syndrome). Meskipun tidak ada bukti secara
epidemiologis tentang dosis infeksinya, Iversen & Forsythe (2003)
memperkirakan bahwa diperlukan 1.000 sel untuk terjadinya infeksi oleh E. sakazakii.
Sampai
saat ini, ada beberapa faktor yang dimiliki oleh E. sakazakii yang diduga berperan dalam terjadinya penyakit di
antaranya protein invasin dan enterotoksin. Penelitian tentang faktor virulensi
bakteri ini terus berlangsung di berbagai negara termasuk upaya untuk menemukan
struktur enterotoksin yang dihasilkan. [3]
Terjadinya pencemaran susu formula oleh E. sakazkakii diduga bisa terjadi
oleh kontaminasi eksternal, yaitu penanganan yang buruk saat merekonstitusi
susu formula dengan air atau kontaminasi internal selama proses produksinya.
Pencemaran selama penyiapan dapat terjadi dari orang, piranti (botol susu yang
tidak steril), debu atau lingkungan serta air yang digunakan.
Pencemaran selama produksi kemungkinan terjadi setelah
proses pasteurisasi susu yaitu selama pengeringan, selama pencampuran kering
dan atau pada saat pengemasan. Karena akumulasi laporan terkait E. sakazakii dan susu formula ini,
sejak tahun 2004 lembaga pangan dunia Codex Alimentarius Commission, FAO/WHO
bekerjasama dengan lembaga-lembaga pakar dan negara anggota Codex mendiskusikan
data-data ilmiah terkait temuan E.
sakazakii dari berbagai negara dan melakukan analisis risiko dengan data
yang terkumpul tersebut.[3]
2.8.
Peranan
dalam lingkungan
Terjadinya
kontaminasi bakteri dapat dimulai ketika susu diperah dari puting sapi. Lubang
puting susu memilikii diameter kecil yang memungkinkan bakteri tumbuh di
sekitarnya. Bakteri ini ikut terbawa dengan susu ketika diperah. Meskipun
demikian, aplikasi teknologi dapat mengurangi tingkat pencemaran pada tahap ini
dengan penggunaan mesin pemerag susu (milking machine), sehingga susu yang
keluar dari puting tidak mengalami kontak dengan udara. Pencemaran susu oleh
mikroorganisme lebih lanjut dapat terjadi selama pemerahan (milking),
penanganan (handling), penyimpanan (storage) dan aktivitas pra-pengolahan (pre-processing)
lainnya, mata rantai produksi susu memerlukan proses yang steril dari hulu
hingga hilir, sehingga bakteri tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang dalam susu. Peralatan pemerahan yang tidak steril dan tempat
penyimpanan yang tidak bersih dapat menyebabkan tercemarnya susu oleh bakteri.
Susu memerlukan penyimpanan dalam temperature rendah agar tidak terjadi
kontaminasi bakteri. Udara yang terdapat dalam lingkungan
disekitar tempat pengolahan merupakan media yang dapat membawa bakteri untuk
mencemari susu. Proses pengolahan susu sangat dianjurkan untuk dilakukan di
dalam ruagan tertutup. Manusia yang berada dalam proses pemerahan dan
pengolahan susu dapat menjadi penyebab timbulnya bakteri dalam susu. Tangan dan
anggota tubuh lainnya harus teril ketika memerah dan mengolah susu. Bahkan,
hembusan napas manusia ketika proses pemerahan dan pengolahan susu dapat
menjadi sumber timbulnya bakteri. Sapi perah dan peternak yang berada dalam
sebuah peternakan harus dalam kondisi sehat dan bersih agar tidak mencemari
susu. Proses produksi susu ditingkat peternakan memerlukan penerapan good
farming practice seperti yang telah diterapkan di Negara-negara maju.
2.9.
Bahaya
Kesehatan
Laporan mengenai infeksi E. sakazakii menunjukkan bahwa bakteri ini
dapat menyebabkan radang
selaput otak dan radang usus pada bayi.[5] Kelompok bayi yang memiliki risiko tertinggi terinfeksi E. sakazakii yaitu neonatus (baru lahir hingga umur 28 hari),
bayi dengan gangguan sistem tubuh, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR),
bayi prematur, dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) [5]
Enterobacter sp.
merupakan patogen nosokomial yang menjadi penyebab berbagai macam infeksi termasuk bakteremia, infeksi saluran pernapasan bagian bawah, infeksi kulit dan jaringan
lunak, infeksi saluran kemih, infeksi dalam perut, radang jantung,
radang sendi osteomyelitis, dan infeksi mata.
Angka kematian akibat infeksi E. sakazakii mencapai 40-80%. [7]
Sebanyak 50% pasien yang dilaporkan menderita infeksi E. sakazakii meninggal dalam waktu satu minggu setelah diagnosa. Hingga kini belum ada
penentuan dosis infeksi E. sakazakii, namun
sebesar 3 cfu/100 gram dapat digunakan sebagai perkiraan awal dosis infeksi [8]
Gambar 1 Enterobacter sakazakii dengan ukuran bar 1 μm
(Sumber : Anonim 2004a)
2.10.
Cara
Pencegahan dari Foodborne Disease
·
Kebersihan18
Sesudah
ke WC, mengganti popok, sebelum makan atau menyiapkan makanan, cucilah tangan
dengan teliti memakai sabun dan kucuran air setidaknya 15 detik, lalu
keringkanlah dengan handuk bersih.
·
Pemantauan suhu
-
Menyimpan makanan pada suhu yang keliru bisa
berakibat membiaknya kuman yang menyebabkan racun makanan, yang tumbuh di
antara suhu 5° C dan 60° C.
-
Untuk berjaga-jaga: suhu lemari es jangan lebih tinggi dari 5° C
dan ada aliran udara di seputar makanannya agar pembagian suhunya merata,
-
makanan panas patut disimpan di atas suhu 60°
C,
-
makanan yang harus dipanaskan lagi ya
cepat-cepat dipanaskan sampai semua bagiannya mencapai suhu 75° C,
-
makanan beku sebaiknya dicairkan di dalam
lemari es atau microwave, sebab makin lama makanan mentah dibiarkan pada suhu
ruangan, makin cepat pulalah kuman berbiak dan racun bisa terbentuk,
-
agar kuman di dalamnya mampus, makanan harus
dimasak matang benar.
·
Cara Menyimpan
- Daging,
ikan, unggas dan sayur yang mentah bisa mengandung banyak kuman, dan juga
mencemari makanan yang sudah siap jika tidak disimpan atau ditangani dengan
cermat. Untuk berjaga-jaga:
- makanan
mentah patut disimpan tertutup atau dalam tempat bertutup di bawah makanan lain
yang sudah siap agar bagian makanan atau cairan daging tidak menumpahi atau
menetesinya,
- makanan
sebaiknya ditutupi sebelum disimpan di dalam lemari es bawah maupun atas atau
di lemari agar terhindar dari pencemaran,
- tangan
harus segera dicuci sesudah menangani makanan mentah dan sebelum menangani
makanan yang sudah matang atau siap,
- patut
menggunakan talenan, sendok garpu dan piring lain untuk makanan mentah dan yang
sudah siap, dan jika talenan mesti dipakai lagi basuhlah dulu baik-baik dengan
air panas bersabun,
- teliti
mencuci sayur mentah sebelum menyiapkannya untuk dimakan,
- bahan
makanan harus disimpan baik-baik, jauh dari bahan beracun, semprot serangga,
bahan pembersih dll,
- tidak
memakai serbet pengering piring untuk menyeka tangan atau meja, lagipula
serbetnya harus sering dicuci dan dikeringkan.18
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Foodborne disease adalah
penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang
tercemar. Foodborne disease disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
atau mikroba patogen yang mengkontaminasi makanan.
Sebagai bakteri gram negatif,
E. sakazakii lebih resisten terhadap antibiotik terutama penisilin, ampicillin,
novobiocin, dan vancomycin. Enterobacter sakazakii bersifat lebih resisten
terhadap pengeringan dan stres osmotik. E. sakazakii merupakan bakteri yang
berkoloni di dalam saluran pencernaan manusia dewasa. Spesies enterobacter ini
dapat ditemukan diproduk pangan lain selain susu formula: keju, daging,
sayuran, biji-bijian, kodimen dan bumbu-bumbuan. Selain bersifat invasive, E.
sakazakiijuga memproduksi toksin (endotoxin) yang juga berbahaya bagi mamalia
yang baru lahir dan belum memiliki system kekebalan tubuh yang baik. Infeksi E. sakazakii menunjukkan bahwa bakteri ini
dapat menyebabkan radang selaput otak dan radang usus pada bayi.
Cara pencegahan yang paling
efektif adalah dengan memperhatikan kebersihan lingkungan,pemantauan suhu dan
cara penyimpanan produk makanan yang kemungkinan dapat terkontaminasi Enterobacter
sakazakii.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dordia AR. Studi
Histopatologi Pengaruh Infeksi Enterobacter
sakazakii Pada Mencit (Mus musculus) Neonatus. Institut
Pertanian Bogor; 2008.
2. Getri
G. Uji Sitotoksik Enterobacter sakazakii Isolat Asal Makanan dan Susu Bayi Pada
Sel Lestari Vero. Institut Pertanian Bogor; 2008.
5. Pagotto FJ, Nazarowek-White M, Bidawid MS, Farber JM.
2003. Enterobacter sakazakii: Infectivity and Enterotoxin Production in Vitro
and in Vivo. J Food Protect 66: 370-375
6. Iversen C, Forsythe S. 2003. Risk profile of Enterobacter
sakazaki. Trends in Food Science and Technology 14: 443-454.
7. Jay,
M. J. dan Loessner, M. J. 2005. Modern food microbiology. Food Science Text
Series. 7th edition. Springer Science and Business Media, USA.
8.
Strydom Amy.
PHYLOGENY AND MOLECULAR IDENTIFICATION OF CRONOBACTER STRAINS ISOLATED FROM SOUTH AFRICAN FOOD
PRODUCTS.Stellenbosch University;2011.
9. CENTERS
for DISEASE CONTROL and PREVENTION.2002. Enterobacter
sakazakii infections associated with the use of powdered infant
formula—Tennessee, 2001. MMWR Morb
Mortal Wkly Rep.51:297–300.
10.
FAO dan WHO. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) in powdered
follow-up formulae. MEETING REPORT; 2008.
11. Carol
Iversen et al. The taxonomy of Enterobacter
sakazakii: proposal of a new genus Cronobacter gen. nov. and descriptions of Cronobacter
sakazakii comb. nov. Cronobacter sakazakii subsp. sakazakii, comb. nov., Cronobacter
sakazakii subsp. malonaticus subsp. nov., Cronobacter turicensis sp. nov., Cronobacter muytjensii sp. nov., Cronobacter dublinensis sp. nov. and Cronobacter genomospecies
1. BMC Evolutionary Biology: 2007,
7:64.
12. Fardiaz,
S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
13. Noor,
S. dan Poeloengan, M. POLA KEPEKAAN ENTEROBACTER SAKAZAKII TERHADAP ANTIBIOTIKA. Balai Besar Penelitian Veteriner; Bogor.
14. Beuchat, L.R., Kim, H., Gurtler, J.B., Lin,
L.C., Ryu, J.H. & Richards, G.M. Cronobacter
sakazakii in foods and factors affecting its survival, growth, and
15. Inactivation,
2009. International Journal of Food
Microbiology, 136 (2),
204-213.
18. NSW
Multicultural Health Communication Service. 2004. Foodborne disease. Indonesia [DOH-7120]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar