4shared

Powered By Blogger

Kamis, 10 Mei 2012


MAKALAH MIKROBIOLOGI PANGAN

“FOODBORNE DISEASE”

Microcystis aeruginosa







Disusun oleh:

Kelompok 29


Devi Cahya Sukma                         22030110141019
Afifah                                                 22030110141020
Dea Mustika H.P                              22030110141021


Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Semarang
            2012


BAB I

PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul penyakit yang disebabkan oleh pangan. Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara termasuk Indonesia. Seringkali diberitakan terjadinya keracunan pangan akibat mengkonsumsi hidangan pesta, makanan jajanan, makanan catering, bahkan pangan segar.1

Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri, atau tbc, mudah tersebar melalui bahan makanan. Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gagguan perut akibat makanan disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi, keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun, toksin yang dihasilkan bakteri, mengkomsumsi pangan yan mengandung parasitparasit hewan dan mikroorganisme. Gangguan-gangguan ini sering dikelompokkan menjadi satu karena memiliki gejala yang hampir sama atau sering tertukar dalam penentuan penyebabnya. Secara umum, istilah keracuan makanan yang sering digunakan untuk menyebut gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme, mencakup gangguan-gangguan yang diakibatkan termakannya toksin yang dihasilkan organisme-organisme tertentu dan gangguan-gangguan akibat terinfeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat ditemukan secara alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk metabolit toksik yang dihasilkan suatu metabolisme. Dengan demikian, intoksikasi pangan adalah gangguan akibat mengkonsumsi toksin dari bakteri yang telah terbentuk dalam makanan, sedangkan infeksi pangan disebabkan masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui makanan yang telah terkontaminasi dan sebagai akibat reaksi tubuh terhadap bakteri atau hasil-hasil metabolismenya.2

Penyakit bawaan makanan (foodborne disease), biasanya bersifat toksik maupun infeksius, disebabkan oleh agens penyakit yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Kadang-kadang penyakit ini disebut “keracunan makanan” (food poisoning) walaupun istilah ini tidak tepat. Penyakit bawaan makanan mencakup lingkup penyakit yang etiologinya bersifat kimiawi maupun biologis, termasuk penyakit kolera dan diare, sekaligus beberapa penyakit parasit. Penyakit bawaan makanan merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang paling banyak dan paling membebani yang pernah dijumpai di zaman modern ini. Penyakit tersebut meminta banyak korban dalam kehidupan manusia dan menyebabkan sejumlah besar penderitaan, khususnya di kalangan bayi, anak, lansia, dan mereka yang kekebalan tubuhnya terganggu. Tingkat keparahan (besaran) dan konsekuensi penyakit bawaan makanan ini kerap kali diremehkan oleh pihak berwenang di bidang kesehatan masyarakat. 3

Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Foodborne disease disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme atau mikroba patogen yang mengkontaminasi makanan. Selain itu, zat kimia beracun, atau zat berbahaya lain dapat menyebabkan foodborne disease jika zat-zat tersebut terdapat dalam makanan. Makanan yang berasal baik dari hewan maupun tumbuhan dapat berperan sebagai media pembawa mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia.

Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Dalam kehidupannya manusia membutuhkan makanan untuk hidup. Jika tidak memperhatikan kebersihan makanan dan lingkungan, makanan dapat merugikan bagi manusia. Makanan yang berasal baik dari hewan atau tumbuhan dapat berperan sebagai media pembawa mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia. Mikroorganisme yang menimbulkan penyakit ini dapat berasal dari makanan asal hewan yang terinfeksi penyakit tersebut atau tanaman yang terkontaminasi. Makanan yang terkontaminasi selama prosesing atau pengolahan dapat berperan sebagai media penularan juga. Penularan foodborne disease oleh makanan dapat bersifat infeksi. Artinya suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang hidup, biasanya berkembangbiak pada tempat terjadinya peradangan. Pada kasus foodborne disease mikroorganisme masuk bersama makanan yang kemudian dicerna dan diserap oleh tubuh manusia. Kasus foodborne desease dapat terjadi dari tingkat yang tidak parah sampai tingkat kematian. Gejala foodborne disease yang umumnya terlihat adalah perut mual diikuti muntah-muntah, diare, demam, kejang-kejang dan lain - lain.

                Harmful Alga Bloom (HAB) adalah istilah generik yang digunakan untuk mengacu pada pertumbuhan lebat mikroalga (plankton) di laut atau di perairan payau yang dapat menyebabkan kematian massal ikan, mengkontaminasi makanan bahari (seafood) dengan toksin (racun yang diproduksi oleh mikroalga), sehingga mengubah ekosistem sedemikian rupa sehingga dipersepsikan manusia sebagai pengganggu. HAB dapat menyebabkan berubahnya warna air laut. Faktor yang dapat memicu terjadinya ledakan populasi fitoplankton tersebut diantaranya yaitu faktor alam yang dipicu oleh adanya pengayaan hara dari daratan yang menyebabkan terjadinya eutrofikasi (proses perkembangbiakan tumbuhan air dengan cepat karena memperoleh zat makanan yang melimpah akibat pemupukan yang berlebihan). Selain itu adanya faktor manusia yang dipicu oleh pembuangan limbah gas amoniak (NH3) secara besar-besaran di udara. Cyanobacterium merupakan kelompok fitoplankton berbahaya dan merusak ekosistem perairan jika berada dalam kondisi sangat berlimpah. Plankton tersebut sewaktu-waktu dapat melimpah di perairan akibat kemampuannya mengikat nitrogen secara langsung dari udara. Microcystis aeruginosa merupakan anggota Cyanobacterium yang memiliki variasi tinggi dalam morfolgi, toksisitas dan nilai pertumbuhan populasi maksimumnya. Nilai pertumbuhan ini ditentukan oleh variasi genetik sehingga berpotensi untuk terjadinya HAB. Nilai Microcystis aeruginosa tidak mempengarui produksi toksin bagi masing-masing organismenya. Namun, bila nilai pertumbuhan ini maksimum pada taraf populasi hinga menimbulkan HAB maka tetap saja akan menjadi ancaman karena produksi toksin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah organisme.4

Blooming Microcystis aeruginosa sering membawa dampak merugikan, baik bagi  ekosistem perairan maupun ekosistem terestrial yang memanfaatkan air tersebut. Racun  microcystin yang dihasilkan bersifat hepatotoksin dan menyebabkan kanker hati bahkan kematian pada ternak dan manusia yang mengkonsumsi air minum yang mengalami  blooming M. Aeruginosa. Produksi udang menurun hingga 50% seiring dominasi M. Aeruginosa di perairan tambak.  Off flavor atau penyimpangan rasa pada komoditi perikanan apabila lingkungan budidaya mengalami blooming M. Aeruginosa. Keragaman zooplankton menjadi rendah dan nilai nutrisi zooplankton sebagai pakan alami ikan menjadi menurun.5 Sehingga jika keadaan tersebut terjadi secara berkepanjangan, ikan pun akan memakan M. Aeruginosa, akibatnya ikan-ikan tersebut dapat terkontaminasi oleh toksin yang terkandung didalamnya. Jika sampai dikonsumsi oleh manusia maka akan menyebabkan penyakit bawaan yang dikonsumsinya, tentu saja hal tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh.

B.   Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan foodborne disease?
2.    Apa saja faktor yang menyebabkan foodborne disease?
3.    Apa yang dimaksud dengan Microcystis aeruginosa?
4.    Bagaimana Microcystis aeruginosa dapat menyebabkan foodborne disease?
5.    Apa contoh kasus foodborne disease yang disebabkan oleh Microcystis aeruginosa?
6.    Bagaimana penanggulangan kasus foodborne disease yang disebabkan oleh Microcystis aeruginosa?

C.   Tujuan
1.    Mengetahui tentang foodborne disease
2.    Mengetahui faktor yang menyebabkan foodborne disease
3.    Mengetahui tentang microcystis aeruginosa
4. Mengetahui bagaimana microcystis aeruginosa dapat menyebabkan foodborne disease
5.    Dapat menjelaskan contoh kasus foodborne disease yang disebabkan oleh Microcystis aeruginosa
6.  Dapat menjelaskan cara penanggulangan kasus fodborne disease yang disebabkan oleh Microcystis aeruginosa


BAB II

ISI

A. Identifikasi Microcystis aeruginosa
Cyanobacteria adalah salah satu bentuk kehidupan paling kuno di Bumi. Bukti keberadaan mereka di Bumi bersal dari catatan fosil, mencakup periode sekitar 3,5 miliar tahun di akhir era Precambrian. Cyanobacteria adalah kelompok fitoplankton yang dominan dieutrofik air tawar. Mereka adalah prokariota yang memiliki dinding sel terdiri dari peptidoglycan dan lapisan lipopolisakarida bukan selulosa dari ganggang hijau (Skulberg et al,. 1993). Semua Cyanobacter adalah fotosintetik dan memiliki proses chla.6 Besarnya pertumbuhan (mekarnya) Cyanobactria (alga biru hijau) di kolam, danua, waduk atau sistem air tawar telah menjadi masalah akan kualitas air yang serius yang mengancam kesehatan manusia dan hewan (WHO, 2003; Chour dan Bartram, 1999; Carmichael et al, 2001). 6 Ada lebih dari 30 spesies cyanobacter yang dikaitkan dengan mekarnya toxin air (Skulberg et al, 1993) dan telah dilaporkan setidaknya ada 44 negara dari Baltik dan laut Karibia, Atlantik, Pasifik dan Samudra India ( Carmichael,1989 ; Codd, 1995).8
Kemunculan dari mekarnya Cyanobacterial biasanya terdapat dalam danau eutrofik yang bisa dijumpai antropogenik yang berisi nutrient yang secara alami kaya akan nutrisi (Vaitomaa, 2006).7 Sebagian besar nutrisi berasal dari kotoran manusia, limbah, deterjen, polusi industri, pupuk dari lahan pertanian, dan kotoran hewan atau burung dari pertanian yang intensif (Bell dan Codd, 1994; Baker, 2002).6
Cyanobacteria mampu memproduksi dua jenis toksin, yaitu hepatotoxin peptida siklik dan alkaloid neurotoxin. Penyakit serius seperti hepatoenteritis, sebuah gejala pneumonia dan dermatitis mungkin timbul dari mengkonsumsi Cyanobacteria atau kontak langsung dengan air yang telah terkontaminasi dengan toksin yang diproduksi oleh Cyanobacteria (Hawkins et al, 1985,; Turner et al, 1990).6

   Gambar 1. Mekarnya Cyanobacterial terlihat seperti sampah berwarna
      hijau di air pada Hartbeespoort Dam, Afrika Selatan (Desember 2002)
Spesis hasil dari mekarnya Cyanobacterial yang telah dikenal dunia secara umum adalah Microcystis ( Silva, 2003; Kann dan Gilroy, 1997).  Pertumbuhan  dari Microcystis menghasilkan bau yang tidak sedap, tak sedap dilihat, mencegah rekreasi menggunakan air, menghambat pengelolaan air untuk minum, dan menyumbat pipa irigrasi (Yoshinaga et al., 2006).7  Mekarnya Microcystic aeruginosa pada danau atau kolam yang menghasilkan hepatotoksik microcystins menjadi masalah, bila air tersebut digunakan sebagai air minum atau untuk area rekreasi.8 Microcystins juga telah terlibat sebagai zat yang mempromosikan tumor (An and Carmicheal, 1994; Bell dan Codd, 1994; Rudolph-Bohner et al., 1994; Trogen et al., 1996; Zegura er al.,2003).6
Microcystis aeruginosa bentuknya sebagai koloni bulat atau memanjang dengan banyak atau sedikit sel bulat, sarung koloni yang tidak jelas dan sel yang mengandung gas-vakuola, yang menyebabkannya dapat mengambang. Microcystis aeruginosa segar terdapat pada air agak payau, sering membentuk mekaran padatan dipertengahan dan akhir musim panas, dan jatuh ke bawah membentuk sedimentasi pada musim gugur (Yohanes dkk, 2002).7 Organisme ini menghasilkan peptida dalam jumlah yang besar (Microcystins), dan beberapa diantaranya sangat berancun (Grobbelaar dkk,.2004).7 Mycrocystins adalah keluarga dari racun yang dihasilkan oleh berbagai spesies Cyanobacteria  air tawar, yaitu Microcystis, Anabaena, dan Oscillatoria.6 Racun Microcystins berakibat fatal pada ternak dan manusia ( Sivonen, 1996).7

Penyelidikan secara epidemiologi telah menunjukkan Microcystic menyebabkan peradangan lambung dan usus, kanker hati dan penyakit limpa pada manusia yang mengkonsumsi air yang mengandung Microcystins (Mc Cermott et al, 1998; Ding et al,, 2000; Zhou et al, 2002). Meskipun tidak ada catatan resmi hewan atau manusia keracunan disebabkan oleh cyanobacteria, efek Microcystins pada hewan dan manusia melalui kontak langsung atau rantai makanan masih tetap diidentifikasi.8

Faktor fisik

Suhu
Robarts dan Zohary (1987) menemukan Microcystis dalam jumlah terbatas pada suhu dibawah 15oC dan pada jumlah yang optimal pada suhu 25oC. Suhu sendiri munkin hanya sebagian yang menentukan mekarnya Microcystis.6 Microcystis yang mekar sering muncul diperairan eutrofik pada suhu yang tinggi (Yoshinaga et al,.2006).7 Tingkat pertumbuhan didalam kultur laboratorium diperoleh pada 32oC, sedangkan toksisitas paling tinggi ditemukan pada 20oC, tetapi berkurang pada suhu yang lebih dari 28oC. Pada suhu 32oC dan 36oC sel toksisitas sebesar 1,6 dan 4 kali lebih kecil sel yang dibiakkan pada suhu 28oC, menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tertinggi tidak ada hubungan dengan toksisitas tertinggi. Menurut Van der Westhuizen dan Eloff (1985) menganggap bahwa produksi toksin menurun mungkin berkaitan dengan tingkat stres yang menurun pada suhu di atas 20oC.6

Cahaya
Efek dari intensitas cahaya pada struktur halus dari Microcystis aeruginosa telah diteliti pada kondisi di laboratorium. Sel Microcystis aerugenosa akan berkembang optimal pada intensitas cahaya sekitar 3600 – 18000 lux (Abelovich dan Shilo, 1972).6

Karotenoid
Sel pigmen perisai dari intensitas cahaya yang tinggi, mencegah penghancuran chla dan photo-oxidasi pigmen fotosintesis (Abelovinch dan Shilo, 1972). Dalam penelitian baru-baru ini kualitas cahaya 16 µmol foton / ms dalam spektrum cahaya merah, meningkatkan produksi toksin dalam Microcystis aeruginosa (Kaebernick et al,. 2000).6
Daya Apung
Isi gas vacuola meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya manjadi 6000 lux, setelah itu semakin berkurang antara 6000 dan 8000 lux (Waaland et al., 1971), menunjukkan bahwa vesikiel bisa bertindak sebagai perisai cahaya selain daya apung yang mungkin berfungsi.6 Daya apung diatur oleh sejumlah mekanisme, seperti bentuk simpanan karbohidrat dan peraturan tekanan turgor. Perubahan komposisi dalam protein : rasio karbohidrat selama pembalikan daya apung menunjukkan adanya hubungan yang kompleks antara cahaya dan nutrisi (Villareal dan Carpenter, 2003).6
Semua Cyanobacterial yang mekar mungkin tidak selalu beracun. Konsentrasi racun Cyanobacterial ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor seperti komposisi komunitas phytoplankton, tingkat pertumbuhan populasi Cyanobacterial, dan dominasi spesies toksin dari Cyanobacteria (Tarczynska et al,.2001).7 Microcystic aeroginosa berisi juga strain yang tidak beracun dan produksi Microcystin dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti suhu air, pH, intensitas radiasi matahari, kelarutan oksigen dan ketersediaan CO2 (Grobbelaar et al.,2004). 7

B. Kasus Keracunan

            Telah banyak laporan tentang kasus keracunan dari burung, ikan, dan binatang yang lain karena racun dari Cyanobacteri. Kesakitan yang umum terjadi disebabkan oleh racun dari Cyanobacteri pada manusia dibagi menjadi 3 kategori, yaitu gastroenteritis, dan penyakit yang berhubungan dengan pencernaan, alergi dan reaksi iritasi serta penyakit liver. Microcystin merupakan salah satu jenis alga beracun dari golongan Cyanobacteri, yang menyebabkan foodborne diease, dimana apabila bahan pangan yang diirigasi atau disiram oleh air yang terkontaminasi oleh Microsystin akan menimbulkan masalah bagi kesehatan, begitu pula air bersih yang terkontaminasi oleh Microcystin. Microcystin merupakan salah satu tipe dari cyanobacteri beracun yang tersebar luas  di sistem air bersih.

Kumpulan alga Microcystis aeruginosa diteliti sebagai koloni, yang berarti dari sel tunggal dapat bergabung bersama dalam satu kelompok sebagai koloni dan berkumpul didekat permukaan air.

                             Gambar 2. Bloom-forming (Cyanobacteri)
                     Bentuk Koloni Microsystis aeruginosa dan Sel Individu


Gambar 3. Kumpulan Alga yang Diletakkan
        pada Sebuah Wadah Plastik


Meluapnya Microsystis aeruginosa di permukaan terjadi selama malam musim dingin. Biasanya di akhir bulan November Microcystis aeruginosa merupakan spesies yang dominan, meliputi > 80% dari volume fitoplankton. Kadar keasinan dari air laut diketahui sebagai faktor penting lain yang mempengaruhi produksi dari cyanotoxin dari microsystin.6 Faktor fisikokimia dan biologi bertanggung jawab dalam eksistensi dari dominasi spesies Microsystis di lingkungan. Cyanobacteri mampu memproduksi 2 jenis racun, cyclic peptida hepatotoxin dan alkaloid neurotoxin. Penyakit serius seperti hepatoenteritis, asymptomatic pneumonia, dan dermatistis merupakan hasil dari konsumsi atau kontak dengan air yang terkontaminasi dengan racun produksi cyanobacteri. Neurotoxin yang dihasilkan termasuk anatoxin-a, sebuah agen depolarisasi yang memblok neuromuscular, anatoxin-a sebuah anti cholinesterase, dan saxitoxin dan neosaxitoxin yang menghambat konduksi impuls saraf karena saluran dari sodium dibloking.6

Kasus keracunan yang disebabkan oleh Microcystis aeruginosa dari golongan Cyanobacteri, banyak terjadi di negara-negara kawasan barat, namun sepanjang ini belum ada kasus keracunan oleh golongan alga beracun tersebut di Indonesia. Akan tetapi hal tersebut perlu diwaspadai, karena microcystis senang hdup di air dengan temperatur yang hangat.

Sekumpulan Cyanobacteri menjadi masalah penting dalam melihat suatu kualitas air di dunia, termasuk Cina. Di Cina, bioakumulasi oleh microsystin pada ikan telah dilaporkan dan dipercaya menyebabkan kematian ikan dalam skala yang besar. Karena ikan adalah salah satu tingkat tropik yang penting dalam mata rantai makanan laut, Microcystin dapat menyebabkan risiko kesehatan manusia melalui sebuah proses transfer rantai dalam makanan dalam kejadian ini ikan sebagai sumber makanan sehari-hari yang penting pada manusia.9 Tahun 1998, kumpulan Cyanobacteri telah diteliti di sungai Tiesha, dengan Microcystis aeruginosa menjadi spesies yang predominan. Racun yang dihasilkan oleh MCYST (microsystin) di permukaan air sungai tersebut lebih tinggi daripada konsentrasi maksimum yang diizinkan oleh WHO dalam air minum yaitu 1 µg/L. Beberapa fitoplankton digunakan untuk untuk mengukur pencernaan cyanobacteri yang telah diaplikasikan untuk mengontrol sekumpulan cyanobacteria di sungai, kemudian ditemukan jumlah dari microcystin-LR dan microcystin-RR di sungai. H. Molitrix merupakan spesies yang dominan di sungai Tiesha dan sering dipanen oleh nelayan lokal sebagai pakan. Sebagai ikan fitoplankton, H. Molitrix penting bagi manusia karena memainkan peran dalam ekosistem perairan sebagai konsumen langsung dari fitoplankton dan berpotensi untuk menejemen biologis dari kumpulan alga. Ikan-ikan tersebut mungkin memakan banyak cyanobacteri yang mengandung racun yang melebihi normal dibandingkan dengan ikan herbivora dan karnivora. Microsystis selalu ditemukan terakumulasi di hati melalui jalur bile transfer. Namun pada studi yang dilakukan di Cina kadar terbesar Microsystis di temukan di usus, Microsystis aeruginosa dalam jumlah besar di usus ikan saat dibedah yang mana terkonsentrasi relatif tinggi. Pada manusia hal tersebut sangat berisiko pada kesehatan, dua rute oral yang dapat memicu pencemaran microsystis, konsumsi secara langsung air yang terkontaminasi microsystis dan konsumsi makanan laut yang mana hewan-hewan tersebut memakan cyanobacteri dan terakumulasi microsystis.9 Jadi transfer microsystis pada manusia melalui konsumsi ikan yang terkontaminasi dan berpotensi mengganggu kesehatan manusia. WHO menentukan toleransi intake sehari-hari  sekitar (TDI) 0,04µg/kg berat badan per hari untuk microsystin-LR. TDI didefinisikan sebagai jumlah yang dapat diterima dari substansi yang berpotensi beracun apabila dikonsumsi sehari-hari dalam waktu yang relatif lama.9

Di Mesir terdapat kasus keracunan dan kematian pada binatang dan manusia yang disebabkan oleh MCYSTs (Microsystins). Kejadian dari produksi MCYSTs dari strain Microsystis aeruginosa di tambak ikan El-Dowyrat, Sohag, Mesir telah dilaporka sebelumnya. Strain ini ditemukan telah memproduksi 4,5 mg dari berat kering microcystin/g. Karena kejadian racun cyanobacteri  dalam kolam El-Dowyrat, merupakan salah satu sumber ikan di Kota Sohag, ada sebuah potensi dari akumulasi oleh racun MCYSTs di ikan. Dekat kolam El-Dowryat terletak sebuah restauran dimana ikan goreng dan ikan asap yang berasal dari kolam dijual.10 
Kumpulan racun dari cyanobacteri juga berhubungan dengan kematian ikan. Efek ini sangat merugikan karena secara langsung disebabkan oleh racun atau perubahan kimia air sebagai konsekuensi dari kumpulan tersebut. Walaupun target organ dari MCYST adalah hati, studi yang dilakukan di Mesir menemukan sebuah temuan yang mengejutkan, MCYST di ginjal dan otot. Kemampuan invertebrata air, yang mana merupakan sebuah sumber makanan bagi banyak ikan, telah terakumulasi microsystin di dalam tubuh mereka. Akumulasi MCYSTs pada ikan dalam kadar tersebut, walaupun tidak beracun pada ikan, namun berisiko memicu bahaya apabila dkonsumsi oleh manusia jika mengonsumsi air yang terdapat MCYST dalam batas yang berlebih dari yang direkomendasi.10 
Pedoman dari WHO untuk air minum adalah 1µg/L berdasarkan konsumsi air tiap 2 L/hari. Rata-rata porsi untuk ikan yang dikonsumsi seseorang sekitar 100-200 g. Pada kadar yang ditemukan di jaringan ikan dalam studi tersebut, dalam 100 g per sajian akan berisi 10 µg dari MCYST, atau kira-kira 5 kali mengasup MCYST yang direkomendasikan  pada air minum. Karena MCYST tahan dan tidak rusak oleh pemanasan pada saat dimasak.10

Di Kanada 10 anak menjadi sakit diare, setelah berenang di sebuah danau yang tertutup oleh cyanobacteri yang memproduksi microsystin-LR. Kasus yang lain terjadi di Amerika dan Australia, beberapa racun cyanobacteri yang lain diimplikasikan dalam penyakit manusia yang terjadi karena suplai air minum.11

Efek lain racun yang dihasilkan oleh Microsystis aeruginosa menyebabkan contoh kritis antara lain diare, mual, kelemahan otot, pucat dan tumor pada hati. Pencemaran pada ikan oleh microsystins menyebabkan kerusakan jaringan di hati, ginjal, otak, dan saraf mata, serta terjadi ketidakseimbangan ionik dan berkurangnya pertumbuhan. Kerusakan hati, sebagai bukti meningkatnya gamma glutamyl transferase secara signifikan, yang terlihat dari seseorang yang minum dari suplai air yang berisi kumpulan Microsystis setelah mendapat perawatan sengan tembaga sulfat (CuSO4). Temuan lain menunjukkan bahwa microsystin dapat terakumulasi di jaringan ikan yang digunakan untuk dikonsumsi manusia.7,13

C.   Pencemaran Microcystis Melalui Makanan

Pencemaran racun yang diproduksi oleh sekumpulan alga yang merugikan melalui konsumsi makanan dikenal dari lingkungan yang ada di laut. Di Amerika, makanan laut menempati posisi ketiga dari daftar makanan yang menyebabkan penyakit karena keracunan makanan, dan bagian ini disebabkan oleh fikotoksin yang terakumulasi di kerang. Keracunan pada manusia melalui fikotoksin pada kerang laut menjadi hal yang penting, racun yang diproduksi dari fitoplankton yang memakan Microcystis aeruginosa yang mungkin menyebabkan kesakitan pada manusia, ketika biota dari tropik tertinggi dikonsumsi dan menimbulkan risiko.12 
Microcystin biasanya terakumulasi pada jaringan-jaringan biota laut. Pada ikan, microcystin dapat terakumulasi melalui jalur yang berbeda, pertama dengan cara memakan fitoplankton (H. molitrix), menghancurkan microcystin yang dimakan melalui epithelium (kulit, tulang rahang) atau cemaran melalui jaring makanan. Umumnya jalur oral dipercaya sebagai jalur yang paling mudah bagi microcystin masuk ke jaringan ikan. Namun, kandungan racun tergantung dari konsumsi ikan, yang mana dapat menjadi kurang luas pada ikan karnivora daripada spesies herbivora. Microcystin lebih sering terakumulasi pada jaringan otot ikan.12 Kerang merupakan biota laut yang lebih sering dikonsumsi oleh manusi daripada spesies moluska, seperti keong. Walaupun, keong normalnya kurang dikonsumsi oleh manusia, namun akumulasi dari konsentrasi racun lebih tinggi pada keong. Hal ini karena meningkatnya risiko lingkungan bagi pertukaran pada predator, termasuk spesies ikan yang termakan manusia.13

D.  Pengendalian dan Pengawasan “Harmful Blooming Algae” (Microcystis aeruginosa)

Keberadaan cyanobacteri dalam jangka pendek maupun panjang akan berisiko bagi kesehatan manusia ketika populasi tumbuh menjadi besar atau yang lebih dikenal dengan istilah “blooming”, karena mereka dapat memproduksi racun. Racun tersebut dikenal dengan nama cyanotoxin termasuk di dalamnya neurotoxin, hepatotoxin, genotoxin, inflamatori, dan agen cytotoxic. Microcysytis merupakan golongan dari cyanobacteri yang paling berpotensi dan paling umum dijumpai. Oleh karena itu perlu adanya monitoring dan manajemen guna mendeteksi awal atau mengontol cemaran dari cyanobacteri.

Untuk mengontrol pencemaran dari “blooming” cyanobacteri, pertama langkah yang dimbil adalah menegaskan dan mengimplementasikan kontrol pengukuran untuk tipe yang lain pada seafood. Kedua mengkontrol kejadian cyanobacteri, dan ketiga meningkatkan dan mengembangkan kepedulian dan pengawasan. Konsep Codex Alimentarius HACCP yang dikeluarkan memiliki kemiripan dengan Water Safety Plan (WSP) dalam mencapai perkembangan sari HACCP oleh WHO khususnya untuk air minum.12

HACCP dan WSP menitikberatkan jangkauan dengan memonitoring produk akhir yang tidak pasti aman, mereka fokus dalam mengontrol proses yang penting sekali untuk keamanan dari makanan atau air minum. Ruang lingkup dari HACCP adalah “from farm to fork” atau dari ladang hingga ke meja makan, hanya berkisar pada pertanian, tahapan dari teknik produksi makanan untuk menghindari kontaminasi dengan mikroorganisme dan bahan-bahan kimia selama proses produksi. Dimana kontaminan mungkin berasal dari sumber air, seperti limbah air industri. Ruang lingkup dari WSP adalah, “from catchment to consumen” atau dari penangkap sampai ke konsumen, dimana tempat yang lebih mendapat perhatian termasuk pengukuran untuk mengontrol kontaminasi dari sumber air.12

Pengkajian risiko akan pencemaran harus dikombinasikan melalui makanan laut dan air minum sejak pencemaran racun pada air dan makanan akan dikonsumsi. Dampak pencemaran dari racun yang dihasilkan cyanobacteri pada kesehatan masyarakat membatasi jumlah atau jenis ikan yang dikonsumsi dan akan tergantung pada makanan lain sebagai pengganti dari ikan.

Hazards merupakan pengukuran untuk mengontrol risiko ketika dibutuhkan untuk identifikasi dalam terminologi HACCP, yaitu CCP (Critical Control Point). CCP digunakan untuk menghindari kontaminasi pada ikan dengan bahan kimia dari lingkungan (contoh merkuri).12 Selanjutnya, kontrol pengukuran yang cukup berpotensi efektif untuk menghilangkan bagian dari ikan yang teakumulasi cyanotoxin, seperti organ-organ dalam dan hati dari ikan atau usus dan pankreas, pada saat pemrosesan , pemasakan karena racun yang dihasilkan oleh microsystis ini tidak dapat hilang oleh pemanasan, dan saat konsumsi. Jalan terbaik untuk mengurangi kejadian dari cyanotoxin pada makanan laut adalah dengan mengontrol kumpulan dari cyanobacteri, sejak ada atau tidaknya kasus pencemaran oleh microsystis karena cyanotoxin akan terakumulasi di organisme laut.  Kepedulian masyarakat perlu ditingkatkan agar mereka waspada akan yang mereka konsumsi salah satunya makanan dari laut. Dalam konteks HACCP dan WSP monitoring dan pengawasan diperlukaan untuk menjaga produk agar terhindar dari kontaminasi. Monitoring dan pengawasan harus diperiksa bahwa proses kontrol bekerja dengan baik dalam menguji produk yang terkontaminasi oleh cyanotoxin.12
  
BAB III

KESIMPULAN

Microcystis aeruginosa adalah alga dari golongan Cyanobacteri yang merupakan spesies paling dominan di sistem perairan. Cyanobacteri mampu memproduksi 2 jenis racun, cyclic peptida hepatotoxin dan alkaloid neurotoxin. Harmful Alga Bloom (HAB) adalah istilah generik yang digunakan untuk mengacu pada pertumbuhan lebat mikroalga (plankton) di laut atau di perairan payau yang dapat menyebabkan kematian massal ikan, mengkontaminasi makanan bahari (seafood) dengan toksin (racun yang diproduksi oleh mikroalga). Microcystin merupakan racun yang dihasilkan oleh Microcystis aeruginosa dan dapat mengontaminasi bahan pangan dari laut, apabila biota-biota yang ada di laut memakan fitoplankton yang telah terakumulasi oleh microcystin. Karena organ target Microcystis aeruginosa adalah hati maka efek utama yang ditimbulkan adalah hepatoenteritis atau kanker hati apabila mengonsumsi makanan laut atau meminum air yang telah tercemar microcystin, efek lain yang ditimbulkan adalah asymptomatic pneumonia dan dermatistis. Jalur pencemaran pada biota yang ada di laut pun ada beberapa cara, pertama ketika biota laut (ikan, keong, kerang) memakan fitoplankton (H. molitrix), menghancurkan microcystin yang dimakan melalui epithelium (kulit, tulang rahang) atau cemaran melalui jaring makanan.

Oleh karena Microcystis aeruginosa tidak dapat rusak oleh pemanasan sehingga perlu pegawasan dan pengendalian dalam mengolah suatu produk dari sumber yang tercemar atau dengan mengendalikan pertumbuhan kontaminan tersebut. Untuk mengendalikan dan mengawasi pencemaran dari Microcystis aeruginosa, dengan cara WSP (Water Safety Plan) yang dikeluarkan oleh Codex untuk memonitoring kondisi perairan dan sumber air minum yang memilki kemiripan dengan sistem HACCP pada produk pangan. Hazards merupakan pengukuran untuk mengontrol risiko ketika dibutuhkan untuk identifikasi dalam terminologi HACCP, yaitu CCP (Critical Control Point). CCP digunakan untuk menghindari kontaminasi pada ikan dengan bahan kimia dari lingkungan. Kontrol pengukuran yang cukup berpotensi efektif untuk menghilangkan bagian dari ikan yang teakumulasi cyanotoxin.
  
Daftar Pustaka

1.      Sentra informasi keracunan nasional, Badan POM RI. Keracunan pangan akibat bakteri patogen (cited 06 April 2012) (Available from) http://www.pom.go.id/public/siker/desc/produk/RacunBakPatogen.pdf
2.      Siagian albiner. Mikroba patogen pada makanan dan sumber pencemarannya. USU digital library. 2002.
3.      Upaya pendidikan kesehatan untuk penyakit bawaan makanan suatu permasalahan kesehatan dan ekonomi global (cited 06 April 2012) (Available from) URL http://www.scribd.com/doc/32855117/7/Upaya-pendidikan.pdf
4.      Alan E. Wilson, Whitney A. Wilson, and Mark E. Hay. Intraspecific Variation in Growth and Morphology of the Bloom-Forming Cyanobacterium Microcystis aeruginosa. Appl. Envir. Microbiol. 2006; 72: 7386-7389.
5.      Endang Dewi Masithah; Sarmanu; Ni Nyoman Tri Puspaningsih; Ni’matuzahroh. Pengembangan Bakteri Pektinolitik Sebagai Probiotik Antagonisme Penekan Pertumbuhan Microcystis Aeruginosa. Fakultas Kedokteran Hewan.2008; 52-56
6.      Oberholster PJ, Botha A-M and Grobbelaar JU. 2004. Microcystis aeruginosa: source of toxic microcystin in drinking water. Journal of Biotechnology Vol. 3 (3), pp. 159-168, March 2004. Departement of Plants Sciences, Faculty of Natural and Agricultur Sciences, University of The Free State. South Africa.
7.      Haşim Sömek1, Mustafa Ruşen Ustaoğlu1, Meral Yağci. A Case Report: Algal Bloom of Microcystis aeruginosa in a Drinking-Water Body, Eğirdir Lake, Turkey. 2008. Ege University, Faculty of Fisheries, Department of Hydrobiology, 35100, İzmir, Turkey. Eğirdir Fisheries Research Institute, 32500 Eğirdir, Isparta, Turkey Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 8: 177-179 (2008)
8.      M. S. Ahmed, S. Hiller, B. Luckas. Microcystis aeruginosa Bloom and the Occurrence of Microcystins (Heptapeptides Hepatotoxins) From an Aquaculture Pond in Gazipur, Bangladesh. 2008. University of Dhaka, Department of Zoology, Laboratory of Aquatic Resource Management, Dhaka 1000, Bangladesh.
9.      ZHANG Hang-jun, ZHANG Jian-ying , HONG Ye, CHEN Ying-xu. Evaluation of organ distribution of microcystins in the freshwater phytoplanktivorous fish Hypophthalmichthys molitrix. 2007. School of Environmental and Resource Sciences, Zhejiang University, Hangzhou 310028, China
10.  Zakaria A. Mohamed, Wayne W. Carmichael, Ahmed A. Hussein. 2003. Estimation of Microcystins in the Freshwater Fish Oreochromis niloticus in an Egyptian Fish Farm Containing a Microcystis Bloom. Egypt.
11.  Queensland The Smart State. 2008. Monitoring Standard for Freshwater Blue-Green Algae. Natural Resources and Water.
12.  Bas W. Ibelings, Ingrid Chorus. Accumulation of cyanobacterial toxins in freshwater ‘‘seafood’’ and its consequences for public health: A review. Eawag, Swiss Federal Institute of Aquatic Sciences and Technology, Centre of Ecology, Evolution and Biogeochemistry, Seestrasse 79, CH-6047 Kastanienbaum, Switzerland
13.  Jubilee Purkayastha, Hemanta Kumar Gogoi and Lokendra Singh. 2010. PLANT-CYANOBACTERIA INTERACTION: PHYTOTOXICITY OF CYANOTOXINS. Defence Research Laboratory, Tezpur-784001, Assam, Indi. Journal of Phytology 2010, 2(7): 07–15  An Open Access Journal













Tidak ada komentar:

Posting Komentar