TUGAS
MIKROBIOLOGI PANGAN
TAENIASIS
SOLIUM DAN PENYAKIT YANG DISEBABKANYA
KELOMPOK 10:
Etika
Hasna Dina P 22030110120036
Argan
Caesar Budiatmaja 22030110120037
Zenita
Novarinda 22030110120038
PROGRAM
STUDI ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Foodborne disease adalah
penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman
yang tercemar. Foodborne
disease disebabkan
oleh berbagai macam mikroorganisme atau mikroba patogen yang
mengkontaminasi makanan. Selain itu, zat kimia beracun, atau zat
berbahaya lain dapat menyebabkan foodborne disease jika zat-zat
tersebut terdapat dalam makanan. Makanan yang berasal baik dari hewan
maupun tumbuhan dapat berperan sebagai mediapembawa mikroorganisme
penyebab penyakit pada manusia.
Penyakit ini sangat erat
kaitannya dengan kehidupan manusia. Dalam kehidupannya manusia
membutuhkan makanan untuk hidup. Jika tidak memperhatikan kebersihan
makanan dan lingkungan, makanan dapat merugikan bagi manusia. Makanan
yang berasal baik dari hewan atau tumbuhan dapat berperan sebagai
media pembawa mikroorganisma penyebab penyakit pada manusia.
Mikroorganisma yang menimbulkan penyakit ini dapat berasal dari
makanan asal hewan yang terinfeksi penyakit tersebut atau tanaman
yang terkontaminasi. Makanan yang terkontaminasi selama prosesing
atau pengolahan dapat berperan sebagai media penularan juga.
Penularan foodborne disease
oleh makanan dapat bersifat infeksi. Artinya suatu penyakit yang
disebabkan oleh adanya mikroorganisma yang hidup, biasanya
berkembangbiak pada tempat terjadinya peradangan. Pada kasus
foodborne disease mikro organisma masuk bersama makanan yang kemudian
dicerna dan diserap oleh tubuh manusia. Kasus foodborne desease dapat
terjadi dari tingkat yang tidak parah sampai tingkat kematian.
Penyakit foodborne disease
dapat disebabkan oleh parasit cacing, salah satunya yaitu cacing
Taenia solium. Cacing ini hidup dan berkembang biak didalam tubuh
babi. Infeksi dapat terjadi jika orang makan daging babi mentah atau
yang dimasak setengah matang. Cacing ini dalam bentuk cysticerci
dapat menyerang organ mata, jantung, otak , sumsum tulang belakang
selain saluran pencernaan pada babi dan manusia.Cacing ini hidup dan
berkembang biak didalam tubuh babi. Infeksi dapat terjadi jika orang
makan daging babi mentah atau yang dimasak setengah matang. Cacing
ini dalam bentuk cysticerci dapat menyerang organ mata, jantung, otak
, sumsum tulang belakang selain saluran pencernaan pada babi dan
manusia.
- RUMUSAN MASALAH
- Apa itu foodborne disease?
- Bagaimana morfologi dan daur hidup cacing Taenia solium?
- Penyakit apa saja yang disebabkan Taenia solium?
- Bagaimana penanggulanganya?
- TUJUAN PENULISAN
- Mengetahui pengertian foodborne disease.
- Mengetahui morfologi dan daur hidup cacing Taenia solium.
- Mengetahui penyakit apa saja yang disebabkan Taenia solium.
- Mengetahui penanggulangan penyakit yang disebabkan Taenia solium.
BAB
II
ISI
- TAENIA SOLIUM
- Klasifikasi dan morfologi
Taenia
solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit didalam
usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi, Taenia solium
termasuk dalam kelas Eucestoda, ordo Taenidae, family Taenidae, genus
Taenia. Taenia solium tergolong satu jenis dengan Taenia saginata dan
Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis.1
Cacing dewasa kemungkinan berukuran panjang 3-5 meter, namun juga ada
yang panjangnya mencapai 8 meter. Bagian kepala (skoleks) Taenia
solium memiliki rostelum dengan dua baris kait. Proglotid gavid
panjangnya 10-12mm dan lebarnya 5-6mm serta memiliki uterus dengan
jumlah cabang 7-16.2
Setiap proglotida gravid berisi kira-kira 30.000-50.000 telur. Setiap
telur memiliki diameter 26-34μm dan berisi embrio (onkosfer) yang
memiliki 6 kait (embrio hexacanth). 2
Cacing
Taenia solium mendapat nutrisi dengan cara menyerap nutrisi yang adad
di usus halus. Bagian tubuh cacing ini yang digunakan untuk mengambil
nutrisi inang adalah tegumen. Tubuh
cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan
strobila. Skoleks merupakan organ tubuh cestoda yang berfungsi untuk
melekat pada dinding usus. Skoleks merupakan anggota tubuh yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia.
Morfologi skoleks Taenia
solium terdiri
atas sebuah rostelum dan empat buah batil hisap (sucker).
Rostelum dan sucker
tersebut
dikelilingi oleh sebaris kait panjang (180 μm) dan kait pendek (130
μm) di mana setiap barisnya tersusun atas 22-32 kait .
Stobila
merupakan bagian tubuh berupa serangkaian proglotida yang berada di
belakang leher. Strobila Taenia
solium tersusun
atas 800 sampai 1000 segmen (proglotida).
Cacing
ini tergolong sebagai hemaprodit yaitu individu yang berkelamin ganda
(jantan dan betina). Kedua organ kelamin tersebut berada pada setiap
segmennya. Organ kelamin jantan dari cacing ini terdiri dari testis,
vas efferens, dan kantong cirrus. Organ kelamin betina dari cacing
ini terdiri dari ovarium, 6 tuba fallopii, uterus, saluran vitelin,
kelenjar mehlis dan vitelin, seminal
receptacle,
serta vagina. Pada proglotida muda, organ kelamin belum tampak dengan
jelas karena belum berkembang dengan sempurna. Kedua organ kelamin
ini akan tampak dan berkembang pada proglotida dewasa dan akan hilang
saat menjadi proglotida gravid. Zat-zat sisa metabolisme dari Taenia
solium dewasa
dan metacestodanya disebut dengan eskretori/sekretori (E/S). E/S
tersebut terdiri dari glukosa, protein terlarut, asam laktat, urea,
dan amoniak. Organ ekskresi yang berfungsi untuk membuang E/S keluar
tubuh cacing ini terdiri dari collecting
canal dan
flame cell.
Mekanisme pengeluaran E/S dari dalam tubuh cacing ini diawali dengan
menampung E/S terlebih dahulu di dalam collecting
canal. Organ
ini terletak pada dorsal tubuh dan ventral tubuh. Saat collecting
canal telah
penuh berisi E/S, metabolit tersebut selanjutnya disalurkan keluar
tubuh oleh flame
cell. Taenia
solium di
dalam inang antaranya berupa metacestoda yang disebut Cysticercus
cellulosae.
Cysticercus
cellulosae dikenal
pula dengan istilah pork
measles, beberasan
(Bali), Manis-manisan (Tapanuli), Banasom (Toraja). Sistiserkus ini
memiliki ciri morfologi yaitu berupa gelembung ellipsoid yang
berukuran 6-10 x 5-10 mm. Stuktur tubuh Cysticercus
cellulosae terdiri
dari kulit luar, cairan antara, dan lapisan kecambah. Kulit luar yang
melapisi sistiserkus ini berupa lapisan kutikula, sedangkan cairan
antara berupa plasma darah dari inangnya. Lapisan kecambah berupa
skoleks yang dilengkapi dua baris kait.3.
- Daur Hidup Taenia Solium
Perjalanan
siklus hidup Taenia
solium memerlukan
dua vertebrata sebagai induk semangnya. Kedua induk semang tersebut
berperan sebagai inang antara dan inang definitif. Babi merupakan
inang antara dari Taenia
solium dan
manusia bertindak sebagai inang definitifnya. Namun, anjing dan
manusia dapat menjadi inang antara dari cacing ini akibat autoinfeksi
dan kontaminasi lingkungan
.
Taenia
solium yang berparasit di bagian proximal jejunum dapat bertahan
hidup selama 25-30 tahun dalam usu halus manusia. 2
Siklus
hidup Taenia
solium berawal
dari tertelannya telur infektif cacing ini oleh inang antaranya.
Telur tersebut selanjutnya akan pecah di dalam lambung inang
antaranya akibat bereaksi dengan asam lambung. Onkosfer yang telah
menetas selanjutnya melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan
ikut mengalir bersama darah ke seluruh organ. Onkosfer tersebut akan
berkembang menjadi sistiserkus setelah mencapai otot, jaringan
subkutan, otak, hati, jantung, dan mata .4
Siklus
hidup Taenia
solium akan
berlanjut jika manusia sebagai inang definitifnya memakan daging babi
yang mengandung sistiserkus tanpa proses pemasakan sempurna yaitu
pemanasan lebih dari 60 °C. Sistiserkus selanjutnya mengadakan
invaginasi pada dinding usus halus manusia dan berkembang menjadi
cacing dewasa. Cacing dewasa ini mulai melepaskan proglotida
gravidnya dua bulan setelah infeksi.. Telur infektif yang terkandung
dalam penderita taeniasis inilah yang menjadi pencemar lingkungan
4.
Cacing
pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam feses penderita
taeniasis anatara 8-12minggu setelah orang tersebut terinfeksi.
Sewaktu-waktu, proglotida gravid yang berisi telur akan dilepaskan
dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok-kelompok yang
terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Proglotida tersebut akan keluar
melalui feses penderita. Telur dapat pula keluardari proglotida pada
waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh manusia, telur akan
menyebar ke tanah di lingkungan sekitar dan telur tersebut mampu
bertahan hidup selama 5-9 bulan. 5
Infeksi
akan terjadi apabila telur Taenia solium yang berembrio tertelan babi
yang meruapakan induk semang antara Taenia solium. Didalam lumen usus
halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfir).
Selanjutnya onkosfir akan menembus dinding usus, masuk ke dalam
pembuluh limfe atau ke aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh
dan akan masuk ke organ-organ (predileksi) seperti otot jantung, otot
lidah, otot daerah pipi, otot antar tulah rusuk, otot paha,
paru-paru, hati, dan ginjal. Kista akan mulai terbentuk pada organ
predileksi anatar 6-12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian
terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan nama
Cysticercus
Cellulosae.
Apabila dagin babi yang telah terinfeksi Taenia solium ini dikonsumsi
oleh manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga
calon skoleks (protoskoleks) akan menonjol keluar. 2
Cysticercus
Cellulosae juga
dapat terjadi pada manusia yaitu di jaringan subkutan, mata, jantung
dan otak yang dapat disebabkan tertelannya makanan atau minuman yang
terkontaminasi telur Taenia solium. Sumber kontaminasi Taenia solium
dapat berupa feses orang yang terinfeksi Taenia solium dan tangan
kotor penderita taeniasis.
- PENYAKIT YANG DITIMBULKAN OLEH TAENIA SOLIUM PADA MANUSIA
Sistiserkosis
dan taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Taenia
solium.
Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infiltrasi
Cysticercus
cellulosae pada
inang antaranya yaitu manusia dan babi. Taeniasis merupakan penyakit
yang disebabkan oleh infeksi dari Taenia
solium dewasa
pada manusia sebagai inang definitifnya. Kedua penyakit tersebut
merupakan efek yang ditimbulkan oleh perjalanan hidup Taenia
solium dan
digolongkan sebagai siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis
akibat siklus hidup agen yang memerlukan dua vertebrata sebagai
inangnya.
Gangguan
kesehatan yang ditimbulkan oleh sistiserkosis lebih fatal
dibandingkan dengan taeniasis..6
Hal ini disebabkan oleh gejala klinis yang muncul pada penderita
taeniasis lebih ringan daripada sistiserkosis. Gejala klinis
taeniasis hanya berupa mual, nyeri di daerah epigastrium, menurunnya
napsu makan, diare atau terkadang konstipasi, anemia, dan gejala yang
asimtomatik sedangkan gejala klinis dari sistiserkosis tergantung
lokasi infiltrasi sistiserkus. Gejala klinis dari infiltasi
sistiserkus di otot dan subkutan berupa kekejangan otot, benjolan,
dan kelemahan otot, sedangkan infiltrasi sistiserkus di mata berupa
gangguan pengelihatan. Sakit kepala hebat, paralisis, dan epilepsi
merupakan gejala dari infiltrasi sistiserkus di otak. Kalsifikasi
merupakan efek peradangan yang timbul akibat infiltrasi sistiserkus
yang mati. Biasanya kalsifikasi yang timbul ini tidak menimbulkan
gejala apapun selama satu tahun, selanjutnya efek buruk akan muncul
setelah lima sampai sepuluh tahun kemudian .
Memelihara
babi secara tidak dikandangkan (diumbar) merupakan tindakan yang
memudahkan transmisi telur infektif Tenia
solium dari
lingkungan menuju inang antaranya. Babi yang diumbar mempunyai
kesempatan berkontak dengan feses penderita taeniasis lebih besar
daripada babi yang dipelihara secara intensif. Cara masyarakat dalam
mengkonsumsi daging babi adalah hal yang sangat penting dalam
penyebaran zoonosis ini. Hal ini tergambar dari tingginya kasus
taeniasis di Bali akibat kebiasaan masyarakat Bali mengkonsumsi
daging babi mentah dalam setiap perayaan upacara adat
.7
- Sistisekrosis
Sistiserkosis
pada manusia disebabkan oleh adanya perkembangan cysticerci/larva
dari Taenia solium pada jaringan. Walaupun secara teori sistiserkosis
dapat dikontrol dan dinyatakan dapat dimusnahkan oleh International
Task Force for Disease Eradication pada tahun 1993, sistiserkosis
menjadi penyakit yang diabaikan. Hal ini terjadi karena kurangnya
informasi tentang penyakit tersebut dan cara penularannya, kurang
tersedianya alat untuk mendiagnosa sistiserkosis dan kurangnya
validasi dari intervensi sederhana untuk digunakan sebagai bagian
dari strategi pengendalian cacing yang terintegrasi. 8
Neurosistiserkosis
didefinisikan sebagai infeksi pada sistem syaraf pusat oleh tahap
larva dari Taenia solium, yang merupakan parasit penting dalam
tantangan dalam sistem syaraf manusia dan konstitusi kesehatan
masyarakat di negara berkembang. Jutaan orang terinfeksi
taeniasis/sistiserkosis di Amerika latin, Asia dan Afrika, dimana
penyakit tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
tingginya prevalensi epilepsi. Neurosistiserkosis merupakan penyebab
utama onset epileksi seizure pada orang dengan usia diatas 25 tahun
di negara dengan endemik infeksi Tenia solium, dan juga merupakan
penyebab penting dalam kasus seizure pada anak-anak.
Neurosistiserkosis juga dapat menyebabkan arakhnoiditis,
hydrocephalus, kebutaan, stroke, dementia dan berbagai masalah
persyarafan lain.
Diperkirakan
neurosistiserkosis menjadi penyebab kematian dari 50.000 orang
pertahunnya. Penyakit ini merupakan endemik di daerah Andes di
Amerika selatan, Brazil, Cina, subkontinen India, Indonesia, Meksiko
dan Amerika tengah, Papua nugini, Asia tenggara dan sub sahara
Afrika. neurosistiserkosis jarang terjadi di Eropa timur dan Eropa
tengah, kepulauan Karibia (kecuali Haiti), bagian paling selatan
Amerika selatan (kecuali bagian sebelah barat daya di Amerika
serikat). Neurosistiserkosis tidak lazim terjadi di Australia,
Jepang, New Zealand, dan kepulauan Pasifik, kecuali di antara imigran
dan turis. Neurosistiserkosis tidak terjadi di Israel dan beberapa
negara di Afrika utara, penduduk muslim di mediterania timur dan Asia
tengah dimana konsumsi daging babi dilarang karena alasan keagamaan.
- Transmisi/Cara Penularan
Manusia
dapat terinfeksi cysticerci, larva dari Taenia solium, dengan
mencerna telur cacing pita tersebut. Konsumsi daging babi yang belum
benar-benar matang dimasak dapat menyempurnakan siklus hidup cacing
pita tersebut. Frekuensi terjadinya penyakit sistiserkosis di negara
berkembang sudah berkurang karena standar inspeksi daging yang
semakin diperketat, peningkatan higienitas dan fasilitas sanitasi
yang lebih baik.
8
Penularan
juga bisa karena autoinfeksi interna, yaitu infeksi yang berlangsung
dengan sendirinya. Hal ini disebabkan oleh gerakan batik peristaltic
usus, misalnya pada keadaan muntah-muntah sehingga proglotid atau
telur cacing naik ke lambung lalu pecah dan isinya keluar dan
menembus dinding lambung kemudian masuk ke peredaran darah dan pada
akhirnya menjadi cysticercus
di dalam
organ-organ.6
Cysticercus
yang
berbentuk kista dapat tumbuh hampir pada semua organ clan sering
multipel. Organ yang paling sering kena adalah otot bergaris dan
otak. Ukuran diameter kista pada umumnya 5-10 milimeter. Namun kista
yang mengenai otak dan mata, diameternya bisa mericapai 20 milimeter
bahkan pernah ditemukan cysticercus
berdiameter
60 milimeter di dalam otak. Kista di dalam jaringan dapat menimbulkan
reaksi radang, penekanan pada organ sekitarnya, mengeluarkan toksin.
Sedangkan kista yang telah mati akan menimbulkan jaringan fibrotik
dan kalsifikasi. 6
- Diagnosis
Pada
prinsipnya, diagnosis sistiserkosis dapat ditegakkan berdasarkan atas
gejala klinik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala
kliniknya tergantung kista menyerang otak dan mata. Sistiserkosis
otak, gejalanya bisa beraneka ragam. Gejala awal ketika kista masih
hidup dan berkembang pada umumnya menyerupai meningitis, ensefalitis,
hidrosefalus dan gejala seperti tumor serebri. Selain itu, bisa
timbul sakit kepala, sukar tidur dan gangguan psikis. Sedangkan
gejala lanjut setelah kista mati dan mengalami kalsifikasi di korteks
serebri menyebabkan gejala epilepsi sekunder. Manifestasi klinik
sistiserkosis serebri yang berupa bangkitan epilepsy ini pada umumnya
baru muncul setelah 8—20 tahun sejak infestasi parasitnya.6
Penderita
dengan sistiserkosis otak, pada pemeriksaan fisik sering ditemukan
nodul subkutan (sistiserkosis dalam jaringan di bawah kulit).
Sistiserkosis dalam jaringan kulit dan otot biasanya hanya
menimbulkan gejala ringan bahkan kebanyakan tidak menunjukkan gejala.
Jika kista menyerang mata (sistiserkosis oftalmikus) dapat
menimbulkan gejala cukup berat, yaitu iridosiklitis, penglihatan
kabur dan yang paling berat bisa sampai buta. Pemeriksaan
laboratorium buat menegakkan diagnosis sistiserkosis terdiri atas
pemeriksaan untuk mencari parasit penyebabnya dan pemeriksaan
penunjang diagnosis. Dalam usaha mencari parasit penyebabnya, paling
rnudah dengan melakukan biopsi nodul subkutan yaitu kista dalam
jaringan di bawah kulit. Sedangkan sebagai penunjang diagnosis dapat
dikerjakan pemeriksaan foto rontgen, funduskopi, pemeriksaan hapus
darah dan uji serologik. 6
Diagnosis dapat dipastikan
jika ditemukan parasit penyebabnya, yakni kista cysticercus
dari hasil
biopsi tersebut. Biopsi dari nodul subkutan itu dibuat preparat
permanen dengan pewarnaan secara histopatologik. Di bawah mikroskop,
ciri-ciri kista itu dapat dikenal. Berdasarkan bentuk dan struktur
skoleks-nya,
kista bisa
dibedakan antara cysticercus
cellulose dan
cysticercus
bovis maupun
dengan larva cacing pita lainnya di dalam jaringan. Sebagai penunjang
diagnosis, dikerjakan pemeriksaan foto rontgen seperti angiografi,
ataupun computed
tomography (CT scan). Dengan
pemeriksaan ini dapat dilihat kista di dalam organ, baik yang masih
hidup maupun yang sudah mati dan mengalami kalsifikasi.. Dalam foto
ini perlu diperhatikan peranjakan bayangan arteri-arteri maupun
bayangan opaque
dari kista
di dalam organ tersebut. Funduskopi gunanya untuk melihat kista di
dalam mata. Sedangkan pemeriksaan hapus darah tepi tujuannya untuk
mengetahui eosinofilia.
6
Pemeriksaan serologik sebagai
penunjang diagnosis antara lain dengan intracutan
test, complement fixation test (CFT),
indirect
haemagluttination test (IHT)
dan enzym-linked
immunosorbent assay (ELISA). Meskipun
pada uji serologik ini terdapat positif palsu ataupun negatif palsu,
tetapi peranannya dalam epidemilogi cukup besar. Dikatakan bahwa tes
ELISA paling dapat dipercaya, yang sekarang sering dipakai dalam
riset-risetdi lapangan. 6
- Gejala, prognosis dan treatment
Periode
inkubasi Taenia solium bervariasi, orang yang terinfeksi masih tidak
terlihat tidak memiliki gejala apapun selama bertahun-tahun. Saat
kista sudah dikenali oleh host setelah degenerasi spontan atau
setelah treatment, reaksi inflamasi dapat terjadi, yang biasanya
menghasilkan gejala klinis, diantaranya sakit kepala kronik,
kebutaan, seizure (epilepsy jika terjadi infeksi ulang),
hydrocephalus, meningitis, gejala yang disebabkan luka pada sistem
syaraf pusat, dementia dan bahkan kematian. 8
Gejala
yang terjadi diantaranya serangan epileptiform, sakit kepala,
kesulitan belajar dan kejang-kejang. Pada kasus-kasus yang parah,
neurocysticercosis dapat menjadi fatal dan neurocysticercosis
merupakan penyebab kematian pada orang dewasa Hispanic dan Latinos di
Amerika Serikat. Edema disekitar kalsifikasi granuloma-granuloma
cysticercal juga dapat menyebabkan gejala-gejala tersebut terjadi. 8
Lama
terjadinya gejala dihubungkan dengan neurocysticercosis, dan proporsi
pasien akan benar-benar smbuh dengan atau tanpa treatment, masih
sulit untuk ditentukan. Lokasi infeksi yang paling sering meminta
konsultasi medis yaitu di sistem syaraf pusat, mata dan jaringan
disekitarnya. Pemberian treatment pada sistiserkosis merupakan hal
yang sulit, dan tidak selalu berhasil. Morbidity umumnya terjadi jika
cysticerci berkembang di otak dan menyebabkan neurocysticercosis. 8
- Dampak sistisekrosis: 9
- Stigmatisasi
- Inkapasitas
- Penurunan produktivitas kerja
- Penurunan pendapatan para petani
- Pengurangan salah satu sumber protein yang penting
- Penurunan perdagangan
- Biaya kesehatan masyarakat
- Diagnosis, treatment, pengawasan pada kasus-kasus epilepsy
- Dihubungkan dengan kecelakaan (kebakaran, tenggelam, dll)
- Pengamatan, pencegahan dan kontrol
Salah
satu hambatan utama dala mengontrol dan memusnahkan infeksi Taenia
solium adalah kurangnya data epidemiologi yang dapa dipercaya
mengenai infeksi Taenia solium pada manusi dan babi. Pencegahan
penyakit sistiserkosis membutuhkan aturan inspeksi daging yang ketat,
edukasi kesehatan, pemasakan daging babi dengan cermat, menggalakan
kebersihan, air yang memadai dan sanitasi. 8
Mekanisme
pengamatan yang sesuai sebaiknya memungkinkan kasus-kasus baru
sistiserkosis pada manusia atau pada babi untuk dilaporkan pada
otoritas nasional untuk memfasilitasi identifikasi dan treatment pada
carrier cacing pita dan orang-orang disekitarnya. 8
Pilihan
yang tersedia untuk mendeteksi sistiserkosis pada manusia diantaranya
yaitu biopsy pada bagian subkutan dari kista (manisfestasi paling
umum dari sistiserkosis di Asia), imunodiagnosis (deteksi antibody
atau antigen parasit pada sampel serum) dan imaging/penggambaran
(radiografi, computed tomography dan MRI). 8
Metode
untuk mendeteksi sistiserkosis pada babi diantaranya menggunakan
metode mendeteksi kista pada lingual, metode ini cukup cepat dan
murah namun kurang sensitif, lebih sensitive jika menggunakan tes
imunodiagnostik dan inspeksi postmortem. 1 dosis obat oxfendazole
ditemukan dapat mengobati sistiserkosis pada babi, walaupun
membuthkan waktu beberapa bulan untuk kista benar-benar hilang. 8
- Taeniasis
Cara
infeksinya melalui oral karena memakan daging babi atau sapi yang
mentah atau setengah matang dan mengandung larva cysticercus.
Di dalam
usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala
gasterointestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium,
napsu makan menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang
konstipasi. Selain itu, gizi penderita bisa menjadi buruk sehingga
terjadi anemia malnutrisi. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan
eosinofilia. Semua gejala tersebut tidak spesifik bahkan sebagian
besar kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). 6
- Diagnosis
Dapat
ditegakkan berdasarkan atas anamnesis dan pe meriksaan laboratorium.
Anamnesis: penderita pernah mengeluarkan benda pipih berwarna putih
seperti "ampas nangka" bersama tinja atau keluar sendiri
dan bergerak-gerak. Benda itu tiada lain adalah potongan cacing pita
(proglotid). Cara keluarnya proglotid Taenia solium berbeda dengan
Taenia saginata. Proglotid Taenia solium biasanya keluar bersama
tinja dalam bentuk rangkaian 5—6 segmen. Sedangkan Taenia saginata,
proglotidnya keluar satu-satu bersama tinja dan bahkan dapat bergerak
sendiri secara aktif. 6
- Pemeriksaan Laboratorium
Secara
makroskopis (melihat tanpa menggunakan alat), yang diperhatikan dalam
hal ini adalah bentuk proglotidnya yang keluar bersama tinja.
Bentuknya cukup khas, yaitu segiempat panjang pipih dan berwarna
putih keabu-abuan. Pemeriksaan secara mikroskopis untuk mendeteksi
telurnya dapat dikerjakan dengan preparat tinja langsung (direct
smear) memakai
larutan eosin. Cara ini paling mudah dan murah, tetapi derajat
positivitasnya rendah. Untuk mendapatkan hasil positivitas yang lebih
tinggi, pemeriksaan dikerjakan dengan metoda konsentras (centrifugal
flotation) atau
dengan cara perianal swab memakai cellophane
tape. 6
Jika
hanya menemukan telur dalam tinja, tidak bisa dibedakan taeniasis
Taenia solium dan taeniasis Taenia saginata. Agar dapat
membedakannya, perlu mengadakan pemeriksaan skoleks
dan
proglotid
gravidnya. Skoleks
dan
proglotid
gravid dibuat
preparat permanen diwarnai dengan borax
carmine atau
trichrome,
kemudian
dilihat di bawah mikroskop. Dengan memperhatikan adanya kait-kait
(hooklet)
pada skoleks
dan jumlah
percabangan lateral uterusnya, maka dapat dibedakan spesies Taenia
solium dan Taenia saginata. Pada skoleks Taenia solium terdapat
rostellum dan
hooklet,
sedangkan
pada Taenia saginata tidak terdapat. Percabangan lateral uterus
Taenia solium jumlahnya 7—12 buah pada satu sisi, dan Taenia
saginata 15—30 buah. 6
Ada
cara yang lebih sederhana untuk memeriksa proglotid gravid, yaitu
dengan memasukkan proglotid itu ke dalam larutan carbolxylol
75%. Dalam
waktu satu jam, proglotid menjadi jernih dan percabangan uterusnya
tampak jelas. Cara lainnya yang paling sederhana dan gampang
dikerjakan ialah dengan menjepitkan proglotid yang masih segar di
antara dua objek gelas secara pelan dan hati-hati. Proglotid akan
tampak jernih dan percabangan uterusnya yang penuh berisi telur
tampak keruh. Pemeriksaan bisa gagal apabila percabangan uterusnya
robek dan semua telurnya keluar. 6
- Distribusi geografis Taeniasis/Sitiserkosis di Beberapa Kota di Indonesia
- Irian jaya
13
kasus pertama penderita epilepsi seizure dilaporkan terjadi di
distrik Paniai, Irian jaya. Pada tahun 1992, 1993, 1994 dan 1995
tercatat ada41, 68, 35 dan145 kasus pada unit kesehatan yang sama.
Laju insidensi pada tahun-tahun tersebut yaitu 0,28; 0,43; 0,21; dan
0,83%. Kuesioner yang diberikan pada 30 responden di subdistrik
Assologaima menunjukan bahwa 83,9% tidak dapat membaca, 93,6%
merupakan petani dan seluruhnya mengkonsumsi daging babi, dan tidak
mengkonsumsi daging yang lain. Seluruhnya mengkonsumsi daging babi
dengan cara memangganggnya di atas batu yang panas. 93,3% menggunakan
sungai sebagai sumber air minum dan 90,3% mengakui bahwa mereka tidak
memasak airnya terlebih dahulu sebelum diminum. 64,5% diantaranya
tidak mencuci tangan sebelum makan dan 58,1% tidak mencuci tangan
setelah buang air besar. 64,5% responden mengaku buang air besar
disekitar semak-semak atau di hutan. Dilaporkan bahwa tidak ada
fasilitas toilet, sehingga mungkin jumlah orang yang buang air
disembarang tempat lebih banyak daripada yang mengakui. Dilaporkan
juga bahwa babi-babi berkeliaran disekitar rumah, dapat memasuki
rumah, meskipun terkadang babi-babi tersebut dikembalikan keluar
pagar rumah.
- Bali
Sudah
diketahui bahwa bali merupakan daerah endemic
sistiserkosis/taeniasis. Antara tahun 1991 sampai 1993 dilaporkan
terdapat 6 kasus sistiserkosis. 5 diantaranya yaitu laki-laki dan 1
wanita, dengan rentang umur antara 12-39 tahun. Selama tahun
1995-1997 terdapat 25 pasien, 15 laki-laki dan 10 wanita, menderita
sistiserkosis. 68% dari pasien tersebut mengalami epilepsi seizure,
24% nya menderita cephalgia dan 8% nya mengalami penurunan kesadaran,
disorientasi dan kehilangan memori yang progresif. Kasus yang terjadi
umumnya pada kelompok umur 61-65 tahun (20%).
- Jawa Timur
Penelitian
histopatologi pada 80.000 jaringan spesimen, ditemukan 9 kasus
sistiserkosis, maka laju insidensinya yaitu 0,011%. Beberapa nodul
ditemukan pada 4 kasus dan umumnya kista ditemukan pada tubuh bagian
atas. Pada 5 kasus, kista ditemukan pada jaringan subkutan, dan pada
4 kasus lainnya kista ditemukan pada otot skeletal. Penelitian
radiologi tidak menemukan adanya kista pada otak.
- Jakarta dan provinsi lain
Beberapa
kasus juga dilaporkan terdapat di Jakarta. Umumnya penderita
merupakan non muslim. Selama tahun 1962-1970 7 orang penderita
taeniasis ditemukan di Jakarta. 1 kasus dari Bali, 1 kasus dari Jawa
timur, 2 kasus dari Sumatra utara dan 3 kasus dari Jakarta. Namun
setelah periode ini jarang terdapat dokumentasi kasus sistiserkosis
di Jakarta.
- UPAYA PENGENDALIAN TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS
Prevalensi
kedua penyakit ini dapat diturunkan melalui beberapa langkah
pengendalian terhadap siklus hidup dari Taenia
solium.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu deteksi dini secara
berkala pada peternakan babi, penyuluhan, pengobatan pada penderita
taeniasis dan babi penderita sistiserkosis vaksinasi, dan perbaikan
sanitasi lingkungan. Pengobatan yang dapat dilakukan terhadap babi
penderita sistiserkosis adalah pemberian oxfendazole dengan dosis
3-4.5 mg/kg bb .Pencegahan
sistiserkosis pada babi dapat dilakukan melalui vaksinasi. Tipe
vaksin yang dapat diberikan untuk vaksinasi tersebut adalah synthetic
peptide-based vaccine .
- Tindakan Pencegahan Penyebaran Taeniasis/Sistiserkosis
- Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita taenasis
- Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput.
- Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran
- Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan)
- Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya.
- Menghilanglkan kebiasaan maka makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah.
- Memasak daging sampai matang ( diatas 57 º C dalam waktu cukup lama ) atau membekukan dibawah 10º selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan , karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
- Tindakan yang dibutuhkan untuk pengawasan neurosistiserkosis
Intervensi
epidemiologi perlu dilakukan untuk memutus rantai penularan
neurosistiserkosis. Diantaranya, intervensi-intervensi berikut ini
dapat dilakukan:
- Mencari, memberi treatment dan melaporkan sumber kontak, contohnya carrier cacing pita dewasa, di rumah, di lingkungan kerja, di desa dan di tempat makan.
- Mengindentifikasi dan member treatment pada orang yang terekspos, contohnya pada orang yang kontak dengan individu yang menjadi carrier cacing pita dewasa.
- Menyediakan edukasi kesehatan tentang penularan parasit, meningkatkan kebiasaan yang sehat dan meningkatkan sanitasi melalui ketersediaan air bersih dan perlakuan pada air buangan.
- Menyelenggarakan inspeksi daging ditempat penyembelihan dan toko-toko daging, serta mengontrol sumber-sumber hewan dengan memberi perlakuan pada babi-babi dan meningkatkan peternakan babi.
Meningkatkan
status sistiserkosis pada manusi menjadi penyakit yang dapat
dilaporkan secara internasional dapat member manfaat dalam
memfasilitasi untuk mengetahui jumlah insidensi dan prevalensi
sistiserkosis dengan akurat di seluruh dunia. Hal ini merupakan
langkah pertaman yang dibutuhkan dalam menjalankan mekanisme
pengawasan sistiserkosis yang sesuai.
DAFTAR
PUSTAKA
- Rajshekar V et al, 2006. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia:Epidemiolgy, impact and issue. Acta Trop 87:53-60
- Soulsby EJL. 1982. Helminths,Anthropods and Protozoa of Domesticated Animals. London: Bailliere Tindal.
- Kusumamihardja ,S.1992.Parasit dan Parasitosis pada hewan ternak dan hewan piara .Pusat antar Universitas Bioteknologi .Institut Pertanian Bogor.Bogor
- Sciutto, E. J. Morales, J. J. Martinez, A. Toledo, M .N . Villalobos, C. Cruz, G. Meneses, M. Hernandez, A. Diaz, and L.F.Rodarte.et all.2007.Further evaluation of the synthetic peptide vaccine S3PVAC against Taenia Solium cysticercosis in pigs in an endemic town of Mexico . Parasitology 134:129-133.Crossref,pubmec
- Ilsoe, B., Kyvsgaard, N.C., Nansen, P., Henriksen, S.A., 1990. A study on the survival of Taenia saginata eggs on soil in Denmark.Act. Vet. Scand. 31, 153–158.
- Ngurah,K., Taeniasis dan sistiserkosis.1987. Denpasar: fakultas kedokteran universitas udayana
- .Sutisna P et al. 1999. Community prevalence study of Taeniasis and Cysticercosis in Bali, Indonesia. Trop Med Int Health 4:288-294
- Carabin, H., Cowan, L., Nash, T., Willingham, A., Estimating the Global Burden of teniasoliumCysticercosis/Taeniosis. Oklahoma: Public Health, University of Oklahoma Health Sciences Center
Tidak ada komentar:
Posting Komentar