MAKALAH MIKROBIOLOGI PANGAN
FOODBORNE DISEASE
Penicillium
Expansum
Disusun oleh
Liri Handayani 22030110130075
Atika Nurul K. 22030110130077
Septian Hari P. 22030110130078
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
DIPONEGORO
2012
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pangan
merupakan kebutuhan esensial bagi setiap makhluk hidup, termasuk manusia, yang
digunakan untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Di sisi lain, pangan
juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme
pada bahan pangan dapat memberikan efek yang menguntungkan, seperti perbaikan gizi
pada bahan pangan, daya cerna, ataupun daya simpannya. Namun, pertumbuhan
mikroorganisme juga dapat mengakibatkan perubahan fisik dan kimia yang tidak
diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.1 Telah
dilaporkan bahwa sebanyak 3.000.000 orang
di seluruh dunia meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang berhubungan
dengan makanan dan air. Penyakit bawaan makanan merupakan penyumbang utama
terhadap kejadian diare pada 1,5 miliar anak usia di bawah 5 tahun, yang dapat
sampai pada kematian.2
Mikroorganisme yang dapat mengakibatkan perubahan yang
tidak diinginkan adalah mikroorganisme patogenik penyebab penyakit. Bahan
pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan
mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. Makanan yang
telah ditumbuhi mikroorganisme patogenik ini dapat menyebabkan keracunan
makanan ketika dikonsumsi. Keracunan pangan didefinisikan sebagai gangguan yang
diakibatkan termakannya toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme tertentu
atau gangguan-gangguan akibat terinfeksi organisme penghasil toksin.1
Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan),
terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius
di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang dibuktikan dengan seringnya pemberitaan
mengenai keracunan pangan akibat mengkonsumsi hidangan pesta, makanan jajanan,
makanan katering, bahkan dari pangan segar.
Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis memiliki
tingkat kelembapan yang tinggi. Hal ini merupakan faktor penyebab berkembangnya
kapang yang dapat mencemari berbagai macam buah, terutama kapang yang
menghasilkan mikotoksin. Mikotoksin merupakan senyawa organik beracun hasil
metabolisme sekunder dari kapang (fungi, jamur, cendawan), yang dapat
mengganggu kesehatan manusia dan hewan, dengan berbagai bentuk perubahan klinis
dan patologis. Kapang penghasil mikotoksin dapat dengan mudah menginfeksi buah,
terutama pada buah yang penanganan pra dan pasca panennya tidak memadai.3 P. expansum merupakan salah satu jenis kapang
psikotropik patogen yang umum dijumpai
pada buah. Kapang ini dapat
menyebabkan blue mold
rot pada buah, khususnya selama penyimpanan apel. P. expansum juga dapat memproduksi toksin patulin yang
berbahaya jika dikonsumsi oleh manusia.
PEMBAHASAN
Mikroorganisme pada Makanan
Makanan tidak hanya bergizi untuk manusia, tetapi juga
merupakan sumber nutrisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Mikroorganisme
dapat digunakan untuk mengubah makanan mentah menjadi hidangan fermentasi,
seperti yogurt, keju, sosis, tempe, acar, anggur, bir, dan produk alkohol
lainnya. Di sisi lain, makanan juga dapat bertindak sebagai reservoir penularan
penyakit.
Mikroorganisme dapat mempengaruhi kualitas makanan dan
kesehatan manusia pada semua rantai makanan dari produsen ke konsumen.
Kerusakan makanan akibat mikroba dapat dilihat dari perubahan penampilan
seperti peubahan warna, bau, rasa, adanya pembengkakan dan adanya lendir.
Namun, tumbuhan dan hewan yang berfungsi sebagai sumber makanan pada dasarnya
mempunyai mekanisme pertahanan alami terhadap invasi dan proliferasi
mikroorganisme.
Buah-buahan memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi (10%
atau lebih), protein yang sangat rendah (≤10%), tetapi memiliki pH 4,5 atau di
bawahnya. Pembusukan mikroba pada buah-buahan dan produk buah terbatas pada kapang,
khamir, dan bakteri asidurik seperti bakteri asam laktat, Acetobacter, dan Glunocobacter.
Buah-buahan sangat rentan mengalami pembusukan yang disebabkan oleh genus Penicillium,
Aspergillus, Alternaria, Botrytis, Rhizopus, dan lain-lain. Pembusukan
ditandai dengan busuk hitam, busuk abu- abu, busuk coklat, busuk lunak, dan
lain-lain. Untuk mengurangi pembusukan buah dan produk buah biasanya dilakukan
dengan pendinginan, pembekuan, pengemasan vacuum,
pengurangan aw, dan perlakuan panas.
Foodborne Disease
Makanan yang aman dan bergizi sangat penting untuk
kesehatan dan kesejahteraan manusia. Namun, makanan yang dapat menimbulkan
penyakit juga sering terjadi, dan hal ini masih merupakan masalah yang
signfikan di setiap negara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 1,5
miliar kasus penyakit yang disebabkan makanan mengakibatkan sekitar 3 juta
kematian setiap tahunnya. Lebih dari 250 penyakit yang ditularkan melalui makanan
yang berbeda. Penyakit-penyakit yang berbeda memiliki gejala yang berbeda,
sehingga tidak ada satu “syndrome”
yang dapat diindikasikan sebagai penyakit spesifik untuk penyakit yang
ditularkan melalui makanan. Meskipun demikian, karena mikroba atau racun
memasuki tubuh melalui saluran pencernaan, sehingga sering menyebabkan gejala
awal di saluran ini, yang menjadikan mual, muntah, kram perut, dan diare
(gejala umum pada penyakit yang ditularkan melalui makanan).4
Foodborne disease adalah
penyakit yang disebabkan oleh konsumsi
makanan yang mengandung agen penyebab penyakit dalam jumlah yang cukup,
sehingga mereka dapat mempengaruhi kesehatan individu atau kelompok. Foodborne
disease disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme atau mikroba
patogen yang mengkontaminasi makanan. Selain mikroorganisme termasuk
bakteri, parasit, virus, jamur dan produk-produk yang dihasilkannya, zat kimia
beracun, atau zat berbahaya lain juga dapat menyebabkan foodborne disease jika zat-zat tersebut
terdapat dalam makanan. Makanan yang berasal dari hewan maupun
tumbuhan dapat berperan sebagai media pembawa mikroorganisme penyebab
penyakit pada manusia.
Foodborne disease
biasanya diklasifikasikan sebagai intoksikasi (keracunan) atau infeksi. Intoksikasi
bawaan dari makanan (keracunan) disebabkan oleh toksikan makanan yang ditemukan
dalam jaringan tanaman dan hewan tertentu. Produk metabolik (racun) yang
dibentuk dan dikeluarkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri yang berkembangbiak
dalam makanan, atau zat beracun yang mungkin sengaja atau kebetulan ditambahkan
pada makanan sebagai akibat penanganan, pengangkutan, dan penyimpanan.
Sedangkan infeksi
merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme hidup, yang
biasanya berkembangbiak pada tempat terjadinya peradangan. Infeksi bawaan makanan disebabkan oleh makanan
yang terkontaminasi, yang dapat berkembang biak di usus, memecah dan
menghasilkan racun atau menembus dinding usus dan menyebar ke organ lain.
Pada kasus foodborne
disease, mikroorganisme masuk bersama makanan dan kemudian dicerna dan
diserap oleh tubuh manusia. Kasus foodborne
disease dapat terjadi dari tingkat yang tidak parah sampai tingkat
kematian.
Foodborne
Disease akibat
Kapang
Kapang adalah jamur berfilamen yang tumbuh dengan
membentuk massa yang kusut, dan massa tersebut menyebar dengan cepat hingga
mencapai beberapa inch dalam waktu dua sampai tiga hari. Jumlah massa ini
disebut sebagai miselium. Miselium terdiri dari cabang-cabang atau filamen yang
disebut hifa.5 Kapang dapat menyebabkan pembusukan pada makanan,
yang menyebabkan hilangnya flavor pada makanan, dan dapat menyebabkan alergi
dan infeksi saat mengkonsumsi makanan tersebut.
Kapang berkaitan dengan foodborne disease karena kemampuannya dalam memproduksi toksik
metabolik, yang dikenal sebagai mikotosin.
Mikotoksin merupakan racun yang dikeluarkan oleh kapang dan bersifat
mengganggu kesehatan. Fox dan Cameron (1989) dalam Maryam (2002)
menyebutkan bahwa mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
spesies kapang tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan.
Konsumsi produk pangan yang terkontaminasi mikotoksin dapat menyebabkan
terjadinya mikotoksikosis, yaitu gangguan kesehatan pada manusia dan hewan dengan
berbagai bentuk perubahan klinis dan patologis, misalnya terjadi gangguan
gastroenteritis, penyakit kanker hati, degenerasi hati, demam, pembengkakan otak, ginjal, dan gangguan syaraf.
Pada umumnya, mikotoksin bersifat kumulatif sehingga
efeknya tidak dapat dirasakan secara cepat, melainkan harus melalui analisis
laboratorium untuk mendeteksinya. Indikasi adanya cemaran mikotoksin dapat
diketahui dengan melihat adanya infestasi dari kapang. Salah satu mikotoksin
yang dapat membahayakan saat dikonsumsi adalah patulin. Sebagian besar patulin
diproduksi oleh Penicillium expansum.
Penicillium
Penicillium
merupakan genus yang besar. Walaupun 150 spesies pada taksonomi telah diketahui
secara lengkap, studi terbaru mengindikasikan bahwa jumlah ini konservatif.
Paling tidak ada 50 spesies yang sering muncul. Semua spesies umumnya tumbuh
dan bersporulasi dengan baik pada media sintetik dan semisintetik, yang
biasanya dapat dikenali pada tingkatan genus.
Penicillium
diklasifikasikan terutama berdasarkan morfologi mikroskopiknya. Genus dibagi
menjadi subgenus berdasarkan jumlah dan susunan phialides (elemen yang memproduksi konidia), serta metulae dan rami (elemen yang mendukung phialides)
pada sel batang utama. Spesies mayoritas dari toksigenik pada kerusakan makanan
ditemukan pada subgenus Penicillium.
Identifikasi Penicillium
dengan mengisolasi tingkat spesies tidak mudah dilakukan. Identifikasi ini biasanya
dilakukan pada kondisi media, waktu inkubasi, dan suhu yang terstandardisasi. Morfologi
mikroskopik, termasuk diameter koloni, warna konidia, dan pigmen koloni, dapat digunakan
untuk membedakan spesies.
Jangkauan mikotoksin yang diproduksi oleh Penicillium lebih luas dari genus kapang
yang lain. Penicillium menghasilkan bermacam-macam
jenis toksisitas. Sebagian besar toksin dapat dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu toksin yang dapat mempengaruhi fungsi hati dan ginjal, dan toksin
yang merupakan neurotoksin. Pada istilah umum, toksin Penicillium yang mempengaruhi fungsi hati atau ginjal bersifat
tanpa gejala atau menyebabkan kelemahan pada manusia dan hewan. Sebaliknya,
toksisitas dari neurotoksin pada hewan umumnya memperlihatkan gejala berupa
gemetar yang terus-menerus.6
Penicillium
dikenal
sebagai jamur biru, yang menyebabkan soft
rot pada apel, moulding pada
selai, roti, dan kue. Penicillium spp. juga merupakan gambaran kerusakan
utama pada buah apel saat disimpan.7
Penicillium
expansum sebagai
Foodborne Disease
Salah satu spesies tertua dari Penicillium, adalah P.
expansum. P. expansum telah ditetapkan sebagai penyebab utama kerusakan
buah pome selama beberapa abad yang lalu. Habitat utama dari P. expansum adalah patogen dekstruktif
pada buah pome. Namun pada faktanya, kapang ini merupakan kapang yang
berspektrum luas pada buah, termasuk buah alpukat, anggur, tomat, mangga, dan
apel.6
Penicillium expansum merupakan salah satu patogen pasca panen
yang paling penting, dimana merupakan penyebab utama pembusukan pasca
panen saat penyimpanan pada apel. Penyakit yang paling banyak
ditemukan akibat kapang ini terdapat pada apel, yaitu kapang biru. Blue mold rot ini terdapat pada
berbagai macam jenis buah, termasuk apel, pir dan ceri.Infeksi yang sering
terjadi adalah saat apel masih berada pada pohon, namun tersembunyi untuk waktu
yang lama, dan terlihat hanya setelah penyimpanan dalam waktu yang lama, dengan
kisaran suhu perkembangannya adalah -2˚C.8 Pertumbuhan P. expansum dapat berlangsung pada suhu
sekitar -3 sampai 35˚C, dengan suhu optimal sekitar 25˚C, dan pada aw 0.82. Spora yang dihasilkan dapat menginfeksi
apel pada suhu 0 ºC dan bergerminasi pada suhu penyimpanan 0 ºC.6
Penicillium
expansum memiliki frekuensi
yang lebih tinggi dibandingkan penicillium
lainnya pada apel, memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, dan menyebabkan lesi
yang lebar. P. expansum merupakan
produsen patulin utama dalam apel dan produk apel. Beberapa buah, termasuk apel
biasanya disimpan setelah panen. Selama penyimpanan dingin tersebut, buah
mengalami kehilangan secara ekonomis yang disebabkan oleh beberapa kebusukan
akibat kebusukan dari jamur.
Penicillium
expansum merupakan penyebab kebusukan pada apel yang paling umum.
Apel yang busuk oleh P. expansum
dapat mengkontaminasi sari buah apel dan produk apel lainnya. P. expansum diketahui dapat memproduksi
mikotoksin patulin {4-hidroksi-4Hfuro[3,2-C]-piran-2(6H)-satu}. Patulin
merupakan mikotoksin yang mempunyai efek karsinogen yang membahayakan bagi
kesehatan manusia. Adanya patulin
pada
buah atau jus apel dapat dijadikan sebagai indikator rendahnya kualitas
buah tersebut.9
Mikotoksin
yang Dihasilkan oleh Penicillium expansum
1.
Patulin
Kapang biru merupakan soft rot yang
disebabkan oleh beberapa Penicillium, termasuk
P. expansum yang mengakibatkan kebusukan pasca panen. Penicillium expansum tidak
hanya menyebabkan pembusukan pada buah, tetapi juga dapat memproduksi
karsinogenik mikotoksin patulin, sebuah mutagenik, imunotoksik, dan
mikotoksin neurotoksik.10 Bagian
yang busuk tersebut lunak, berair, dan berwarna coklat bercahaya. Permukaan
pada lesi yang sudah lama tertutup oleh spora, berwarna hijau kebiruan dan
memasuki warna putih salju. Lesi tersebut terdiri dari bermacam-macam corak coklat, memiliki karakteristik bau yang
apek, dan susunan dari tumpukan conidial atau coremia pada
permukaannya akan berkembang menjadi lesi. Di bawah kondisi penyimpanan dingin,
lesi kapang biru yang disebabkan oleh Penicillium expansum dapat
berkembang sekitar 3 cm pada diameter 8, sampai 10 minggu setelah infeksi.11
Pada sebuah penelitian, semua isolat P. expansum
yang diteliti terbukti memproduksi patulin dalam jumlah yang cukup besar.
Patulin tersebut bersifat stabil pada produk apel. Hasil penelitian tersebut
mengindikasikan bahwa produk yang terbuat dari apel yang busuk karena P. expansum akan mengandung patulin yang
dapat membahayakan kesehatan.12 Penelitian pada jamur atau hewan
menunjukkkan bahwa patulin memiliki broad
spectrum toksisitas, meliputi mutagenisitas, teratogenisitas, dan
karsinogenisitas. Pada manusia dapat menyebabkan mual, muntah, dan gangguan
gastrointestinal. Di United States, the Office of Environmental Health Hazard
Assessment menyatakan bahwa patulin berpotensi sebagai karsinogen.
Patulin {4-hydroxy-4H-furo{3,2c}pyran- 2(6H)-satu}
merupakan racun metabolit yang diproduksi oleh sejumlah kapang (Penicillium,
Aspergillus, dan Byssochlamys) yang biasa terdapat pada buah
dan produk olahannya, terutama apel, dan juga ditemukan pada tomat, pisang,
nenas, peach, aprikot, dan plum. Patulin merupakan sebuah mikotoksin
yang tahan panas, stabil pada asam, dan labil pada basa, yang dihasilkan oleh
sekitar 60 spesies dari 30 genus jamur. Kapang penghasil patulin
yang utama adalah Penicillium expansum. Infeksi P. expansum terutama
disebabkan luka akibat serangga dan pengangkutan yang menyebabkan
masuknya kapang melalui sistem vaskuler dan lentisel.
Patulin yang diproduksi oleh P.
expansum merupakan genotoksik potensial yang dapat menginduksi
kerusakan oksidatif sel DNA manusia, dimana berperan dalam mutagenesis dan
inisiasi kanker.13 Kerusakan dan kematangan pada buah menunjukkan
tingginya kerentanan akibat kapang ini. Produksi
patulin umumnya terjadi pada buah yang mengalami kerusakan dan produk yang
membutuhkan perhatian keamanan, seperti pada jus apel, khususnya pada apel
dengan kualitas rendah (busuk) atau sudah jatuh yang digunakan untuk membuat
jus atau sari buah. Sebaliknya, keamanan patulin tidak terlalu diperhatikan
pada apel segar, karena bagian dari apel yang busuk dapat dihilangkan sebelum
dikonsumsi.14
Pertumbuhan P. expansum lebih tinggi pada buah pir dibandingkan dengan buah apel. Namun,
akumulasi patulin cenderung lebih tinggi pada buah apel. Selain pH, akumulasi patulin pada buah apel juga dipengaruhi oleh
faktor lain, seperti kandungan asam organik dan tingkat kematangan buah
yang berperan penting pada akumulasi patulin. Pengendalian atmosfer tidak berpengaruh pada pertumbuhan P. expansum, namun berpengaruh kuat pada
produksi patulinnya. Patulin yang
terkonsentrasi pada jaringan buah yang busuk dapat dijadikan indikator yang
baik untuk menilai kualitas buah yang rendah.15
Akibat toksisitas yang dihasilkannya, patulin dapat
dijadikan sebagai indikator kualitas makanan. Menurut The Codex Alimentarius Commission, konsentrasi maksimum yang
diterima untuk patulin pada jus apel adalah 50 μg.L-1. Sedangkan pada European Union, tingkat maksimum untuk
konsumsi produk apel pada bayi dan anak-anak adalah 10 μg.kg-1. Beberapa
apel setelah panen yang tidak cocok dijual dalam keadaan fresh karena kualitasnya yang rendah, biasanya digunakan untuk
memproduksi jus apel. Beberapa industri jus biasanya melindungi apel dengan
menyimpannya pada deck yang terbuka
sebelum waktu produksi. Pada produksi produk apel, akumulasi patulin terjadi
sebelum proses industri dimulai.16
Codex Committee on Food Additives and Contaminants
(CCFAC) kini tengah mengembangkan peraturan baru mengenai kandungan mikotoksin
(terutama patulin) pada apel, jus apel, dan produk yang mengandung apel. WHO
merekomendasikan level patulin maksimal dalam jus apel 50 μg/l. Beberapa negara
bahkan menetapkan standar yang lebih ketat, yaitu 25–35 μg/l. Selain itu,
Joint Food and Agricultural Organization-WHO Expert Committee menetapkan
maksimal daily intake patulin sebesar 0,40 μg/kg berat badan (WHO 1995).
Di Indonesia, BSN (2009) menetapkan batas maksimal kandungan patulin 50 μg/kg
(50 ppb) untuk sari buah apel, buah apel dalam kaleng, dan minuman beralkohol
berbasis apel. Untuk puree apel, kandungan patulin ditetapkan maksimal
25 ppb, dan MP-ASI berbasis apel 10 ppb. Penetapan nilai patulin pada SNI
tersebut masih bersifat adoptif dari standar negara lain yang dianggap lebih
longgar, sedangkan kondisi tingkat kontaminasi yang sesungguhnya belum dapat
dipastikan.3
Pada berbagai penelitian, diketahui bahwa produk apel,
khususnya jus apel, dapat dengan mudah ditemukan kontaminasi dari patulin
secara alami. Oleh karena itu, tingkat patulin digunakan sebagai indikator
kualitas yang diperhatikan untuk buah apel yang diproses, khususnya jus apel. Patulin
tetap stabil pada media asam, pada suhu 125˚C, dengan pH antara 3,5 dan 5,5,
sehingga tidak memungkinkan untuk mendapatkan produk dalam keadaan bebas
toksin. Pada proses industri apel menggunakan vacuum distillation concentration dan High Temperature Short Time (HTST) dengan pasteurisasi 90˚C 10
detik. Kandungan patulin menurun sedikit saat jus apel dikemas dan disimpan.
Patulin juga tidak terlihat dalam tiga minggu dengan penambahan asam asorbat
pada jus apel yang telah terkontaminasi patulin, namun dapat ditandai adanya
beberapa toksin yang tidak teridentifikasi, hasil dari reaksi ini. Namun, jus
apel yang difermentasi, seperti apel cider rendah kontaminasi akibat degradasi
patulin oleh khamir (Saccharomyces spp.) menuju non volatil primer,
substansi larut air.17
Patulin yang diproduksi oleh Penicillium expansum pada jus apel diketahui dapat merusak pomme buah, dan dapat menyebabkan oedema
dan perdarahan, serta kemungkinan sebagai karsinogenik. Mikotoksin patulin
diproduksi oleh beberapa spesies Penicillium yang sering dikaitkan dengan apel yang berkapang. Hal ini juga dapat
terjadi pada jus apel yang terbuat dari buah yang berkapang.
Patulin dapat diproduksi pada rentang suhu 0 sampai 25˚C,
dengan suhu optimum pada 25˚C, tapi tidak dapat tumbuh pada suhu 31˚C. aw minimal
untuk memproduksi patulin adalah 0.95 pada suhu 25˚C. Patulin cukup stabil pada
jus apel selama penyimpanan. Pasteurisasi pada suhu 90˚C selama 10 detik dapat
mereduksi kadar patulin hingga 20%.6
2. Citrinin
Ketika
terjadi pembusukan buah, proses pengolahan pada jus apel dapat mengandung
metabolik toksik yang tidak hanya patulin, tetapi juga citrinin. Ginjal dapat
menjadi bagian utama dari serangan citrinin, yang juga berpengaruh pada
metabolisme hati.
Citrinin
merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh berbagai spesies Penicilllium dan Aspergillus.
Mikotoksin yang umum ditemukan pada pembusukan apel merupakan akibat adanya
kapang Penicillim expansum. Infeksi dapat masuk melalui luka,
lentisel, atau calyx yang terbuka,
dan kadang dapat melalui spora di udara, atau kontak dengan tanah yang telah
terkontaminasi pada saat penyimpanan di kontainer, atau melaui sistim udara.
The
International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan citrinin
menjadi 3 kelompok karena terbatasnya fakta karsinogenisitas untuk hewan dan belum
ada data untuk manusia. Namun,
adanya citrinin dan metabolit toksik lainnya pada makanan, tanpa mempedulikan
konsentrasinya, dapat berpotensi membahayakan pada kesehatan manusia.7
Pengendalian Penicillium expansum
P.
expansum merupakan parasit yang paling merusak dan menyebabkan
penyakit pasca panen pada apel. Spesies ini dapat tahan terhadap fungisida dan peraturan
pemerintah pun membatasi penggunaan fungisida. Apel yang terinfeksi P. expansum mempunyai kadar patulin (substansi
karsinogenik yang potensial bagi manusia) yang tinggi. Culling dan pemilihan apel yang terinfeksi secara manual merupakan praktik
standar untuk mengurangi kontaminasi patulin yang dihasilkan oleh P. expansum pada apel.18
Penggunaan zat kimia, seperti fungisisda merupakan metode
primer dalam pengendalian kebusukan paskapanen akibat jamur yang ada pada buah
apel. Namun, beberapa fungisida tidak dapat digunakan untuk perlakuan pasca
panen karena kemungkinan risiko toksikologi yang diakibatkan. Metode alternatif
yang dapat digunakan adalah dengan melibatkan khamir dan bakteri yang
dilaporkan dapat menghambat kebusukan buah pasca panen secara efektif.19
Bentuk proses tradisional,
seperti mencampur dengan cuka atau air garam, dan fermentasi tergantung pada
kondisi asam dapat dilakukan untuk menjamin keamanan dan perlindungan kualitas
produk makanan. Pada pH yang rendah, patogen tidak akan tumbuh, dan akan mati
selama penyimpanan. Prosedur, seperti pengeringan, akan menghilangkan patogen
karena mereka tidak akan tumbuh pada produk yang dikeringkan. Pengeringan
dengan matahari juga dapat dilakukan, namun masuknya patogen dapat melewati
kontaminasi dari burung, atau roden.20 Untuk
mengendalikan jamur, seperti P. expansum, yang dapat memproduksi mikotosin, fungisida tidak dapat digunakan untuk
pengendalian berkaitan dengan isu keamanan pangan.
Biosida dan sanitizer memiliki jangkauan aktivitas biologi yang lebih luas
karena ketika diterapkan pada kondisi yang sesuai, mereka dapat membunuh hampir
semua organisme jamur, bakteri, dan protozoa. Kebanyakan sanitizer juga bisa disebut
biosida, tetapi istilah "sanitizer"
umumnya diterapkan pada produk yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme
pada permukaan yang keras, sedangkan "biosida" digunakan untuk produk
dengan memasukkannya ke dalam larutan air. Baik
sanitizer ataupu biosida akan
membunuh mikroba pada bahan organik yang membusuk (misalnya, apel busuk) atau
pada lapisan film organik yang dapat
bertahan pada permukaan keras. Jadi,
sanitizer hanya efektif jika
diterapkan pada permukaan yang telah dibersihkan menggunakan deterjen atau
pembersih lainnya untuk menghilangkan kotoran dan lapisan film yang dapat melindungi mikroba yang tidak diinginkan.
Sanitizer dan
biosida membunuh mikroba dengan cara merusak membran selnya. Bakteri dan
mikroba lain yang dapat menyebabkan foodborne
illness lebih mudah dibunuh dibansingkan dengan spora dari P.
expansum, sehingga biosida yang mengendalikan bakteri patogen
tidak selalu mengurangi spora dari jamur.
Untuk mengendalikan aktivitas fungisida, dapat digunakan
pengelolaan saat pengepakan dengan cara memvariasikan fungisida yang digunakan
dari tahun ke tahun berikutnya. Ketika kombinasi Mertect/Captan tidak dapat
efektif dalam waktu lama, Penbotec harus digunakan dalam satu tahun kemudian
diikuti oleh Scholar pada tahun berikutnya. Ketika kombinasi Mertect/Captan
yang masih efektif, perputaran selama tiga tahun yang melibatkan Penbotec,
Scholar, atau Mertect dapat digunakan. Karena sebagian besar siklus inokulum P. expansum dari tahun ke tahun
berikutnya berada dalam peti penyimpanan, perputaran fungisida dapat menjamin
peti penyimpanan secara langsung tidak terkena fungisida yang sama lebih dari
dua atau tiga kali berturut-turut.
Mertect, Penbotec, atau Scholar dalam air tidak dapat
membunuh semua spora pada peti penyimpanan yang kotor karena fungisida lebih
efektif untuk mencegah infeksi pada buah yang terluka dibandingkan membunuh
spora aktif pada permukaan peti penyimpanan. Namun, variasi fungisida yang
diterapkan dari tahun ke tahun ini dapat menurunkan populasi P. expansum yang hidup pada permukaan
peti penyimpanan dengan membuatnya resisten terhadap fungisida pasca panen.
Captan jarang menyediakan lebih dari 50% pengendalian untuk kapang biru.
Sehingga kapang tidak terlalu efektik digunakan sebagai fungisida pasca panen.
Buah yang terluka karena terkena spora P.
expansum yang kemudian dicelupkan pada Captan dapat memberikan keuntungan
untuk pengendalian penyakit pasca panen dengan membunuh akumulasi spora saat
sirkulasi ulang dengan pencelupan.
Meskipun tersedia fungisida baru yang efektif, operator
pengepakan tidak boleh mengabaikan pentingnya menggunakan sanitizer dan biosida. Sanitizer
harus digunakan untuk pembersihan/sanitasi tahunan pada ruang penyimpanan dan
secara periodik membersihkan permukaan yang keras pada pengepakan apel. Biosida
harus dimasukkan pada semua jalur pengepakan, pada pembuangan dan saluran air,
untuk mencegah akumulasi dari P. expansum
dan patogen lainnya.
Berbagai jenis biosida dan sanitizer tersedia untuk diaplikasikan pada ruang pengepakan dan
penyimpanan. Namun, sanitasi yang paling efektif dan paling mudah digunakan
pada permukaan yang keras melibatkan beberapa jenis senyawa amonium kuarter,
dan sanitizer yang paling ekonomis
dan paling mudah digunakan adalah natrium hipoklorit (bahan aktif pada
klorinasi air). Biosida lain yang dapat digunakan pada saluran air adalah
peroksida (misalnya Stor-Ox), ozon, dan khlorin dioksida. Ozon dan khlorin
dioksida berbentuk gas, dan harus disuntikkan pada saluran air, yang
membutuhkan peralatan yang lebih mahal dan monitor keamanan dibutuhkan ketika
menggunakan sodium hipoklorit. Efektivitas sanitasi dan biosida dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi produk, suhu dari larutan atau
permukaan yang akan diberi perlakuan, waktu paparan, dan penambahan bahan
organik.21
KESIMPULAN
Makanan sebagai kebutuhan pokok bagi manusia, tidak lepas
dari potensi sebagai agen perantara penyakit. Penyakit karena bawaan dari
makanan disebut dengan foodborne disease.
Foodborne disease dapat disebabkan
oleh berbagai macam mikroorganisme yang mengkontaminasi makanan. Kapang
termasuk jenis mikroorganisme yang dapat mencemari makanan sehingga dapat
menyebabkan penyakit. Penicillium
expansum merupakan salah satu spesies kapang yang dapat menghasilkan
mikotoksin, yaitu patulin, yang dapat membahayakan kesehatan jika dimakan. Penicillium expansum umumnya menginfeksi
buah apel, baik pada buah apel paskapanen maupun buah apel pada masa
penyimpanan. Buah apel yang terkontaminasi oleh Penicillium expansum berbahaya jika dimakan karena menghasilkan
patulin yang bersifat stabil, dan jika terakumulasi pada buah, mikotoksin ini
sulit hilang sehingga dapat berdampak pada kesehatan tubuh di antaranya
mengganggu sistem imun dan berpotensi sebagai karsinogen. Salah satu cara
penanganan untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh Penicillium expansum adalah dengan menggunakan biosida, misalnya
natrium hipoklorit pada masa paskapanen.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan.
2.
Vassalos, K. M.,
Charisis, N.S. Tanpa Tahun. An
Introduction to Foodborne Disease & HACCP Systems. Mediterranean
Zoonoses Control Centre/World Health Organization. Athens, Greece.
3.
Miskiyah., Winarti, C., Broto, W. 2010. Kontaminasi Mikotoksin pada Buah Segar dan
Produk Olahannya Serta Penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian. 29(3) :
79-85.
4.
Dilbaghi, N., Sharma, S. 2007. Food Spoilage, Food Infections and
Intoxications Caused by Microorganisms and Methods for Their Detection.
Food and Industrial Microbiology.
5.
Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology Sixth Edition. AN Aspen Publication.
Gaithersburg, Maryland.
6.
Doyle, M. P. et al. 2001. Food Microbiology: Fundamentals and
Frontiers, 2nd Ed. ASM Press. Washington, D.C.
7.
Pepeljnjak, S., Segvic, M., Ozegovic, L.
2002. Citrininotoxinogenicity of Penicillium spp. Isolated from Decaying
Apples. Brazilian Journal Microbiology. 33 : 134-137.
8.
Santoso, B. B. Tanpa Tahun. Penyakit Pasca Panen Produk Hortikultura.
9.
Bezirtzoglou, E. 2000. Non-Bacterial Agents of Foodborne Illness. Departement of
Microbiology. University of Ioannina. Greece.
10. Pianzzola,
M. J., Moscatelli, M., Vero, S. 2004. Characterization
of Penicillium Isolates Associated
with Blue Mold on Apple in Uruguay. Plant Dis. 88 : 23-28.
11. Mansilla,
R. T. 2008. Lactic Acid Bacteria as Bioprotective Agents Against Foodborne
Pathogens and Spoilage Microorganisms in Fresh Fruits and Vegetables.
Departement of Biotechnology. University de Girona. Girona.
12. Wilson,
D. M., Nuovo, G. J. 1973. Patulin
Production in Apples Decayed by Penicillium expansum. Applied and
Environtmental Microbiology. 26(1) : 124.
13. Laidou,
I. A., Thanassoulpopoulos, C. C., Liakopoulo-Kyriakides, M. 2001. Diffusion of Patulin in The Flesh Pears
Inoculated with Four Postharvest Pathogens. J. Phytopathol. 149 : 457-461.
14. Malakauskas,
M., Jorgensen, K., Nielsen, E.M., Ojeniyi, B., Olsen, J.E. 2005. Isolation of Campylobacter spp. from a Pig Slaughterhouse and Analysis
of Cross-Contamination. International Journal of Food Microbiology. 108 :
295-300.
15. NSW
Food Authority. 2009. Food Safety Risk
Assessment of NSW Food Safety Schemes.
16. Welke,
J. E., Hoeltz, M., Dottori, H. A. Noll, I. B. 2011. Patulin Accumulation in Apples During Storage by Penicillium
expansum and Penicillium griseofulvum
Strains. Brazilian Journal of
Microbiology. 42 : 172-180.
17. Lai,
C., Fuh, Y., Shih, D. Y. 2000. Detection
of Mycotoxin Patulin in Apple Juice. Journal of Food and Drug Analysis.
8(2) : 85-96.
18. Okull,
D.O., Demirci, A., Rosenberger, D., LaBorde, L.F. 2006. Susceptibility of Penicillium expansum Spores to Sodium Hypochlorite, Electrolyzed Oxidizing Water, and
Chlorine Dioxide Solutions Modified with Nonionic Surfactans. Journal of
Food Protection. 69(8) : 1944-1948.
19. Calvo,
J., Calvente, V., Orellano, M. E., Benuzzi, D., Tosetti, M. I. S. 2007. Biological Control of Postharvest Spoilage
Caused by Penicillium expansum and Botrytis
cinerea in Apple by Using The Bacterium Rahnella
aquatilis. International Journal of Food Microbiology. 113 : 251-257.
20. Adams,
M., Moterjemi, Y. 1999. Basic Food Safety
for Health Workers. World Health Organization.
21. Rosenberger,
D. A. 2009. Fungicides, Biocides, and
Sanitizers for Managing Postharvest Pathogens in Apples. New York Fruit
Quarterly. 17(3) : 3-8.
22. Deacon,
J. W. 1997. Apple Rot and Other Fruit-Rot
Fungi. Modern Mycology. Blackwell Science.
LAMPIRAN
Gambar
di atas adalah apel Golden, yang 6 hari setelah terluka atau terinfeksi oleh Penicillium expansum dan diinokulasi.
Kelembekan menyebar secara progresif, karena jamur menginvasi pada jaringan
apel dan membunuhnya dengan cara melepaskan enzim. Enzim yang berperan dalam
menginvasi adalah enzim pepsin (peptic) –enzim ini merombak komponen gel peptin
yang melapisi sel-sel apel. Enzim ini terdiri dari beberapa bentuk, namun yang
utama adalah enzim poligalakturonase (PG), yang dapat memotong rantai panjang
peptin menjadi unit-unit asam galakturonat yang lebih kecil.
Gambar
di atas merupakan apel saat dipotong vertikal. Kelembekan yang disebabkan oleh Penicillium, halus dan berair. Pada
gambar sebelah kanan, bagian yang mengalami kelembekan secara jelas terpisah
dari bagian yang tidak mengalami kelembekan –kita dapat memisahkan bagian yang
mengalami kelembekan dengan cara menekannya menggunakan jari. Hal ini
disebabkan oleh aktivitas enzim poligalakturonase. Enzim dari Penicillium secara menyeluruh mendegradasi
pektin. Penicillium expansum
merupakan patogen pasca panen yang dapat menginfeksi melalui luka yang terjadi
selama proses penanganan dan pengemasan buah.22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar