TUGAS MIKROBIOLOGI
PANGAN
FOODBORNE
AGENT
Staphylococcus
aureus
Kelompok 13 :
Nadiya Qonita 22030110120047
Siti Kumairoh 22030110120048
Dea Rizky P 22030110120049
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Penyakit bawaan makanan (foodborne disease)
adalah penyakit akibat mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Biasanya bersifat toksik maupun infeksius yang disebabkan oleh agen penyakit
yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi oleh
berbagai macam mikroorganisme atau mikroba patogen. Penyakit ini disebut
“keracunan makanan” (food poisoning).
Zat kimia beracun atau zat berbahaya lain
dapat menyebabkan foodborne disease jika
zat-zat tersebut terdapat dalam makanan. Makanan yang berasal baik dari hewan
maupun tumbuhan dapat berperan sebagai media pembawa mikroorganisme penyebab
penyakit pada manusia.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan
kehidupan manusia. Penyakit bawaan makanan mencakup lingkup penyakit yang
etiologinya bersifat kimiawi maupun biologis, termasuk penyakit kolera dan
diare. Dalam kehidupannya, manusia membutuhkan makanan untuk hidup. Jika tidak
memperhatikan kebersihan makanan dan lingkungan, makanan dapat merugikan bagi
manusia.
Mikroorganisme yang menimbulkan penyakit ini
dapat berasal dari makanan hewani yang terinfeksi penyakit tersebut atau
makanan nabati dari tanaman yang terkontaminasi. Makanan yang terkontaminasi
selama prosesing atau pengolahan juga dapat berperan sebagai media penularan.
Penularan foodborne disease oleh makanan
dapat bersifat infeksi. Artinya suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya
mikroorganisme yang hidup, biasanya berkembangbiak pada tempat terjadinya
peradangan. Pada kasus foodborne disease
mikroorganisme masuk bersama makanan yang kemudian dicerna dan diserap oleh
tubuh manusia.
Kasus foodborne
disease dapat terjadi dari tingkat yang tidak parah sampai tingkat
kematian. Gejala foodborne disease yang umumnya terlihat adalah perut mual diikuti muntah-muntah,
diare, demam, kejang-kejang dan lain-lain. Dalam pembahasan kali ini kami akan
mengangkat tema mengenai Staphylococus
aureus.1
BAB II
PEMBAHASAN
Staphylococcus berasal
dari kata Yunani yaitu ”staphyle” yang berarti sekelompok anggur.
Bakteri ini umumnya hidup pada kulit dan membran mukosa manusia. Staphylococcus
aureus merupakan jenis bakteri yang paling penting dalam menyebabkan
infeksi pada manusia. Hampir setiap orang akan mengalami beberapa tipe infeksi S.
aureus sepanjang hidupnya, dari infeksi kulit ringan, keracunan makanan,
sampai infeksi berat (Jawetz, et al., 1996; Stanway, 2007).2
2.1 Karakteristik Staphylococcus
aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri koki Gram
positif dan jika diamati di bawah mikroskop akan tampak dalam bentuk bulat
tunggal atau berpasangan, atau berkelompok seperti buah anggur. Staphylococcus
aureus termasuk dalam famili Staphylococcaceae, berukuran diameter 0.5-1.5
μm dan membentuk pigmen kuning keemasan. Bakteri ini tidak membentuk spora,
bersifat aerob atau anaerob fakultatif, non-motil, koagulase dan katalase
positif, mampu memfermentasi mannitol serta mampu menjalankan dua macam
metabolisme yaitu respirasi maupun fermentasi.3
Gambar Morfologi S. aureus perbesaran 5000x
S. aureus mampu memanfaatkan berbagai
komponen organik sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Asam-asam amino
dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, sedangkan tiamin dan asam nikotinat paling
dibutuhkan diantara vitamin B lainnya. Apabila S. aureus ditumbuhkan
pada kondisi cenderung anaerob, maka urasil sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk
kondisi aerob dan produksi enterotoksin, maka monosodium glutamat berperan
sebagai sumber C, N dan energi. Arginin merupakan asam amino esensial yang
dibutuhkan untuk produksi enterotoksin B (Bennet dan Monday dalam Militois dan
Bier, 2003; Jay, 2000).3
Untuk membiakkan S.
aureus diperlukan suhu optimal antara 28-38°C atau sekitar 35°C. Apabila
bakteri tersebut diisolasi dari seorang penderita, suhu optimal yang diperlukan
adalah 37°C. pH optimal untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah
7,4. Pada umumnya Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada medium yang
biasa dipakai di Laboratorium bakteriologi (Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya,2003).4
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 1.3
Tabel 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S.
aureus
Faktor Pengaruh
|
Pertumbuhan
|
|
Optimum
|
Kisaran
|
|
Suhu
|
37°C
|
4-48°C
|
pH
|
6,0-7,0
|
4,0-9,8
|
Aw
|
0.98≥0.99
|
0.83≥0.99
|
Atmosfer
|
Aerobik
|
Anaerobik hingga aerobik
|
Natrium klorida
|
0.5-0.4%
|
0-20%
|
Adam
dan Moss (1995)
Staphylococcus aureus tidak membentuk spora
sehingga pertumbuhan oleh S. aureus di dalam makanan dapat segera
dihambat dengan perlakuan panas. Namun, kontaminasi S. aureus tetap
menjadi salah satu penyebab utama foodborne disease (FBD) karena S.
aureus dapat mengkontaminasi produk makanan selama persiapan dan
pengolahan. Bakteri ini sendiri ditemukan di dalam saluran pernapasan,
permukaan kulit dan rambut hewan berdarah panas termasuk manusia, Lebih dari
30-50% populasi manusia adalah “carrier” S. aureus (Le Loir et
al., 2003).3
Umumnya S. aureus tidak
memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik dengan mikroflora normal kebanyakan
pada makanan. Telah banyak penelitian yang menunjukkan ketidakmampuan S.
aureus untuk bersaing pada makanan segar dan makanan beku. Pada suhu yang
mendukung pertumbuhan S. aureus, mikroorganisme lain pada makanan
melakukan perlindungan untuk melawan pertumbuhan S. aureus lewat
mekanisme antagonis, kompetisi terhadap nutrisi dan modifikasi kondisi
lingkungan agar tidak mendukung pertumbuhan S. aureus. Bakteri yang
diketahui bersifat antagonis terhadap S. aureus adalah Acinetobacter,
Aeromonas, Bacillus, Pseudomonas, S. epidirmidis,
kelompok Enterobactericeae, Lactobacillaciae, kelompok Enterococci dan
Streptococcus (Jay, 1996).
Staphylococcus aureus memliki beberapa jenis
faktor virulensi yang mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah
satunya adalah protein permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang.
Untuk mendukung penyebarannya pada jaringan, bakteri ini menghasilkan invasin,
seperti leukosidin, kinase dan hyaluronidase. Leukosidin adalah sitotoksin yang
dapat membunuh leukosit, sedangkan hyaluronidase adalah enzim yang dapat
mendegradasi asam hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan
(Todar, 2008).
Pada tubuh manusia terdapat
faktor virulensi S. aureus yang mampu menghambat fagositosis, yaitu
protein A dan kapsul. Protein A adalah protein permukaan yang mengikat molekul
IgG. Bakteri ini juga menghasilkan senyawa biokimia yang menjadi pertahanannya
terhadap fagosit, yaitu karotenoid dan katalase (Todar, 2008).
2.2 Kontaminasi S.
aureus dalam Pangan
Stafilokoki dapat ditemukan
di udara, debu, limbah, air, susu, makanan, atau peralatan makan, permukaan
lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan hewan adalah reservoir utama.
Stafilokoki juga dapat ditemukan lebih dari 50% di saluran pernapasan, tenggorokan
dan di permukaan rambut dan kulit seseorang yang sehat sekalipun.
Keberadaan S. aureus dalam
bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan
dan peralatan pengolahan (Stewart et al., 2002). Pangan yang dilaporkan
dalam berbagai kejadian luar biasa S. aureus umumnya diolah dengan
proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang melibatkan pekerja yang
terkontaminasi. S. aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku
pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko
keracunan pangan akibat S. aureus (Robinson et al., 2000).
Pangan yang memiliki resiko
tinggi terhadap bahaya keracunan akibat Staphylococcus adalah pangan
yang normal flora di dalamnya telah mengalami kerusakan akibat proses
pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau dihambat pertumbuhannya
(misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang tinggi). Hal ini berkaitan
dengan sifat S. aureus yang merupakan kompetitor lemah dalam ekosistem
mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri patogen dan pembusuk lain dapat
menghambat pertumbuhannya. Bakteri psikrotropik sebagai contohnya dapat
menghambat pertumbuhan S. aureus pada penyimpanan suhu rendah
(refrigerasi). Selain itu pada proses fermentasi, bakteri asam laktat dapat
memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan S. aureus seperti
asam laktat, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Ash, 2000).
US FDA (1999) menyatakan
keberadaan S. aureus dalam pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal
seperti proses pengolahan pangan yang tidak tepat dari segi suhu dan waktu,
suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang panas (60°C atau 140°F) atau
kurang dingin (7.2°C atau 45°F), dan adanya kontaminasi silang dari bahan baku
mentah maupun pekerja.
Jalur masuknya S. aureus
kedalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir
yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga,
pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu, pekerja dengan
luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih disertai dengan
praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter
et al., 1993).
Apabila S. aureus terkontaminasi
ke dalam bahan pangan yang mengandung nutrisi yang menunjang bagi
pertumbuhannya, jumlah S. aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan
yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pertumbuhan S.
aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti daging
dan produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk olahannya,
salad yang mengandung telur, tuna, ayam, kentang dan makaroni, produk bakery,
serta susu dan produk olahannya (US FDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya 11
asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein,
metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin pada produk-produk berprotein
tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan S. aureus (Supardi dan
Sukamto, 1999).
Pangan dengan konsentrasi
garam yang tinggi (ham) atau konsentrasi gula yang tinggi (fla) tidak
terlepas dari bahaya konsentrasi S. aureus. Hal ini berkaitan dengan
sifat S. aureus yang tahan terhadap kadar gula dan garam yang tinggi (hingga
20%). Cara yang dianjurkan untuk mengontrol atau mencegah adanya S. aureus pada
pangan yang sudah diolah adalah mendinginkannya hingga suhu 20°C, melarang
orang sakit untuk menangani makanan, menggunakan sarung tangan disposable dalam
proses penanganan makanan, melakukan refrigerasi atau pendinginan pada makanan
hingga <10°C dan meminimalkan terjadinya kontaminasi silang dari bahan
mentah ke makanan matang ataupun dari lingkungan kerja yang kotor serta
peralatan yang kotor ke makanan matang (Jay, 2000).3
Penelitian yang dilakukan
oleh Hartini (2001) dan Ruslan (2003) menunjukkan bahwa beberapa produk pangan
tradisional siap santap telah tercemar bakteri S. aureus, seperti yang
terlihat pada Tabel 2.3
Tabel 2. Data cemaran S.
aureus pada beberapa pangan
Jenis Pangan
|
Jumlah S. aureus (CFU/g)
|
Sumber Data
|
Bakso
|
1.74
|
a (Hartini, 2001)*
|
Gado-gado
|
3.72
|
a
|
Mie ayam
|
1,78
|
a
|
Nasi rames
|
3.21
|
a
|
Siomay
|
2.43
|
a
|
Soto ayam
|
1.65
|
a
|
Tauge goreng
|
5.10
|
a
|
Gado-gado
|
5.81
|
b Ruslan (2003)**
|
Kacang panjang rebus
|
5.61
|
b
|
Kol rebus
|
5.15
|
b
|
Wortel rebus
|
5.23
|
b
|
Tauge rebus
|
4.74
|
b
|
Karkas Ayam
|
5.15
|
c Harmayani et al., (1996)
|
Ayam Goreng
|
2.64
|
d Sari (2010)
|
Ayam Kecap
|
3.22
|
d
|
Ayam Opor
|
3.66
|
d
|
Ayam Balado
|
2.36
|
d
|
* Dengan media Vogel-Johnson Agar
(VJA), sampel diambil jam 11 siang
** Dengan media Baird-Parker Agar (BPA),
sampel diambil 2-3 jam sejak penjaja mulai berjualan
2.3 Perilaku S. aureus dalam
Pangan
Bakteri S. aureus yang
tidak membentuk spora adalah termasuk bakteri yang mudah diinaktivasi oleh
panas. Ketahanan panas lebih tinggi terutama pada pangan dengan aktivitas air
tinggi (Stewart, 2003). Jika dibandingkan dengan bakteri lainnya S. aureus memiliki
ketahanan panas yang cukup tinggi pada suhu 62.8°C. S. aureus lebih
tahan terhadap pemanasan pada heating menstruum susu dengan suhu 62.8°C
jika dibandingkan dengan bakteri nonspora lainnya seperti, E. coli, Campylobacter
jejuni, Streptococcus. faecalis, dan Lactobacillus lactis.
Akan tetapi, S. aureus tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan spora
bakteri seperti spora Bacillus cereus, dan Clostridium botulinum.3
Bahan
makanan sumber pencemaran S,aureus yang menimbulkan wabah gastroenteritis
adalah daging babi, produk roti, daging sapi, ayam, kalku dan telur. Pencemaran
pada daging ayam dapat terjadi pada berbagai tahap proses. Sebelum ayam
disembelih, mikroba (S.aureus)
terdapat pada permukaan kaki, bulu dan kulit yang merupakan bagian tubuh yang
kontak dengan tanah, debu dan feses serta dapat juga ditemukan pada berbagai
lokasi saluran pernafasan ayam yang masih hidup. Pencemaran oleh S.aureus dapat terjadi karena adanya
kontaminasi silang selama proses pembuatan karkas ayam. Tahap-tahap yang
berpotensi terjadinya pencemaran silang mikroba pada pemrosesan karkas ayam di
rumah potong unggas dapat terjadi pada saat penerimaan dan penggantungan ayam,
penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, pendinginan,
grading, pembungkusan dingin serta
pemotongan.4
2.4
Penyakit karena S. aureus
S. aureus dapat menyebabkan
terjadinya berbagai jenis infeksi mulai dari infeksi kulit ringan, keracunan
makanan sampai dengan infeksi sistemik. Infeksi kulit yang biasanya disebabkan
oleh S. aureus yaitu impetigo, selulitis, folikulitis, abses. S.
aureus menyebabkan keracunan makanan karena adanya enterotoksin yang
dihasilkan oleh S. aureus yang terdapat pada makanan yang tercemar.
Gejala yang muncul akibat keracunan makanan ini yaitu sakit kepala, mual,
muntah, disertai diare yang muncul setelah empat sampai lima jam mengkonsumsi
makanan tersebut (Salmenlina, 2002).
Kontaminasi S. aureus pada
makanan dapat menyebabkan keracunan (intoksikasi). Hal ini disebabkan karena
bakteri tersebut mampu menghasilkan toksin yang berupa enterotoksin di dalam
saluran pencernaan. Enterotoksin dapat diproduksi apabila kondisi lingkungan
mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri tersebut, seperti pH dan
suhu (Miliotis dan Bier, 2003).3
Gejala awal dari keracunan
makanan akibat enterotoksin stafilokoki umumnya berlangsung selama 2-6 jam atau
pada masa inkubasi 30 menit sampai 7 jam setelah mengkonsumsi makanan yang
mengandung enterotoksin (atau rata-rata terjadi pada 2-4 jam), tergantung dari
ketahanan individu masing-masing.3
Gejala keracunan
ditandai dengan mual, muntah, kram perut dan prostrasi. Pada kasus yang lebih
serius ditandai dengan pusing, kram otot dan perubahan transient pada tekanan
darah. Pemulihan umumnya terjadi selama 2-3 hari atau lebih. Kematian akibat
enterotoksin stafilokoki jarang terjadi (Miliotis dan Bier, 2003).3
Akibat keracunan
stafilokoki, rata-rata korban yang masuk rumah sakit mencapai 18% dengan nilai
fatalitas 0.02%. Kerentanan terhadap keracunan ini bisa terjadi pada setiap
orang, namun biasanya menyerang anak-anak dan orangtua. Namun intensitas
timbulnya gejala pada masing-masing individu berbeda tergantung dari jumlah
makanan yang dimakan dan kerentanan terhadap toksin.3
Infeksi sistemik dapat terjadi karena bakteri
masuk ke dalam darah, dan berkembang menjadi bakteremia. Di dalam sirkulasi
darah, bakteri dapat meluas ke berbagai bagian tubuh dan menyebabkan infeksi.
Infeksi yang dapat terjadi yaitu endokarditis, osteomielitis, sindrom kulit
melepuh, pneumonia (Ontengco, et al., 2003). Osteomielitis
merupakan infeksi yang terjadi pada tulang yang sedang tumbuh, biasanya terjadi
pada anak-anak. Infeksi ini disebabkan karena adanya infeksi pada saat
pembedahan tulang sehingga bakteri dapat berpenetrasi melalui luka yang
terbentuk dan secara langsung menginfeksi tulang yang terluka. Berbeda dengan
osteomielitis, endokarditis disebabkan karena bakteri masuk melalui penggunaan
obat secara intravena atau penggunaan cateter yang kemudian masuk ke dalam
aliran darah dan menginfeksi sel endotel (Salmenlina, 2002; Juuti, 2004).
Bakteri dapat menempel dan merusak daerah endotelium, atau secara langsung
masuk ke sel endotel melalui fagositosis sehingga menyebabkan pelepasan respon
inflamasi yang ditandai dengan demam yang tinggi (Todar, 2005).
Infeksi lainnya yaitu sindrom kulit melepuh
yang disebabkan oleh toksin eksfoliatin. Toksin ini menyebabkan lapisan kulit
luar mengelupas. Biasanya risiko terjadinya meningkat pada anak-anak karena
memiliki antibodi pelindung yang lemah terhadap eksotoksin dan enterotoksin
yang merespon terjadinya sindrom klinik tersebut. Pneumonia jarang terjadi
namun jika terjadi akan menyebabkan kerusakan sel paru-paru yang dapat
berakibat kematian (Juuti, 2004).
Berbagai infeksi yang disebabkan oleh S.
aureus dimediasi oleh factor virulen dan respon imun sel inang. Secara umum
bakteri menempel ke jaringan sel inang kemudian berkoloni dan menginfeksi.
Selanjutnya bertahan, tumbuh, dan mengembangkan infeksi berdasarkan kemampuan
bakteri untuk melawan pertahanan tubuh sel inang. Respons sel inang dimediasi
oleh leukosit yang
diperoleh
dari ekspresi molekul adhesi pada sel endotel. Komponen dinding sel dari S.
aureus yaitu peptidoglikan dan asam teikoat, memacu pelepasan sitokin.
Leukosit dan faktor sel inang lainnya dapat dirusak secara lokal oleh toksin
yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Selain itu adanya protein yang terdapat
pada bakteri mengakibatkan respon anti inflamasi. Protein ini juga menghambat
sekresi leukosit sel inang dengan cara berinteraksi langsung dengan protein sel
inang, dan fibrinogen. Apabila tubuh tidak cukup berhasil mengatasi infeksi
tersebut maka akan terjadi inflamasi lokal (Todar, 2005).
2.5 Dosis Infeksi S.
aureus
Sejumlah
kecil sel bakteri S.aureus yang
menghasilkan toksin sebanyak 1 ng/g makanan mampu menimbulkan gejala
gastroenteritis pada manusia. Dosis infektif atau racun sebanyak kurang dari
1,0 mikrogram dalam makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan gejala
keracunan staphylococcal. Tingkat racun ini dicapai apabila populasi S.aureus lebih dari 100.000 per gram.4
Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin
yang menyebabkan gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh Staphylococcus
aureus untuk menghasilkan racun yang cukup sehingga bersifat meracuni
adalah 106 CFU/g (Buckle et al., 1987; Jay, 2000). Namun
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harmayani et al., (1996),
enterotoksin belum dapat terdeteksi pada total populasi S. aureus mencapai
>106 CFU/g. Pada kasus-kasus keracunan makanan, biasanya jumlah S.
aureus mencapai 108 CFU/g atau lebih.3
Shapton dan Shapton (1993)
menyatakan bahwa populasi Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menghasilkan
toksin adalah 5 x 106 CFU/g, dimana toksin yang dihasilkan bersifat
tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan
kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan. Menurut Ray dan Bhunia (2008)
keracunan Staphylococcus aureus disebakan karena terkonsumsinya toksin
dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh 106-107
CFU/ml atau CFU/g dalam 30 g/ml makanan. Pada individu yang memiliki
sensitivitas tinggi, dosis 100-200 ng sudah dapat menyebabkan penyakit
(Miliotis dan Bier, 2003).3
US FDA (2001) menyatakan
bahwa jumlah toksin Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk
menyebabkan keracunan pangan sebesar 1.0 μg. Pada level ini dicapai jumlah
bakteri sebanyak 1.0 x 105 CFU/g atau CFU/ml.3
2.6 Keracunan Makanan oleh
Stafilokoki
Keracunan pangan karena Staphylococcus
aureus terjadi melalui intoksikasi. Intoksikasi adalah tertelannya
toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen pada pangan ke dalam saluran
pencernaan. Dalam hal ini tidak diperlukan sel vegetatif selama konsumsi untuk
terjadinya keracuanan. Keracunan pada manusia disebabkan oleh konsumsi
enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain Staphylococcus aureus di
dalam makanan, biasanya karena makanan tersebut tidak disimpan pada suhu
yang cukup tinggi (>60°C) atau cukup dingin (<7.2°C).(Ray dan Bhunia,
2008). Kemampuan galur Staphylococcus aureus untuk tumbuh dan
memproduksi enterotoksin pada kisaran kondisi lingkungan yang luas, ketahanan
panas toksin, dan penanganan yang salah menjadi penyebab utama kasus keracunan
pangan di berbagai dunia (Ray dan Bhunia, 2008).3
Tabel 3. Faktor-faktor yang berkontribusi
pada kasus keracunan pangan
Faktor
|
Persentase
|
Faktor yang berhubungan
dengan pertumbuhan mikroba
|
|
Penyimpanan makanan pada suhu ruang
|
43
|
Suhu pembekuan yang tidak tepat
|
32
|
Penyiapan makanan yang terlalu lama saat penyajian
|
41
|
Holding pada suhu panas yang tidak cukup
|
12
|
Thawing yang tidak tepat
|
4
|
Penyajian makanan dalam jumlah yang terlalu banyak
|
22
|
Faktor yang berhubungan
dengan ketahanan mikroba
|
|
Pemanasan ulang yang tidak tepat
|
17
|
Pemanasan yang tidak cukup
|
13
|
Faktor yang berhubungan
dengan kontaminasi
|
|
Pekerja/ karyawan
|
12
|
Kontaminasi pangan olahan nonkaleng
|
19
|
Kontaminasi bahan pangan mentah
|
7
|
Kontaminasi silang
|
11
|
Pembersihan Peralatan pengolahan yang tidak tepat
|
7
|
Sumber yang tidak aman
|
5
|
Kontaminasi makanan kaleng
|
2
|
Forsythe (2000)
Gejala klinis
keracunan Staphylococcal Enterotoksin
(SE) umumnya muncul secara cepat dan dapat menjadi kasus serius tergantung
respon individu tehadap toksin, jumlah makanan yang ditelan dan kondisi
kesehatan pasien secara umum. Keracunan makanan oleh SE memiliki masa inkubasi
yang pendek (hanya beberapa jam). Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka
waktu 30 menit sampai 6 jam dan puncaknya terjadi setelah 5 sampai 3 jam.
Gejala umum keracunan dapat berupa mual, sakit perut, muntah (lebih dari 24
jam), diare, hilangnya nafsu makan, kram perut hebat, distensi abdominal dan
demam ringan. Pada beberapa kasus dapat
timbul sakit kepala, kejang otot perut, dan perubahan nyata pada tekanan darah
serta denyut nadi. Pasien berkeringat, terjadi penurunan suhu yang dapat
berlangsung 24- 48 jam namun sangat jarang atau bahkan tidak pernah diiikuti
kematian.4
Di Indonesia tidak semua
kasus keracunan pangan dilaporkan. Menurut Kusumaningrum (2009), nasi bungkus
pernah beberapa kali dilaporkan, seperti kasus keracunan di Tasikmalaya tahun
2009 yang memakan korban sebanyak 148 orang. Pada nasi bungkus tersebut
ditemukan S. aureus. Pada tahun 2005, sebanyak siswa di Sanggau,
Kalimantan Barat juga keracunan setelah mengonsumsi nasi bungkus yang kemudian
ditemukan mengandung S. aureus dan Streptococcus faecalis.3
Pada tahun 2007 terjadi
keracunan makanan pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan yang terbuat dari
beras ketan di sebuah hotel di Kota Padang. Hasil uji klinis di laboratorium
menunjukkan positif S. aureus (Gentina et al., 2008).3
Toxic shock syndrome
adalah penyakit yang disebabkan oleh racun-racun yang dikeluarkan
bakteri-bakteri Staphylococcus aureus
yang tumbuh dibawah kondisi-kondisi dimana ada sedikit atau tidak ada oksigen. Toxic shock syndrome dikarakteristikan
dengan muncul yang tiba-tiba dari demam yang tinggi, muntah, diare, dan
nyeri-nyeri otot, diikuti okeh tekanan
darah rendah (hipotensi), yang dapat menjurus
pada guncangan (shock) dan kematian.
Mungkin ada ruam kulit yang menirukan terbakar sinar matahari, dengan
terkupasnya kulit.
2.7 Enterotoksin
Stafilokoki (SE)
Enterotoksin stafilokoki
(SE) adalah kelompok protein dengan rantai tunggal dan bersifat antigenik dengan
berat molekul sekitar 26.000-29.000 yang diproduksi oleh beberapa jenis
stafilokoki terutama oleh S. aureus, tetapi bisa juga oleh S.
intermedius, S. hyicus, S. xylosus dan S. epidermis. Enterotoksin termasuk
protein netral dengan nilai isoelektrik sebesar 7-8,6. Zat ini resisten
terhadap enzim-enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin, hal inilah yang
memungkinkan bagi enterotoksin untuk dapat masuk ke dalam saluran pencernaan
menuju sisi aksinya. Toksin ini sangat stabil dalam pemanasan, dan membuat
enterotoksin menjadi titik potensial bahaya kesehatan dalam pembuatan makanan
kaleng (Monday dan Bennet, 2003). Ada sekitar 14 jenis enterotoksin stafilokoki
berbeda yang telah diidentifikasi sampai saat ini. Keempat belas jenis SE (SEA
hingga SEO) diidentifikasi berdasarkan antigenisitasnya dan mereka dinamakan
dengan huruf abjad secara berurutan berdasarkan waktu penemuannnya. Tidak ada
enterotoksin F karena huruf ini telah dialokasikan sebagai sebuah protein yang
bukan enterotoksin, yaitu toxic shock syndrome toxin (TSST) (Monday dan
Bennet, 2003). Enterotoksin stafilokoki merupakan suatu protein pendek yang
dapat disekresikan di dalam medium larut air dan larutan-larutan garam.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Produksi SE
Enterotoksin stafilokoki
merupakan salah satu faktor virulensi yang dimiliki oleh S. aureus.
Faktor virulensi inilah yang menyebabkan bakteri tersebut bersifat patogen,
terutama jika sudah mengontaminasi produk pangan. Dampaknya tidak lain adalah
keracunan pangan.
Banyak variabel yang
mempengaruhi jumlah produksi enterotoksin, oleh karena itu tidak ada hal dapat
memprediksi dengan tepat jumlah dari S. aureus dalam masakan yang
dibutuhkan untuk menyebabkan SFP (Staphylococcal food poisoning) ini.
Faktor yang berkontribusi terhadap tingkat konsentrasi enterotoksin telah
secara luas dipelajari, antara lain komposisi masakan, temperatur, dan
keberadaan dari inhibitor (Doyle et al., 1997).
Enterotoksin diproduksi
pada kisaran suhu yang lebih rendah daripada suhu pertumbuhan normal S.
aureus, suhu mempengaruhi baik jumlah maupun tingkat produksinya. Suhu
optimum untuk produksi enterotoksin sama dengan suhu optimum pertumbuhan dari
bakteri S. aureus tersebut, sedangkan batas suhu untuk produksi
enterotoksin sekitar 10ºC. Pada suhu ini produksi enterotoksin sangat lambat
dan dalam satu penelitian dibutuhkan empat minggu untuk memproduksi
enterotoksin (SEB) dari inokulasi sebanyak 106/g pada daging babi. Enterotoksin
stafilokoki sangat resisten terhadap pembekuan dan pemanasan. Enterotoksin
dapat bertahan pada semua jenis proses pasteurisasi komersial dan kadangkala
dapat bertahan pula dalam proses sterilisasi pada makanan kaleng (Lund, 2000).
Staphylococcus aureus merupakan salah satu jenis
bakteri yang tidak mampu untuk berkompetisi dengan bakteri lainnya. Kompetisi
bakteri yang terjadi di dalam produk susu menunjukkan bahwa pertumbuhan S.
aureus yang bertahan cukup sedikit dan enterotoksi stafilokoki yang
diproduksi pun juga sedikit jumlahnya. Bakteri asam laktat (BAL) yang umumnya
terdapat di dalam susu pertumbuhannya lebih bersifat dominan karena bakteri ini
memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan S. aureus seperti
asam laktat yang mampu menurunkan pH, oksigen peroksida dan substansi
antimikrobial lainnya (bakteriosin) (Le Loir et al., 2003). Beberapa
penelitian melaporkan bahwa spesies tertentu dari bakteri asam laktat dapat
menghambat pertumbuhan S. aureus dan produksi enterotoksinnya, terutama
golongan streptokoki dan pediokoki misalnya Pediococcus cerevisiae.
Sedangkan Lactobasili dan Leuconostoc tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
sel dan hanya sedikit mempengaruhi produksi toksin. Bakteri-bakteri lain
misalnya Serratia marcescens, E. coli, dan Streptococcus faecalis tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan sel S. aureus, tetapi menghambat
produksi enterotoksin (Ikeda, et al., 2005).3
2.8
Pencegahan Kontaminasi S. aureus
Organisasi
kesehatan dunia ( WHO) menganjurkan lima kunci untuk keamanan pangan yaitu
menjaga kebersihan, memisahkan bahan mentah dengan makanan matang untuk menjaga
makanan pada suhu aman dan menggunakan air bersih untuk memncuci bahan pangan.
Mengingat kasus keracunan akibat S.aureus
cukup tinggi, maka perlu diketahui metode – metode pencegahan terhadap
pertumbuhan S.aureus.
Hal
– hal yang sangat penting dilakukan untuk mencegah kontaminasi makanan dengan
S.aureus sebelum toksin dapat diproduksi yaitu :
1. Cuci
tangan dan sela – sela kuku secara seksama dengan menggunakan sabun dan air
sebelum menangani dan menyiapkan makanan.
2. Cuci
peralatan makanan sebelum digunakan
3. Jangan
menyiapkan makanan jika anda memiliki penyakit hidung atau infeksi mata
4. Tidak
menyiapkan atau melayani makanan untuk orang lain jika anda memiliki luka atau
infeksi kulit atau pada tangan dan pergelangan
5. Pemisahan
ruang serta peralatan untuk bahan mentah dan matang
6. Jika
makanan yang akan disimpan lebih dari dua jam, jaga agar makanan tetap panas (
lebih dari 1400F) atau tetap dingin (400F atau di bawah)
7. Mengingat
bahwa S.aureus berada dimana saja, maka dituntut untuk selalu menjaga
kebersihan dapur 4
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Staphylococcus aureus
merupakan salah satu jenis mikroba penyebab keracunan pangan di masyarakat.
Keracunan ini dapat terjadi akibat kurangnya higienitas dan sanitasi makanan. S. aureus yang mencemari pangan dapat
menghasilkan senyawa toksin berupa eksotoksin yang disebut staphylococcal enterotoksin (SE). senyawa ini dihasilkan pada saat
proses pertumbuhan pada pangan, bersifat tahan terhadap pemanasan serta
enzim-enzim pencernaan. Toksin tersebut dapat menyebabkan keracunan dengan
gejala cepat dapat menjadi kasus serius tergantung respon individu terhadap
toksin.
Pencegahan
kasus dapat dilakukan dengan menerapkan sanitasi dan higienitas yang baik sejak
awal rantai proses hingga makanan siap disantap.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Jawetz, Ernest.,
1996, Mikrobiologi Kedokteran edisi 20, EGC, Jakarta http://www.health.nsw.gov.au/mhcs/publication_pdfs/7155/DOH-7155-IND.pdf
http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Nutrition&y=cybermed%7C0%7C0%7C6%7C425
2. Sulistiyaningsih.
Uji kepekaan beberapa sediaan antiseptik terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus aureus Resisten
Metisilin (MRSA). Skripsi. Universitas
Padjajaran. 2010
3. Khoiriyah
F. Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus dengan Metoda Polymerase Chain Reaction. Institut
Pertanian Bogor. 2010
4.
Syah,Putra
Setiawan, 2010. Thesis. Keracunan pangan oleh Staphylococcus aureus pada daging
ayam dan cara pencegahannya. Sekolah pasca sarjana Institut Pertanian Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar